Toxic positivity adalah semacam dorongan untuk selalu terlihat atau merasa positif, apapun situasinya. Padahal, tidak semua hal dalam hidup bisa dihadapi hanya dengan senyuman. Sering kali, kita mendengar kalimat seperti, “Bersyukur, setidaknya kamu masih punya banyak hal baik, tidak usah membuang waktu untuk sedih atau marah.” atau "Kamu masih mending, coba aku blablabla." Mungkin maksudnya baik, tetapi sering kali ucapan seperti itu dapat membuat kita merasa tidak boleh merasakan emosi negatif.
Toxic positivity seolah-olah memberi tekanan agar kita selalu terlihat bahagia, walaupun sedang tidak baik-baik saja. Senyuman di balik luka katanya. Seolah-olah, sedih, marah, atau kecewa itu adalah sesuatu yang tidak boleh diperlihatkan, padahal itu semua emosi itu yang sangat manusiawi, dan perlu kita akui.
Bayangkan ketika kamu sedang ada masalah besar, lalu ada orang bilang, "Ayo, semangat dong! Jangan kelihatan lemah." Kalimat itu kedengarannya positif, tetapi bagi kamu yang sedang merasa terpuruk, ucapan tersebut terasa seperti menyepelekan perasaan kamu. Rasanya seperti tidak didengarkan atau tidak dimengerti. Tentu, tidak semua ucapan bermaksud untuk menyakiti kamu, bisa jadi mereka memvalidasi perasaan kamu, tetapi mereka tidak tahu bagaimana cara untuk merespon kamu, bagaimana cara mereka menyemangati kamu. Tidak semua orang meminta kamu untuk menahan perasaan sedih atau kecewa, dan meminta kamu untuk selalu bahagia.
Dasarnya disebut toxic positivity itu ketika kamu meng-invalidasi perasaannya, kamu tidak sekalipun mencoba untuk mengerti emosi lawan bicara kamu atau bahkan perasaan kamu sendiri. Kamu hanya mendengar lalu memberi merespon, "Sudah, jangan sedih. Masih banyak orang diluar sana yang punya masalah lebih berat dari kamu."
Perkataan seperti itu yang salah, jangan sekalipun membandingkan lawan bicaramu dengan orang orang lain, apalagi diri kamu sendiri. Kenapa? Karena membandingkan diri sendiri atau orang lain hanya akan membuat kita merasa bahwa emosi negatif yang kita alami tidak seharusnya ada. Kita mulai merasa bahwa kesedihan, kemarahan, atau kekecewaan itu salah. Akibatnya, kita terjebak dalam kebiasaan mengejar kebahagiaan yang sempurna, yang sebenarnya tidak pernah ada. Dalam proses itu, kita kehilangan jati diri. Sedikit demi sedikit, keunikan kita terhapus karena terlalu sering bercermin pada standar orang lain. Hingga pada akhirnya, sebuah gumaman kita ucapkan, "Siapa aku?"
Ketika kita terus-menerus ditekan untuk menutupi emosi negatif, kita kehilangan kesempatan untuk benar-benar memproses dan memahami apa yang kita rasakan. Kita bisa mengalami stres, kecemasan, dan bahkan depresi karena terus menekan, dan menolak emosi yang dirasakan.
Respon terbaik saat menghadapi seseorang yang sedang kesulitan bukanlah dengan memberi kata-kata manis atau semangat yang tidak tulus. Jika kamu tidak memahami perasaannya atau tidak tahu cara menyemangatinya, cukup dengarkan, terima, dan pahami bahwa dia sedang merasakan perasaan sedih, marah, atau kecewa. Itu saja sudah menunjukkan bahwa kamu peduli dan mempunyai empati, sebuah suara tidak terdengar namun terasa.
Intinya, emosi negatif itu sama pentingnya dengan emosi positif. Tidak ada salahnya jika kita merasakan perasaan sedih atau marah. Justru, dengan merasakan dan mengakui emosi-emosi itu, kita bisa belajar dan tumbuh jadi lebih kuat. Kita belajar bahwa kebahagiaan bukanlah soal menjadi seseorang yang orang lain inginkan dengan menekan dan menolak semua perasaan negatif yang ada, tetapi menerima semua perasaan itu sebagai salah satu bagian dari diri kita. Jadi, daripada selalu berusaha untuk terlihat positif sepanjang waktu, lebih baik kita jujur dengan diri sendiri dan orang lain tentang apa yang sebenarnya kita rasakan. Dengan begitu, kita akan menciptakan lingkungan yang lebih sehat, di mana setiap emosi dapat diterima tanpa harus dihakimi.
Biodata Penulis:
Lutfi Nur'aini saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret, program studi Manajemen Bisnis.