Sisi Gelap Tiktok: Mengapa Platform Populer Ini Bisa Berbahaya?

Mudahnya konten yang tidak berpendidikan masuk ke Tiktok merupakan alasan mengapa pengguna Tiktok mayoritas berpendidikan rendah.

Sebelum masuk ke inti utama mengapa Tiktok berbahaya, di sini saya akan menjelaskan detail tentang pengguna Tiktok di Indonesia. Pada Agustus 2024 kemarin, Tiktok telah mendapatkan pengguna terbanyak di dunia dari Indonesia. Bukan cuma itu, Indonesia juga menjadi negara dengan durasi pengguna Tiktok terlama di dunia. Dan seberapa bahaya itu untuk Indonesia?

Lanjut masih membahas Tiktok, aplikasi itu merupakan platform dengan pengguna terbanyak yang pendidikannya paling rendah. Dibandingkan dengan platform lain contohnya Twitter (X). Isi komentar dari platform Twitter itu lebih kritis dan menjawab dengan argumentasi. Berbeda dengan Tiktok, banyak sekali akun komentar buzzer bermunculan, dan banyak pengguna yang sangat mudah untuk digiring pemikirannya.

Sisi Gelap Tiktok

Bahaya dari pengguna Tiktok yang mudah digiring pikirannya digunakan untuk keuntungan dalam pemilihan presiden, baik itu di Indonesia maupun di luar negri. Mereka semua sama memanfaatkan Tiktok untuk kepentingan politik dengan membuat konten-konten yang menjelekkan pasangan calon presiden lainnya. Ditambah dengan komentar-komentar akun buzzer, lalu bot like yang membuat komentar memiliki like banyak, sehingga dapat mudah dibaca dengan pengguna lainnya.

Alasan mengapa pengguna Tiktok bisa berpendidikan rendah, yaitu karena tidak ada penyaringan konten untuk nonedukasi yang tidak benar. Seperti yang kita ketahui mayoritas konten di Tiktok merupakan konten hiburan, bukan konten edukasi. Pengguna Tiktok lebih suka melihat hiburan dan menghabiskan waktunya dengan kegiatan yang kurang positif seperti edukasi.

Mudahnya konten yang tidak berpendidikan masuk ke Tiktok juga merupakan alasan mengapa pengguna Tiktok mayoritas berpendidikan rendah. Seperti yang kita ketahui, syarat untuk viral di Tiktok itu mudah, tidak seperti platform media sosial lain yang membutuhkan validasi akun dulu, apakah akun ini pantas untuk viral atau tidak. Di Tiktok, pembuat konten hanya perlu menyusun agar konten terlihat menarik dan banyak ditonton, tidak peduli apakah isinya itu kebenaran atau tidak. Yang penting konten tersebut menarik lalu bisa viral.

Lanjut ke pembahasan mengenai algoritma short video. Tiktok dapat mengurangi konsentrasi dan fokus, terutama pada generasi muda. Karena Tiktok menyajikan konten yang sangat pendek dan beragam, dengan video yang biasanya berdurasi 15 sampai 60 detik. Jika sering menonton berlebihan pada video singkat ini dapat melatih otak untuk terbiasa dengan informasi cepat dan instan, tetapi dampak negatifnya terhadap otak, yaitu merusak kemampuan untuk berkonsentrasi pada hal-hal yang membutuhkan perhatian lebih lama, seperti membaca, belajar, atau menyelesaikan pekerjaan yang kompleks. Contohnya, seseorang dapat merasa lebih mudah teralihkan dan lebih sulit fokus saat dihadapkan pada aktivitas yang membutuhkan durasi perhatian lebih lama.

Selain itu, algoritma Tiktok dirancang untuk membuat pengguna terus-menerus menggulir konten yang menarik minat mereka. Hal ini meningkatkan risiko ketergantungan pada konten-konten video yang bersifat instan, yang pada akhirnya dapat memperburuk rentang perhatian dan daya tahan mental seseorang terhadap informasi yang lebih mendalam atau tugas yang lebih kompleks.

Selanjutnya kita membahas mengenai produktivitas para pengguna Tiktok. Tiktok dapat menggangu produktivitas karena sifatnya yang membuat pengguna ingin melihat konten yang mereka sukai saja. Algoritmanya secara cerdas memberikan konten yang menarik perhatian setiap pengguna, membuat mereka terpaku untuk waktu yang lebih lama daripada yang mungkin mereka sadari. Gangguan ini tidak hanya terjadi pada kegiatan harian, tetapi juga pada pekerjaan dan studi. Mereka yang bekerja atau belajar sering kali tergoda untuk sekadar melihat satu video, yang kemudian berkembang menjadi konsumsi konten selama beberapa menit hingga berjam-jam.

Selain itu, Tiktok juga menjadikan para penggunanya memiliki perilaku konsumtif, terutama dengan video yang memperlihatkan tren konsumsi, unboxing produk mewah, dan review barang-barang yang sedang populer. Dalam video, pembuat konten sering kali memperlihatkan barang yang baru mereka beli, seperti pakaian, peralatan teknologi, kosmetik, atau bahkan makanan, yang membuat penonton merasa tertarik dan terdorong untuk membeli produk serupa, yang lebih parahnya pengguna memaksakan membeli barang mewah tersebut menggunakan pinjaman online.

FOMO (Fear of Missing Out) adalah kata-kata yang sedang tren akhir-akhir ini. Apa itu FOMO? FOMO adalah ketakutan akan ketinggalan informasi yang sedang tren. FOMO merupakan salah satu dampak negatif yang umum terjadi pada pengguna Tiktok. Karena Tiktok selalu menampilkan tren, tantangan, dan video viral baru setiap saat, pengguna sering merasa tertekan untuk tetap mengikuti apa yang sedang tren agar tidak tertinggal dengan teman-temannya. Konten-konten baru ini mendorong pengguna untuk terus mengecek Tiktok agar selalu up to date, sehingga menimbulkan perasaan cemas atau takut tertinggal dibanding teman atau orang lain yang diangap selalu mengikuti perkembangan zaman.

Pengguna yang terpapar FOMO biasanya berusaha keras untuk menyesuaikan diri dengan tren terbaru, entah itu tren fashion, tantangan dance, produk kecantikan, atau gaya hidup tertentu yang dipopulerkan oleh pembuat konten di Tiktok. Ketakutan ini sering kali membuat pengguna merasa harus menyaksikan atau mengikuti konten yang sedang populer agar tetap relevan dalam komunitas sosialnya.

Dari semua kekurangan yang saya paparkan di atas, masih terdapat manfaat-manfaat positif dari Tiktok yang bisa kita ambil, seperti edukasi, dan informasi-informasi terkini. Hanya saja dari kitanya sendiri harus menghindari informasi yang tidak relevan dan tidak bersifat mengedukasi. Karena hanya kita sendiri yang bisa mengatur. Cukup ambil positifnya, dan buang negatifnya.

Biodata Penulis:

Muhammad Rafi Raihan Sonjaya saat ini aktif sebagai Mahasiswa Informatika di UNS.
© Sepenuhnya. All rights reserved.