Perempuan sering dianggap sebagai "ibu kehidupan" karena perannya dalam melahirkan dan mendidik generasi berikutnya. Perempuan memiliki misi hidup dan mimpi yang besar untuk mewujudkan masa depan yang penuh karya. Perempuan juga memiliki hak untuk merasa aman dalam segala aktivitas kehidupan. Namun, ekspektasi yang sangat indah terhadap ruang di mana pun mereka berpijak seakan menjadi bayang-bayang kehidupan yang meresahkan. Realita dunia yang semakin tidak terbatas ini memberikan kebebasan untuk berkembang dan mewujudkan kenyamanan terhadap seisinya. Akan tetapi, justru kekhawatiran yang muncul menghantui setiap langkah kaki mereka berada.
Salah satu isu utama yang dihadapi perempuan adalah kekerasan berbasis gender. Dalam banyak kasus, perempuan yang melaporkan kekerasan dan bahkan yang menjadi korbannya sering kali tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari pihak berwenang, sehingga mereka merasa terjebak dalam siklus kekerasan.
Victim Blaming menjadi salah satu tantangan utama dalam mengatasi kekerasan terhadap perempuan. Banyak masyarakat yang masih menyalahkan korban daripada pelaku, sehingga korban dan pelapor sering berakhir menjadi pihak yang disalahkan.
Selain itu, perempuan juga menghadapi ancaman di ruang publik. Banyak perempuan merasa tidak aman saat bepergian, bekerja, dan bahkan saat di tempat beribadah. Perilaku pelecehan dan kekerasan di ruang publik sering kali dianggap sebagai hal yang sepele karena masyarakat cenderung fokus pada cara berpakaian korban.
Pada akhirnya apapun yang menyangkut korban akan dijadikan alasan pelaku melakukan tindakan kekerasan tersebut, padahal apapun alasannya, kekerasan seksual adalah tindakan yang tidak akan bisa dibenarkan. Penting untuk mengedukasi masyarakat agar fokus pada tindakan pelaku dan mendukung korban daripada menyalahkan mereka berdasarkan pilihan pakaian mereka.
Seperti yang kita tahu, budaya patriarki lahir dan berkembang di dalam kehidupan kita yang menjadikan masyarakat masih membatasi ruang perempuan untuk mendapatkan hak yang sama seperti yang laki-laki dapatkan. Perempuan selalu dianggap sebagai makhluk lemah yang ujung-ujungnya hanya berperan dalam urusan rumah tangga.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat sudah seharusnya sadar akan keseimbangan peran dalam rumah tangga tanpa memandang gender. Karena dampaknya, perempuan masih sering dianggap lebih rendah kedudukannya daripada laki-laki. Laki-laki cenderung lebih mendominasi dan selalu diposisikan paling utama, paling unggul, dan menjadi prioritas.
Sebagai contohnya, kasus Agni, seorang mahasiswi di UGM, melaporkan telah dilecehkan secara seksual oleh salah satu rekannya saat melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Setelah melaporkan kejadian tersebut, pihak kampus justru memberikan nilai rendah kepada Agni dan menyalahkannya atas peristiwa tersebut.
Seorang pejabat kampus berkomentar bahwa jika Agni tidak menginap di lokasi KKN, peristiwa itu tidak akan terjadi. Hal ini menunjukkan bagaimana korban dipersalahkan atas tindakan pelaku. Pihak kampus cenderung fokus pada korban dan memperburuk trauma yang dialami oleh korban. Korban semakin tidak memiliki ruang berbicara, semakin terpojok, dan bahkan ada yang mengalami depresi berat setelah membaca kritik yang menyudutkan mereka.
Menghadapi kasus kekerasan seksual pada perempuan yang tidak lagi memiliki ruang aman memerlukan pendekatan yang komprehensif dan berfokus pada pemulihan serta perlindungan korban. Gerakan feminisme dan perjuangan untuk kesetaraan gender telah berusaha untuk menghapus stigma dan diskriminasi terhadap perempuan. Hal itu dilakukan guna menuntut pengakuan akan nilai dan kontribusi mereka di masyarakat. Namun, dengan kesadaran masyarakat yang minim dan stigma yang terlanjur melekat dan melebur menjadi prinsip sosial. Hal itu memaksa perempuan untuk bertindak mandiri agar keberadaan mereka semakin tidak terancam.
Langkah lain yang dapat dilakukan adalah korban harus didengar dan dipahami tanpa kita yang menjadi pendengar itu menghakimi. Dukungan dari orang terdekat sangat penting untuk membantu mereka menceritakan pengalaman traumatis yang dialami tanpa tekanan apapun.
Selain itu, dengan kita memfasilitasi akses korban kepada bantuan hukum untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya. Hal ini termasuk memberikan informasi tentang hak-hak mereka dan proses hukum yang harus dilalui agar mereka memahami langkah-langkah yang bisa diambil untuk mendapatkan keadilan.
Langkah preventif yang sering disepelekan adalah tidak adanya pengimplementasian program pendidikan di sekolah-sekolah dan komunitas tentang kesetaraan gender, hak-hak perempuan, dan pencegahan kekerasan seksual untuk mengubah sikap masyarakat terhadap perempuan. Hal seperti ini memang sepele, tetapi dampaknya bisa besar dan mempengaruhi stigma masyarakat yang seringnya merugikan point of view perempuan. Melibatkan laki-laki dalam upaya pencegahan kekerasan berbasis gender dengan mendidik mereka tentang partisipasi mereka dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan. Karena hakikatnya, perempuan dan laki-laki adalah makhluk Tuhan yang mempunyai kedudukan sama. Proses pelibatan ini ditujukan agar seluruh masyarakat baik perempuan maupun laki-laki, memiliki pandangan yang sama dalam menyikapi segala hal yang menyimpang dari norma itu terjadi. Walaupun sulit, setidaknya kita sebagai generasi muda telah menginisiasikan hal yang semestinya kita lakukan untuk mewujudkan dunia ini menjadi lebih aman.
Biodata Penulis:
Alea Olivia lahir pada tanggal 10 Februari 2006. Penulis bisa disapa di Instagram @xrkjhong.