Puisi: Toilet (Karya Joko Pinurbo)

Puisi "Toilet" karya Joko Pinurbo (sering dipanggil Jokpin) adalah salah satu karya yang penuh ironi, humor, sekaligus refleksi mendalam tentang ...
Toilet (1)

Ia mencintai toilet lebih dari bagian-bagian lain
rumahnya. Ruang tamu boleh kelihatan suram,
ruang tidur boleh sedikit berantakan, ruang keluarga
boleh agak acak-acakan, tapi toilet harus
dijaga betul keindahan dan kenyamanannya.
Toilet adalah cermin jiwa, ruang suci, tempat
merayakan yang serba sakral dan serba misteri.

Bertahun-tahun kita mengembara mencari
wajah asli kita, padahal kita dapat dengan mudah
menemukannya, yakni saat bertahta di atas
lubang toilet. Karena itulah, barangkali, kita mudah
merasa was-was dan terancam bila melihat
atau mendengar kelebat orang dekat toilet
karena kita memang tidak ingin ada orang lain
mengintip wajah kita yang sebenarnya.

Demikianlah, ketika saya bertandang
ke rumahnya, tanpa saya tanya ia langsung berkata,
“Kalau mau ke toilet, terus saja lurus ke belakang,
putar sedikit ke kiri, kemudian belok kanan.”

Mungkin ia bermaksud memamerkan toiletnya
yang mewah. Begitu saya keluar dari toilet,
ia bertanya, “Dapat berapa butir?” Butir apa?

Toilet (2)

Nah, ia terbangun dari tidurnya yang murung
dan gelisah. Dengan bersungut-sungut ia berjalan
tergopoh-gopoh ke toilet. Keluar dari toilet,
wajahnya tampak sumringah, langkahnya santai,
matanya cerah: “Merdeka!” Sambil senyum-senyum
ia kembali tidur. Tidurnya damai dan pasrah.

Terus terang saya suka membayangkan
yang bukan-bukan kalau ia berlama-lama di toilet.
Apalagi tengah malam. Apalagi mendengar ia
terengah, mengerang, mengaduh, sesekali menjerit
lalu berseru, “Edan!” Seperti sedang
melepaskan rasa sakit yang tak tertahankan.

O ternyata ia sedang bertelur. Dan ia rajin ke toilet
malam-malam untuk mengerami telur-telurnya.
Bertahun-tahun ia bolak-balik antara kamar tidur
dan toilet untuk melihat apakah telur-telur
mimpinya dan telur-telur mautnya sudah menetas.

1999

Sumber: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016)

Analisis Puisi:

Puisi "Toilet" karya Joko Pinurbo (sering dipanggil Jokpin) adalah salah satu karya yang penuh ironi, humor, sekaligus refleksi mendalam tentang kehidupan manusia. Melalui medium sederhana—sebuah toilet—Jokpin membawa pembaca pada perjalanan perenungan tentang kesadaran diri, ketakutan, kejujuran, bahkan kemerdekaan. Dalam dua bagian puisi ini, Jokpin tidak hanya menghadirkan toilet sebagai ruang fisik, tetapi juga sebagai simbol metaforis dari tempat perenungan dan pelepasan.

Bagian 1: Toilet sebagai Ruang Sakral

Puisi bagian pertama menyoroti bagaimana seorang tokoh dalam narasi mencintai toilet lebih dari bagian rumah lainnya. Toilet bukan hanya tempat membersihkan diri, melainkan ruang yang suci dan penuh misteri:

"Toilet adalah cermin jiwa, ruang suci, tempat / merayakan yang serba sakral dan serba misteri."

Di sini, Jokpin menggambarkan toilet sebagai tempat di mana seseorang menemukan dirinya yang paling jujur dan autentik. Saat berada di toilet, seseorang bisa melepas topeng sosialnya dan melihat “wajah asli” yang sering tersembunyi di balik rutinitas dan kepalsuan kehidupan.

"Bertahun-tahun kita mengembara mencari / wajah asli kita, padahal kita dapat dengan mudah / menemukannya, yakni saat bertahta di atas / lubang toilet."

Metafora ini membawa pembaca pada pemikiran filosofis: dalam kesunyian toilet, kita bertemu dengan diri sendiri tanpa gangguan dunia luar. Toilet menjadi ruang refleksi yang intim, tetapi juga penuh kerentanan, seperti terlihat dari rasa was-was jika ada orang yang mendekati toilet—seolah-olah itu adalah ancaman terhadap privasi dan kejujuran kita.

Ada juga elemen humor yang halus dalam bagian ini. Ketika tokoh dalam narasi memamerkan toiletnya yang mewah, pertanyaan “Dapat berapa butir?” memberikan kejutan tak terduga. Pertanyaan ini tidak dijelaskan secara langsung, tetapi memancing pembaca untuk memikirkan ironi kehidupan: seberapa sering hal-hal kecil dan konyol, seperti hasil "kunjungan" ke toilet, menjadi pembicaraan yang lebih jujur daripada hal-hal besar dalam hidup.

Bagian 2: Toilet sebagai Ruang Pelepasan dan Harapan

Pada bagian kedua, Jokpin menggambarkan pengalaman emosional seorang tokoh yang bolak-balik ke toilet di malam hari. Adegan ini menggambarkan bagaimana toilet menjadi tempat pelepasan rasa sakit sekaligus harapan baru. Ketika tokoh keluar dari toilet dengan wajah sumringah dan berseru, “Merdeka!”, pembaca disuguhi ironi bahwa kebahagiaan sederhana sering kali berasal dari momen yang sangat manusiawi—bahkan yang sering dianggap tabu atau remeh.

Ada kesan teatrikal dalam deskripsi ini:

"Apalagi mendengar ia / terengah, mengerang, mengaduh, sesekali menjerit / lalu berseru, 'Edan!' Seperti sedang / melepaskan rasa sakit yang tak tertahankan."

Namun, lebih dari sekadar humor atau ironi, puisi ini menyelipkan refleksi mendalam tentang proses kehidupan. Jokpin memperkenalkan simbol telur sebagai representasi dari mimpi, harapan, dan bahkan kematian:

"Bertahun-tahun ia bolak-balik antara kamar tidur / dan toilet untuk melihat apakah telur-telur / mimpinya dan telur-telur mautnya sudah menetas."

Telur-telur ini menjadi metafora bagi proses kreatif atau spiritual seseorang, di mana toilet berfungsi sebagai ruang “penetasan.” Dalam kesunyian toilet, seseorang merenungkan harapannya, menghadapi ketakutannya, dan bahkan berdamai dengan kemungkinan akhir hidupnya.

Simbolisme dalam Toilet

Jokpin berhasil mengangkat objek yang dianggap sepele menjadi simbol penuh makna. Berikut adalah beberapa simbol utama dalam puisi Toilet:
  1. Toilet sebagai Ruang Kejujuran: Toilet menjadi tempat di mana seseorang benar-benar "melepas" segala sesuatu—baik dalam arti fisik maupun emosional. Di sini, Jokpin mengingatkan bahwa kejujuran dan keaslian diri sering kali muncul di ruang-ruang yang paling privat.
  2. Telur sebagai Simbol Harapan dan Kematian: Telur dalam puisi ini mencerminkan dualitas kehidupan: harapan baru yang sedang ditetaskan, tetapi juga kesadaran akan kematian yang tak terhindarkan. Toilet menjadi ruang antara, tempat seseorang menghadapi siklus ini dengan keberanian dan penerimaan.
  3. Merdeka sebagai Pelepasan Beban: Seruan “Merdeka!” setelah keluar dari toilet menunjukkan kebebasan dan kelegaan yang sederhana tetapi universal. Ini mengingatkan kita bahwa kebahagiaan tidak selalu berasal dari hal besar, tetapi dari pelepasan beban—baik fisik maupun emosional.

Gaya Bahasa dan Humor dalam Puisi

Joko Pinurbo dikenal karena kemampuannya memadukan humor, ironi, dan kedalaman dalam karya-karyanya. Dalam Toilet, penggunaan bahasa sederhana dan deskripsi detail tentang aktivitas sehari-hari menciptakan suasana yang akrab dan ringan. Namun, di balik kesederhanaan ini, Jokpin menyelipkan pesan filosofis yang kompleks.

Elemen humor juga menjadi daya tarik utama. Jokpin tidak ragu menggambarkan pengalaman manusia yang sering kali dianggap tabu, seperti aktivitas di toilet, dengan cara yang jenaka tetapi reflektif. Humor ini tidak hanya menghibur tetapi juga memancing pembaca untuk merenungkan kehidupan dari sudut pandang yang berbeda.

Melalui puisi "Toilet", Joko Pinurbo mengajarkan kita untuk menemukan keindahan dan makna dalam kesederhanaan. Toilet, sebagai ruang yang sering diabaikan, diangkat menjadi simbol kehidupan manusia yang kompleks: tempat kejujuran, pelepasan, refleksi, dan harapan.

Dengan bahasa yang sederhana tetapi penuh makna, Jokpin mengingatkan bahwa momen-momen kecil dalam hidup—seperti duduk di toilet—dapat menjadi cermin jiwa, ruang untuk merenung, dan bahkan tempat untuk menetasnya mimpi-mimpi. Puisi ini, seperti karya Jokpin lainnya, mengajak kita untuk merayakan sisi manusiawi yang sering kali tersembunyi, tetapi justru menjadi inti dari keberadaan kita.

Puisi: Toilet
Puisi: Toilet
Karya: Joko Pinurbo
© Sepenuhnya. All rights reserved.