Tatkala Gamang Berhenti
Muntahan luka tak digubris, biarkan saja begitu
Sayat teteskan lara, diamkan membiru
Aliran rajam memang selalu seperti jalari
Kecup menari-nari bersama rintih nyeri
Antena gamang pancarkan radar sinyal kepada riuh
Bersiul-siul goda cekam agar senantiasa rengkuh
Gemuruh pesta, takkan lenyap oleh seduh
Gemerlap mala lekat pada dinding ironi, enggan luruh
Tiada absen cuti hari ini
Mereka bersorak seperti kerja dapat gaji
Berebut, teriak nyanyian elegi
Memang sudah biasa resapi
Frustrasi terus warnai bising rongga benak
Gema meliuk terpa seperti deru ombak
Masih senantiasa dengan lantang teriak
Lajur riuhnya masih terus berarak
Aku tetap abai karena berarti nyawa masih mengisi
Jika otakku sunyi, maka jiwaku tak berisi
Saat rongga bising senyap, ragaku tiada penghuni
Tatkala gamang berhenti berarti aku sudah mati
Bumi, 10 Desember 2024
Analisis Puisi:
Puisi "Tatkala Gamang Berhenti" karya Helda Safira adalah sebuah refleksi mendalam tentang perjuangan batin manusia dalam menghadapi kesepian, kegelisahan, dan rasa gamang. Dengan bahasa puitis yang kaya akan metafora dan ironi, karya ini mengungkapkan bagaimana perasaan bising dalam jiwa justru menjadi tanda bahwa kehidupan masih berlangsung, meskipun penuh dengan kontradiksi dan rasa sakit.
Gamang Sebagai Simbol Kehidupan
Puisi ini menggunakan gamang—sebuah perasaan bingung, ragu, atau tidak tenang—sebagai simbol keberadaan hidup. Baris, "Jika otakku sunyi, maka jiwaku tak berisi," mengindikasikan bahwa meskipun rasa gamang sering kali membawa penderitaan, ia juga menjadi tanda bahwa seseorang masih hidup, masih merasakan, dan masih ada. Perasaan tersebut, meskipun menyakitkan, adalah bagian tak terpisahkan dari proses kehidupan.
Baris terakhir, "Tatkala gamang berhenti berarti aku sudah mati," mempertegas ide ini. Ketika rasa gamang berhenti, bukan berarti kedamaian tercapai, melainkan justru ketiadaan—kematian. Ini menunjukkan betapa pentingnya rasa, meski rasa itu berasal dari kegelisahan.
Bising dan Kesepian: Dua Sisi Kehidupan Batin
Puisi ini menggambarkan kebisingan batin sebagai fenomena yang kontradiktif. Di satu sisi, "Frustrasi terus warnai bising rongga benak," menggambarkan tekanan dan keruwetan pikiran yang mendera. Namun di sisi lain, kebisingan ini menjadi pengingat bahwa kehidupan masih berjalan. "Aku tetap abai karena berarti nyawa masih mengisi," mengungkapkan bahwa selama pikiran dan jiwa masih aktif, seseorang masih memiliki eksistensi.
Konflik antara keinginan untuk tenang dan ketakutan akan kekosongan menjadi tema utama dalam puisi ini. Keheningan yang diinginkan ternyata membawa potensi kehampaan, sementara kebisingan yang dirasa mengganggu justru menjadi tanda vitalitas.
Luka dan Pesta: Ironi Kehidupan
Metafora yang digunakan dalam puisi ini kaya akan ironi. Luka dan rasa sakit digambarkan dengan "Muntahan luka tak digubris, biarkan saja begitu," seolah menunjukkan ketidakpedulian atau penerimaan pasrah terhadap penderitaan. Namun, di sisi lain, ada elemen perayaan dalam baris, "Mereka bersorak seperti kerja dapat gaji," yang menunjukkan bagaimana rasa sakit dan kegelisahan sering kali menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika hidup, seolah-olah rasa itu dirayakan dalam bentuk lain.
Gemuruh pesta, gemerlap malam, dan nyanyian elegi menciptakan suasana paradoks antara keramaian dan kesepian. Hal ini mencerminkan bagaimana manusia sering kali terjebak dalam hiruk-pikuk kehidupan, tetapi tetap merasa kosong di dalam hati.
Antena Gamang: Komunikasi dengan Ketidakpastian
Baris, "Antena gamang pancarkan radar sinyal kepada riuh," menggambarkan bagaimana kegelisahan bertindak seperti alat komunikasi yang terus-menerus menangkap dan memancarkan sinyal ketidakpastian. Kegelisahan ini seolah menjadi medium yang menghubungkan jiwa manusia dengan realitas yang penuh ironi, di mana "Gemerlap mala lekat pada dinding ironi, enggan luruh."
Antena ini mencerminkan keadaan mental yang aktif, selalu mencari, dan selalu merespons. Namun, tangkapan sinyal tersebut tidak selalu menenangkan, melainkan memperburuk kecemasan yang ada.
Keteguhan di Tengah Derita
Meskipun puisi ini penuh dengan nuansa kegelisahan, ada elemen keteguhan yang dapat ditemukan. Sang tokoh dalam puisi ini memilih untuk "abai," menerima kegelisahan sebagai bagian dari hidup. Pilihan ini menunjukkan kekuatan dan keberanian untuk tetap hidup di tengah-tengah kebisingan mental yang tak kunjung reda.
Baris, "Jika otakku sunyi, maka jiwaku tak berisi," memberikan pesan kuat bahwa keberadaan manusia bergantung pada aktivitas pikiran dan jiwa, betapapun sulitnya kondisi tersebut.
Refleksi Kehidupan dan Kematian
Tema kematian hadir dengan tegas di akhir puisi. Frasa, "Tatkala gamang berhenti berarti aku sudah mati," memberikan refleksi mendalam tentang hubungan antara hidup dan rasa gamang. Kematian tidak digambarkan sebagai peristiwa fisik semata, tetapi sebagai keadaan di mana tidak ada lagi rasa, tidak ada lagi kegelisahan, dan tidak ada lagi eksistensi.
Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan bahwa bahkan rasa sakit dan kegelisahan memiliki makna dalam hidup. Ketika semuanya hilang, tidak hanya rasa sakit yang lenyap, tetapi juga kehidupan itu sendiri.
Puisi "Tatkala Gamang Berhenti" karya Helda Safira adalah puisi yang penuh dengan perenungan eksistensial. Melalui metafora luka, bising, dan gamang, puisi ini menggambarkan perjuangan manusia dalam menghadapi kegelisahan hidup. Namun, di balik kegelisahan tersebut, ada pesan kuat tentang bagaimana rasa, bahkan yang menyakitkan sekalipun, adalah bukti bahwa kehidupan terus berlangsung.
Puisi ini mengajarkan bahwa menerima kegelisahan sebagai bagian dari hidup dapat memberikan makna yang lebih dalam. Dengan bahasa yang penuh ironi dan simbolisme, Helda Safira berhasil menciptakan karya yang tidak hanya indah secara puitis, tetapi juga memberikan pelajaran berharga tentang keberanian menghadapi hidup apa adanya.
Karya: Helda Safira
Biodata Helda Safira: