Puisi: Sekata Maaf yang Terlalu Enggan untuk Terucap (Karya WS Handayani)

Puisi "Sekata Maaf yang Terlalu Enggan untuk Terucap" mengajarkan pentingnya mengambil tindakan untuk meminta maaf dan memaafkan, sebelum waktu ...

Sekata Maaf yang Terlalu Enggan untuk Terucap


ada luka di ujung bibir
yang tak pernah sempat diikat kata
menjadi maaf yang lepas dari jemari angin
terpaut diam
hati menjahit sunyi dalam gelisah
seperti halimun yang menari di pagi hari
yang tak kunjung sudi menyentuh tanah

barangkali maaf itu telah layu
sebelum sempat berbunga di lidah
terkubur asing dalam pekat malam
hingga kita terus menunggu
meski tahu menunggu adalah jarak
yang tak pernah dekat

sebenarnya ada seribu bisikan yang ingin kita titipkan
namun mereka tersangkut di ranting-ranting waktu
yang kita biarkan patah tanpa kata

Garuda Sakti, 23 Oktober 2024

Analisis Puisi:

Puisi "Sekata Maaf yang Terlalu Enggan untuk Terucap" karya WS Handayani adalah refleksi mendalam tentang pergulatan emosi manusia dalam mengungkapkan kata "maaf." Dengan diksi yang puitis dan metafora yang kaya, puisi ini menggambarkan betapa sulitnya seseorang menghadapi ego, luka batin, dan keheningan yang menyelimuti hubungan antarmanusia.

Kesunyian yang Menghantui Luka

Puisi ini dimulai dengan baris:

"ada luka di ujung bibir yang tak pernah sempat diikat kata"

Baris ini menggambarkan betapa dekatnya seseorang dengan kesempatan untuk meminta maaf, namun tetap memilih bungkam. Luka di ujung bibir melambangkan ketidaktuntasan perasaan, sementara "diikat kata" menunjukkan bahwa maaf adalah sesuatu yang mengandung potensi untuk menyembuhkan, tetapi sering kali tertahan.

Perasaan gelisah semakin dipertegas dengan kalimat, "hati menjahit sunyi dalam gelisah," yang menunjukkan pergulatan batin. Penulis menggunakan metafora "halimun yang menari di pagi hari yang tak kunjung sudi menyentuh tanah" untuk menggambarkan ketidakmampuan seseorang menurunkan ego dan memberikan maaf. Halimun, seperti kabut yang enggan lenyap, menjadi simbol stagnasi emosi.

Maaf yang Layu Sebelum Berbunga

Pada bagian ini, WS Handayani menulis:

"barangkali maaf itu telah layu sebelum sempat berbunga di lidah."

Baris ini adalah metafora kuat yang menggambarkan bagaimana maaf sering kali tertinggal sebagai potensi yang tidak pernah diwujudkan. Kata "layu" memberikan kesan bahwa waktu telah berlalu tanpa tindakan, sehingga harapan untuk berdamai perlahan memudar.

Maaf yang terkubur dalam "pekat malam" melambangkan perasaan yang semakin jauh terkubur dalam kegelapan, di mana tidak ada cahaya harapan untuk memperbaiki hubungan. "Meski tahu menunggu adalah jarak yang tak pernah dekat," menegaskan bahwa membiarkan waktu berlalu tanpa mengambil tindakan hanya memperpanjang kesenjangan emosi antara dua pihak.

Kata-Kata yang Tersangkut di Ranting Waktu

Baris terakhir puisi ini,

"sebenarnya ada seribu bisikan yang ingin kita titipkan namun mereka tersangkut di ranting-ranting waktu,"

menghadirkan gambaran lain tentang ketidakmampuan menyampaikan maaf. Ada banyak keinginan untuk berbicara, tetapi waktu dan keadaan menjadi penghalang. "Ranting-ranting waktu" diibaratkan sebagai hambatan yang rapuh tetapi nyata, menggambarkan bagaimana kita sering membiarkan kata-kata penting itu tertahan hingga hubungan menjadi renggang.

Ranting yang patah "tanpa kata" mencerminkan hubungan yang rusak karena kurangnya komunikasi. Puisi ini menggambarkan bahwa keengganan untuk meminta maaf tidak hanya melukai diri sendiri, tetapi juga merusak ikatan dengan orang lain.

Pesan Moral: Keberanian untuk Memaafkan dan Meminta Maaf

WS Handayani melalui puisi ini mengingatkan pembaca akan pentingnya mengatasi ego dan ketakutan untuk mengucapkan maaf. Memaafkan atau meminta maaf adalah tindakan kecil yang memiliki dampak besar dalam hubungan manusia. Namun, seperti yang digambarkan dalam puisi ini, proses tersebut sering kali dihambat oleh rasa malu, kesombongan, atau ketidakmampuan untuk menghadapi luka masa lalu.

Puisi ini juga mengajarkan bahwa waktu tidak selalu menjadi penyembuh. Jika maaf terus tertahan, luka bisa semakin dalam dan hubungan menjadi semakin sulit diperbaiki. Dengan kata lain, menunggu adalah jarak yang tak pernah dekat mengingatkan kita bahwa tindakan adalah kunci untuk mengatasi keterasingan emosional.

Keindahan Bahasa dalam Puisi

WS Handayani menggunakan diksi yang lembut namun penuh makna untuk menyampaikan emosi yang kompleks. Beberapa metafora seperti "halimun yang menari di pagi hari" dan "ranting-ranting waktu" memberikan kedalaman visual dan emosi yang kuat, membuat pembaca merasakan langsung beban dari kata-kata yang tak terucap.

Relevansi dengan Kehidupan Modern

Dalam konteks kehidupan modern, puisi ini sangat relevan. Kita sering kali menemukan diri dalam situasi di mana meminta maaf terasa sulit, bahkan ketika kita tahu itu adalah hal yang benar untuk dilakukan. Media sosial dan komunikasi digital terkadang memperburuk situasi ini, karena hubungan menjadi semakin dangkal dan penuh jarak emosional.

Puisi ini mengingatkan kita untuk kembali kepada inti dari hubungan manusia: keberanian untuk mengakui kesalahan, memaafkan, dan memperbaiki hubungan sebelum semuanya terlambat.

Puisi "Sekata Maaf yang Terlalu Enggan untuk Terucap" adalah puisi yang menyentuh hati dan menggambarkan betapa rapuhnya hubungan manusia ketika kata maaf tertahan. Melalui bahasa yang indah dan metafora yang mendalam, WS Handayani berhasil menangkap esensi dari konflik batin dan ego yang sering kali menghalangi kita untuk menciptakan perdamaian.

Puisi ini mengajarkan pentingnya mengambil tindakan untuk meminta maaf dan memaafkan, sebelum waktu memisahkan kita terlalu jauh. Sebuah karya yang mengingatkan kita untuk selalu memilih keberanian dan kerendahan hati demi menjaga keutuhan hubungan.

WS Handayani
Puisi: Sekata Maaf yang Terlalu Enggan untuk Terucap
Karya: WS Handayani

Biodata WS Handayani:
  • Wilda Srihastuty Handayani Piliang lahir pada tanggal 17 Januari 1980 di Padang Sidempuan. Saat ini mengabdikan diri sebagai dosen di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Islam Riau, anggota FLP Pekanbaru, chief editor di Jurnal Sanggam, dan pengurus Komunitas Riau Sastra.
  • Wilda aktif menulis puisi di Kelas Puisi Asqa Imagination School (AIS) #51 dan bisa disapa di Instagram @whielsayangkamu

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.