Sumber: Puitika Roestam Effendi dan Percikan Permenungan (2013)
Analisis Puisi:
Puisi "Berkawan" karya Rustam Effendi adalah karya yang penuh dengan lapisan makna, mengajak pembaca untuk merefleksikan perjalanan hidup dalam kesendirian, pencarian akan teman sejati, dan pencarian kedamaian dalam diri. Dengan menggunakan bahasa yang kaya simbolisme dan metafora, puisi ini menggambarkan perjalanan batin seseorang yang sedang berjuang mencari kawan sejati dan tujuan hidup yang lebih bermakna.
Kehidupan yang Sepi dan Pencarian dalam Kesendirian
Pada bait pertama puisi ini, "Seorang / Beta melenggang / Keliling / Sunyi yang bening," Rustam Effendi langsung membawa kita pada gambaran seorang individu yang berjalan sendirian dalam kesunyian yang tenang, namun sepi. Kata "sunyi yang bening" memberikan gambaran paradoks: sebuah kesunyian yang bukan hanya hening tetapi juga penuh dengan kejernihan, seolah-olah memberi ruang untuk berpikir dan merefleksikan diri. Namun, meskipun sunyi itu tampak murni, ia tetap terasa kosong dan menjauhkan individu dari dunia luar.
Kata "Beta" yang digunakan dalam puisi ini, mungkin merujuk pada bentuk kata ganti diri yang menunjukkan rasa kerendahan hati dan kesendirian, memperkuat gambaran seseorang yang berjalan seorang diri, tanpa teman di sisinya. "Melenggang keliling" bisa diartikan sebagai sebuah perjalanan panjang yang tidak ada ujungnya, yang dilakukan tanpa arah atau tujuan yang jelas.
Konflik Batin dan Keterasingan
Kemudian, pada bait "Gemetar / Beta tersadar / Menggigir / Beta berpikir," penulis membawa kita pada perasaan seseorang yang mulai menyadari keberadaannya dalam kesendirian. Kata "gemetar" menunjukkan perasaan ketidakpastian, mungkin juga ketakutan akan masa depan atau kesepian yang mendalam. Namun, ada juga kesadaran yang muncul ("tersadar"), yang menunjukkan bahwa ada upaya untuk merenung dan mencari makna dalam perjalanan hidup yang sunyi ini.
Perasaan kesendirian semakin diperburuk dengan "Berjalan / Tidak berkawan / Bermadar / Tidak pendengar!" Di sini, "tidak berkawan" menegaskan bahwa seseorang itu merasa terasing, tidak memiliki teman yang bisa diajak berjalan bersama, berbicara, atau berbagi pengalaman. "Bermadar" bisa diartikan sebagai usaha untuk berkomunikasi atau berdialog, tetapi merasa tidak ada yang mendengarkan atau merespons—menggambarkan perasaan hampa dalam interaksi sosial. Ini adalah gambaran tentang kesepian yang ekstrem, yang menyebabkan seseorang merasa terisolasi dalam dunia yang tidak peduli padanya.
Pencarian Makna dan Penemuan Diri
Pada bagian "Merawak / Pada si pekak / Menggemik / Tidak memekik," Rustam Effendi menggambarkan perasaan frustasi, di mana seseorang berusaha untuk berkomunikasi dengan dunia, namun merasa bahwa kata-katanya hanya "menggemik," tanpa efek nyata. "Si pekak" mungkin merujuk pada kondisi dunia atau orang-orang yang tidak mampu mendengar atau memahami perasaan orang lain. Meski berusaha untuk berbicara atau berteriak, suara tersebut tidak dapat didengar atau diperhatikan oleh orang lain.
Namun, dalam kesendirian itu, ada juga kekuatan untuk terus bertahan dan mencari kedamaian batin, seperti yang terlihat pada "Di dalam / Beta merewan / Berderai / Darah bersorai." "Merewan" di sini bisa diartikan sebagai sebuah proses introspeksi atau pencarian kedamaian dalam diri. Namun, proses ini tidak mudah—terdapat perjuangan batin yang terasa sangat berat, sebagaimana digambarkan dengan "berderai darah bersorai," yang memberi kesan bahwa pencarian ini penuh dengan penderitaan.
Harapan dan Pencapaian Tujuan
Meski demikian, ada secercah harapan yang muncul di bagian selanjutnya: "Di samping / Ada mengiring / Penawar / Hati yang sabar." Di sini, "penawar" menggambarkan sesuatu yang menyembuhkan—mungkin kedamaian atau pemahaman yang datang dari dalam diri atau dari suatu sumber eksternal yang memberi harapan. "Hati yang sabar" menekankan pentingnya ketenangan dan ketabahan dalam menjalani hidup, meskipun penuh dengan kesulitan dan kesendirian.
Pada bait "Haramlah / Mundur selangkah / Mencapai / Maksud yang permai," Rustam Effendi menegaskan bahwa untuk mencapai tujuan hidup yang indah ("maksud yang permai"), mundur atau menyerah bukanlah pilihan. "Haramlah mundur" memberi perasaan bahwa mundur dalam pencarian makna atau tujuan hidup adalah sesuatu yang harus dihindari—sebuah dorongan untuk terus maju, meskipun perjalanan terasa berat.
Penerimaan dan Kedamaian dalam Kehidupan
Pada bagian akhir puisi, "Karena / Beta terjaga / Dipimpin / Rabul’alamin," Rustam Effendi memberikan sebuah pencerahan bahwa meskipun hidup penuh dengan tantangan dan kesendirian, ada kekuatan yang lebih besar yang memimpin dan menjaga kita. "Dipimpin Rabul’alamin" mengacu pada Tuhan sebagai penuntun hidup, yang memberikan arah dan harapan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun dalam kesendirian dan kebingungan, keyakinan akan Tuhan dapat memberikan kedamaian dan arah yang jelas dalam kehidupan.
Puisi ini ditutup dengan kesan positif, "Berkawan / Beta berjalan / Beriman / Teguh ke Tuhan." Pada akhirnya, setelah melalui perjalanan panjang yang penuh kesendirian, penulis menemukan kedamaian dalam beriman dan berjalan bersama Tuhan. "Berkawan" di sini mengacu pada pencapaian kedamaian batin dengan Tuhan sebagai teman sejati yang selalu ada, memberi arahan dan tujuan hidup.
Puisi "Berkawan" karya Rustam Effendi menggambarkan perjalanan hidup yang penuh dengan kesendirian, pencarian diri, dan perasaan terasing. Namun, melalui perjuangan batin, ketekunan, dan keyakinan kepada Tuhan, individu akhirnya menemukan kedamaian dan arah dalam hidup. Dengan bahasa yang kaya akan simbolisme, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya kesabaran, iman, dan perjalanan hidup yang terus berlanjut meskipun penuh dengan tantangan.