Analisis Puisi:
Puisi "Asal Mula" karya Gunoto Saparie menggambarkan perjalanan hidup yang bersifat siklis, setiap awal dan akhir membentuk satu kesatuan yang tak terpisahkan. Melalui rangkaian kata-kata yang terkesan sederhana namun penuh makna, puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang asal usul kehidupan, perjalanan manusia, dan titik akhir yang tak terelakkan. Dalam tiap baitnya, Saparie mengungkapkan ketidakpastian dan keterbatasan manusia dalam menghadapi takdir, serta bagaimana kita selalu berputar kembali pada titik asal yang sebenarnya.
“Asal mula kita dari rumah, lalu kembali pulang ke rumah”
Puisi ini dimulai dengan gambaran yang sederhana: rumah. Rumah sebagai tempat asal mula kehidupan dan tempat kembali, adalah simbol dari kenyamanan dan kepastian. Namun, dalam konteks puisi ini, rumah bukan sekadar tempat fisik, tetapi juga simbol dari kondisi batin, keluarga, dan akar budaya. Dalam keadaan wabah virus corona yang menimpa dunia, puisi ini mencatat perubahan mendalam dalam kehidupan manusia. Kejadian yang awalnya tampak seperti mimpi kini menjadi kenyataan. Ini mengingatkan kita pada ketidakpastian hidup yang sering kali membawa kita kembali ke titik asal, untuk meresapi kembali apa yang penting.
“Asal mula kita dari sepi, lalu kembali pulang ke sunyi”
Bait ini menggambarkan bagaimana hidup manusia sering kali terjalin dalam kesepian. Meskipun hidup di tengah keramaian, sering kali kita merasa terasing dan kehilangan arah. Sepi dan sunyi di sini berfungsi sebagai cerminan dari kehampaan batin yang sering dirasakan dalam dunia modern yang semakin sibuk dan terhubung. Pada akhirnya, sepi adalah ruang di mana manusia benar-benar bertemu dengan diri mereka sendiri, berhadapan dengan kesendirian yang tak dapat dihindari.
“Asal mula kita dari puisi, lalu kembali pulang ke puisi”
Puisi dalam karya ini menjadi simbol dari ekspresi dan pemaknaan hidup. Asal mula dari puisi mencerminkan bagaimana bahasa dan kata-kata menjadi cara kita memahami dunia. Namun, ketika kata-kata tidak lagi memiliki arti yang jelas, kita merasa terasingkan dari makna yang semula kita cari. Puisi, yang seharusnya menjadi jembatan antara manusia dan realitas, berubah menjadi suatu hal yang sulit dipahami. Ini menggambarkan krisis makna yang sering terjadi dalam kehidupan manusia.
“Asal mula kita dari tanah, lalu kembali pulang ke tanah”
Tanah di sini mewakili asal usul kehidupan kita yang bersifat biologis. Kita berasal dari tanah, dan pada akhirnya tubuh kita pun akan kembali ke tanah. Ini adalah pengingat akan kefanaan dan siklus kehidupan yang tak terhindarkan. Namun, di balik gambaran ini ada pemikiran tentang kehidupan yang sementara, tentang bagaimana kita harus berhubungan dengan dunia ini, dan bagaimana kita akan berakhir. Tanah juga bisa dipahami sebagai simbol dari akar kehidupan manusia yang terhubung dengan alam dan keberadaan yang lebih besar.
“Asal mula kita dari Tuhan, lalu kembali pulang ke Tuhan”
Puisi ini mengungkapkan ketergantungan manusia pada Tuhan. Dalam banyak tradisi keagamaan, manusia dilihat sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dan pada akhirnya akan kembali kepada-Nya. Kehidupan ini, dengan segala keterbatasannya, menjadi perjalanan spiritual yang membawa kita kepada pemahaman tentang hakikat kehidupan dan mati. Dalam konteks wabah virus corona yang tak terduga, ada rasa ketidakberdayaan manusia yang membuat kita berpaling pada Tuhan sebagai sumber pengharapan.
“Asal mula kita dari surga, lalu kembali pulang ke surga (?)”
Akhir puisi ini mengangkat pertanyaan filosofis tentang surga dan kehidupan setelah mati. Apakah manusia, setelah menjalani kehidupan yang penuh ketidakpastian dan penderitaan, akan kembali ke surga yang penuh kedamaian? Pertanyaan ini membuka ruang bagi refleksi lebih dalam tentang makna kehidupan dan tujuan akhir manusia. Keterbatasan manusia dalam memahami takdir dan nasib akhirnya membawa kita pada pengakuan bahwa ada kekuatan yang lebih besar yang mengatur seluruh perjalanan ini.
Puisi "Asal Mula" karya Gunoto Saparie menawarkan gambaran yang mendalam tentang perjalanan hidup manusia yang bersifat siklis dan penuh ketidakpastian. Melalui rangkaian kata-kata yang terhubung dengan asal mula kehidupan—rumah, sepi, puisi, tanah, Tuhan, dan surga—puisi ini mengajak kita untuk merenung tentang asal usul kita dan kemana kita akan kembali. Setiap baitnya membuka lapisan pemahaman tentang kehidupan yang temporer, yang pada akhirnya, membawa kita pada pemahaman bahwa hidup ini tidak terlepas dari siklus lahir dan mati, hadir dan pergi, yang pada akhirnya adalah perjalanan spiritual menuju pemahaman yang lebih tinggi.
Karya: Gunoto Saparie
GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal.
Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).
Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015).
Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang) dan Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta, dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah.