Pernikahan dini, sebuah fenomena yang masih marak di beberapa belahan dunia, termasuk Indonesia, menjadi perdebatan panjang yang melibatkan berbagai aspek kehidupan. Di satu sisi, praktik ini terikat erat dengan tradisi dan budaya yang telah berlangsung turun-temurun. Di sisi lain, realita menunjukkan dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan fisik dan mental, pendidikan, serta kesejahteraan ekonomi para pelaku, terutama perempuan.
Salah satu faktor utama penyebab pernikahan dini adalah faktor budaya dan tradisi. Di beberapa komunitas, pernikahan dini dianggap sebagai norma sosial yang lumrah dan bahkan dirayakan sebagai sebuah kehormatan. Anggapan bahwa perempuan harus segera menikah setelah mencapai usia tertentu, seringkali didorong oleh kekhawatiran akan reputasi keluarga dan ketakutan terhadap kehamilan di luar nikah. Sistem patriarki yang masih kuat di beberapa daerah juga berperan penting, di mana perempuan dilihat sebagai aset keluarga yang harus dijaga dan dilindungi melalui pernikahan. Tradisi ini sering kali diwariskan secara turun-temurun, sehingga sulit untuk diubah dalam waktu singkat.
Faktor ekonomi juga menjadi pendorong utama pernikahan dini. Di daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi, pernikahan dini seringkali dipandang sebagai solusi untuk mengurangi beban ekonomi keluarga. Dengan menikahkan anak perempuannya, orang tua berharap dapat mengurangi pengeluaran untuk pendidikan dan pemeliharaan, serta mendapatkan mas kawin yang dapat membantu perekonomian keluarga. Hal ini terutama terjadi pada keluarga miskin yang memiliki banyak anak perempuan. Mereka mungkin merasa bahwa pernikahan dini adalah cara terbaik untuk mengamankan masa depan anak perempuan mereka, meskipun hal tersebut berisiko tinggi.
Selain faktor budaya dan ekonomi, faktor pendidikan juga berperan penting. Tingkat pendidikan yang rendah, baik pada orang tua maupun anak, sering kali dikaitkan dengan peningkatan angka pernikahan dini. Kurangnya pemahaman tentang dampak negatif pernikahan dini, serta kurangnya akses terhadap informasi dan pendidikan seks, membuat anak-anak perempuan rentan terhadap praktik ini. Orang tua yang kurang berpendidikan mungkin tidak menyadari bahaya pernikahan dini bagi kesehatan dan kesejahteraan anak-anak mereka. Mereka mungkin juga tidak memiliki kemampuan untuk mengadvokasi hak-hak anak mereka.
Dampak pernikahan dini terhadap individu dan masyarakat sangatlah signifikan. Secara fisik, perempuan yang menikah dini berisiko tinggi mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan, seperti preeklamsia, partus prematur, dan kematian ibu. Mereka juga berisiko tinggi mengalami kekerasan dalam rumah tangga, karena kurangnya pemahaman tentang hak-hak mereka dan kurangnya dukungan sosial. Secara psikologis, pernikahan dini dapat menyebabkan stres, depresi, dan kecemasan, terutama jika mereka tidak siap secara emosional dan mental untuk menjalani kehidupan pernikahan.
Dampak pernikahan dini terhadap pendidikan juga sangat merugikan. Pernikahan dini sering kali menyebabkan perempuan putus sekolah dan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensi mereka. Hal ini berdampak pada kualitas hidup mereka di masa depan, serta mengurangi kontribusi mereka terhadap perekonomian negara. Putusnya pendidikan juga dapat menyebabkan siklus kemiskinan yang berkelanjutan, karena perempuan yang kurang berpendidikan cenderung memiliki pendapatan yang lebih rendah dan lebih rentan terhadap kemiskinan.
Untuk mengatasi masalah pernikahan dini, diperlukan pendekatan multisektoral yang melibatkan pemerintah, masyarakat, dan individu. Pemerintah perlu memperkuat penegakan hukum terkait pernikahan dini, serta meningkatkan akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan reproduksi bagi perempuan. Masyarakat perlu mengubah pola pikir dan pandangan mereka tentang pernikahan dini, serta memberikan dukungan kepada perempuan yang menjadi korban pernikahan dini. Individu juga perlu berperan aktif dalam mencegah pernikahan dini dengan memberikan edukasi dan konseling kepada anak-anak dan keluarga mereka.
Pernikahan dini merupakan masalah kompleks yang memiliki akar budaya, ekonomi, dan pendidikan. Dampaknya terhadap individu dan masyarakat sangat signifikan dan merugikan. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak untuk mengubah pola pikir, memperkuat penegakan hukum, dan meningkatkan akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan reproduksi. Hanya dengan demikian, kita dapat melindungi hak-hak anak perempuan dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi mereka dan generasi mendatang.
Biodata Penulis:
Fauziah Syahla Fairuz saat ini aktif sebagai mahasiswa.