Apakah cara kita mendidik anak laki-laki dan perempuan harus berbeda? Sebelum itu kita perlu mengetahui apa itu gender. Gender adalah ide tentang apa yang dianggap "laki-laki" dan "perempuan" oleh masyarakat. Ini mencakup peran, perilaku, dan sifat yang kita kaitkan dengan masing-masing gender. Konsep gender berbeda dengan seks. Seks merujuk pada karakteristik biologis seseorang (laki-laki atau perempuan), sedangkan gender adalah konstruksi sosial.
Riset yang dilakukan oleh Rofiah & Diani (2022) menyimpulkan bahwa banyak orang tua berpendapat bahwa anak laki-laki seharusnya terlibat dalam permainan yang melibatkan kekuatan fisik, seperti permainan perang-perangan, sepak bola, mobil-mobilan, dan sejenisnya. Temuan ini sejalan dengan pandangan Tuliah (2018), yang juga menegaskan bahwa permainan yang melibatkan kekuatan fisik umumnya dianggap sebagai kegiatan yang cocok untuk anak laki-laki, sementara anak perempuan lebih cenderung terlibat dalam permainan rumah-rumahan, bermain masak-masakan, dan permainan lain yang dianggap aman serta tidak terlalu memerlukan kekuatan fisik.
Pola asuh anak sering dipengaruhi oleh ekspektasi gender yang berbeda dari orang tua. Anak laki-laki biasanya didorong untuk menjadi kuat dan mandiri, sedangkan anak perempuan diharapkan bersikap lembut dan peduli. Hal ini terlihat dalam pilihan mainan dan aktivitas yang diberikan, anak laki-laki lebih sering mendapat mobil-mobilan, sementara anak perempuan diberi boneka. Selain itu, pekerjaan rumah tangga juga sering dibagi berdasarkan gender, dengan anak perempuan melakukan tugas yang dianggap "feminin" dan anak laki-laki mengerjakan tugas yang lebih "maskulin".
Pengasuhan yang inklusif sangat penting untuk menghindari pembatasan berdasarkan gender, memberikan anak kesempatan untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka tanpa batasan. Orang tua harus menjadi role model yang menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peran dan kemampuan yang setara. Memahami perbedaan antara seks, yang bersifat biologis, dan gender, yang merupakan konstruk sosial, adalah kunci untuk mencegah penguatan stereotip yang dapat membatasi perkembangan anak. Dengan pendekatan yang lebih inklusif, anak-anak dapat tumbuh menjadi individu yang percaya diri dan mampu mengekspresikan diri mereka secara bebas.
Pola pengasuhan yang berorientasi gender terbentuk melalui berbagai faktor yang saling berinteraksi. Pertama, pengaruh budaya dan masyarakat memainkan peran penting, norma dan stereotip gender sering membentuk cara orang tua mengasuh anak. Selain itu, pengalaman pribadi orang tua, termasuk peran gender yang mereka alami di masa kecil, juga memengaruhi metode pengasuhan mereka. Lingkungan sekitar, seperti komunitas, agama, dan media sosial, semakin memperkuat pola tersebut dengan memberikan pesan tentang harapan dan perilaku yang sesuai untuk laki-laki dan perempuan.
Contoh pola pengasuhan ini termasuk memberikan mainan yang berbeda berdasarkan jenis kelamin, membagi tugas rumah tangga secara stereotip, dan mengarahkan pilihan karier anak sesuai dengan gender. Dampak positif dari pola ini, meski jarang, dapat berupa penguatan identitas gender dan sosialisasi yang lebih mudah. Namun, dampak negatifnya jauh lebih signifikan, seperti terbatasnya potensi anak, kurangnya kepercayaan diri, diskriminasi gender, dan hambatan dalam hubungan interpersonal.
Untuk mengatasi masalah ini, orang tua sebaiknya menghindari stereotip gender, memberikan pilihan yang beragam, menjadi model peran yang baik, dan melibatkan anak dalam pekerjaan rumah tangga. Pola pengasuhan yang terlalu kaku dapat menghambat perkembangan anak, menyebabkan pembatasan kreativitas, kurangnya kepercayaan diri, dan masalah dalam bersosialisasi. Sebagai alternatif, orang tua dapat memberikan kebebasan yang bertanggung jawab, mendengarkan pendapat anak, menghargai usaha mereka, dan menciptakan suasana nyaman untuk berbagi. Dengan pendekatan yang lebih inklusif, orang tua dapat membantu anak tumbuh menjadi individu yang percaya diri dan berdaya.
Dari esai yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa pola asuh yang diterapkan oleh orang tua memainkan peran kunci dalam membentuk identitas gender anak pada usia dini. Kerjasama orang tua terhadap lingkungan di sekitar anak juga perlu diperhatikan seperti sekolah serta lingkungan bermain anak demi mengoptimalkan identitas dan jati diri anak. Pendidikan keluarga memainkan peran sentral dalam perkembangan anak, tidak hanya dalam aspek akademis tetapi juga membentuk identitas gender. Identitas gender dipengaruhi oleh lingkungan, budaya, dan peran orang tua.
Tahapan perkembangan identitas gender pada anak melibatkan pengenalan peran sosial laki-laki dan perempuan, serta pengaruh stereotip gender dalam sosialisasi. Peran orang tua menjadi kunci dalam membentuk identitas gender anak. Dukungan positif, pemahaman, dan penghormatan terhadap keberagaman gender diperlukan dalam proses ini. Tindakan orang tua, baik melalui permainan yang sesuai dengan jenis kelamin anak maupun melalui pembagian tugas rumah tangga, mempengaruhi persepsi anak terhadap peran gender. Gangguan identitas gender pada anak dapat muncul akibat perlakuan gender yang tidak seimbang dan stereotip gender yang diterapkan oleh orang tua. Kurangnya perkembangan identitas gender dapat berdampak negatif pada anak di masa mendatang, termasuk gangguan emosi dan perilaku. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk mengadopsi pola asuh yang modern, mendukung kesetaraan gender, dan membangun pemahaman yang sehat terkait identitas gender anak.
Biodata Penulis:
Manuela Meidi saat ini aktif sebagai mahasiswa, prodi D3 Manajemen Bisnis, di Universitas Sebelas Maret.