Kalian tentu familiar dengan julukan “mbak”, “abang”, “teteh”, “uni”, “bli”, “cici” dan ragam sapaan lainnya. Sapaan yang tak asing terdengar bukan? Ternyata, panggilan “kakak” dan “adik” itu lebih dari sekadar sebutan, loh! Dalam sebuah keluarga, sapaan mampu memengaruhi pembentukan karakter anak.
Cara kita memanggil anak lebih dari seru-seruan belaka. Sebutan “kakak” atau “adik” adalah instrumen untuk menyematkan sebuah nilai pada anak. Baik panggilan “kakak” dan “adik” merupakan bentuk penanaman mindset sehingga anak dapat memposisikan diri sebagai individu yang lebih tua atau lebih muda. Fakta yang mengejutkan, bukan? Makanya, dalam artikel ini saya akan mengajak Anda untuk mengupas tuntas tentang bagaimana sebuah panggilan dapat berpengaruh pada perkembangan anak.
Anak-anak yang berperan sebagai “kakak” biasanya jago dalam berinteraksi sosial karena cenderung merasa memiliki tanggung jawab lebih besar. Rasa tanggung jawab ini dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan kepemimpinan si kecil yang mendorong mereka untuk berperilaku sebagai panutan atau teladan bagi adik-adiknya. Panggilan “kakak” bisa bikin mereka semangat membantu dan mengurus perihal kecil dalam rumah tangga, sehingga anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang lebih mandiri. Selain itu, peran sebagai “kakak” juga mendorong anak untuk melindungi dan membimbing anak yang lebih muda, sehingga mampu membangun proses pengembangan empati dan kepedulian yang kuat.
Sayangnya, panggilan “kakak” juga bisa membawa dampak negatif. Peran “kakak” yang diemban kerap disertai dengan tekanan. Mereka dapat merasa tertekan ketika berusaha memenuhi atau gagal dalam memenuhi ekspektasi orang tua. “Kakak” yang identik dengan kedewasaan dianggap sebagai sosok teladan, sehingga sering dituntut untuk selalu tampil sempurna. Itu sebabnya, peran anak sebagai “kakak” dapat mengurangi kebebasan berekspresi dan membuat anak takut membuat kesalahan di depan adik-adiknya. Tekanan yang berlebihan pada anak dapat berujung pada stres dan kecemasan. Tanpa dukungan yang memadai dari lingkungan keluarga, dampak negatif ini dapat berlanjut dan memengaruhi kesehatan mental anak secara keseluruhan.
Ketika dipanggil “adik”, anak merasa lebih muda, sehingga timbul rasa dependen yang membuat anak bersikap lebih submisif. Persepsi akan posisi yang lebih “muda”, bakal mendorong anak untuk membangun identitas berdasarkan contoh yang diberikan, misalnya lewat perilaku orang tua maupun pembimbing lainnya. Jika berlangsung secara terus-menerus, anak bisa jadi kurang mandiri dalam mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah. Apalagi kalau terlalu sering dipanggil “adik” di lingkungan sebaya, anak cenderung menghindari kompetisi karena kurang percaya diri dan malah mencari figur pemimpin yang bisa diandalkan. Maka dari itu, sapaan “adik” yang tidak sesuai konteks bisa menghambat perkembangan kemandirian dan rasa percaya diri anak.
Eits, tapi itu semua bukan berarti kita harus berhenti menggunakan sapaan “adik”. Nyatanya, sapaan ini meningkatkan rasa aman dan nyaman pada buah hati. Saat diperhatikan, anak merasa keberadaannya dihargai, hal ini meningkatkan kepercayaan diri mereka. Panggilan “adik” yang disertai sikap lemah lembut bisa mendorong si kecil untuk bebas mengekspresikan perasaannya. Kecerdasan emosional yang baik membantu anak dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan sesama. Bahkan, anak yang kerap dipanggil “adik” cenderung lebih terbuka akan nasihat, sehingga proses belajar menghormati dan memahami peran orang lain jadi lebih mudah. Tak hanya itu, panggilan “adik” juga memicu rasa ingin tahu dan keinginan anak untuk meniru perbuatan orang yang lebih tua, dengan ini anak akan terdorong untuk berkembang lebih cepat.
Umumnya, sebutan “kakak” atau “adik” digunakan untuk memperjelas peran anak. Kalau dipanggil “adik”, maka anak diharapkan untuk menghormati sang “kakak”. Sebaliknya, seorang “kakak” harus siap melindungi si “adik”. Tetapi, pada kenyataannya, persaudaraan adalah sarang konflik yang akan mudah terbakar ketika tersulut masalah. Misal, anak yang sering dipanggil “kakak” merasa perlu menjadi teladan atau melindungi si “adik”. Nah, kalau sang “kakak” terlalu dominan, maka timbul perasaan inferior pada “adik”. Rasa bahwa mereka selalu hidup di bawah bayang-bayang “kakak” menekan “adik” untuk selalu mengikuti jejak sang “kakak”, sampai-sampai menimbulkan rasa cemburu atau ketidakpuasan. Di sisi lain, “kakak” mungkin merasa bahwa “adik” selalu diprioritaskan dan menganggap bahwa dirinya cuma sosok “penjaga” atau “pengasuh”.
Jadi, penggunaan sapaan “kakak” atau “adik” harus digunakan dengan tepat dan tidak berlebihan agar tidak menciptakan konflik berkepanjangan antara saudara. Justru, bila penggunaan sapaan diimbangi dengan pola asuh yang tepat, “adik” dan “kakak” bisa memiliki persaingan yang sehat. Peran yang pas bisa menciptakan persaudaraan yang harmonis. Kompetisi yang baik dapat berkontribusi dalam tumbuh kembang “adik” dan “kakak”. Misalnya, “kakak” dapat menampilkan rasa cintanya dengan mendukung “adik”, sementara “adik” belajar menghargai “kakak” sebagai sosok panutan yang lebih berpengalaman.
Pada saudara kembar, sebenarnya panggilan “kakak” atau “adik” tidak terlalu dibutuhkan. Bahkan, disarankan untuk memanggil anak kembar dengan sapaan yang sama. Karena, dalam budaya masyarakat Indonesia, sapaan “kakak” atau “adik” menunjukkan perlakuan yang berbeda sebab ada salah satu pihak yang harus mengalah. Bila sapaan anak kembar tidak sama, bisa timbul persepsi mengenai kedewasaan anak, padahal selama dalam kandungan anak kembar terbentuk secara serentak. Pandangan yang salah dapat menghambat perkembangan kepribadian mereka, baik pada salah satu kembaran maupun keduanya.
Maka dari itu, penggunaan nama atau panggilan tertentu pada anak sebaiknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi ketika perbincangan berlangsung. Panggilan yang tepat bisa membuat anak merasa lebih nyaman dan percaya diri, dan tentunya berkontribusi pada pembentukan karakter mereka. Penggunaan sapaan yang optimal mampu menciptakan efek psikologis yang membantu proses pembentukan karakter anak, bahkan memberi dukungan emosional yang positif. Jadi, yuk, cermati lagi panggilan yang kita gunakan, supaya anak-anak bisa tumbuh jadi versi terbaik dari diri mereka!
Penulis: Felicia Salim