Feminisme sering kali dibicarakan sebagai gerakan sosial yang memperjuangkan kesetaraan hak dan peran bagi perempuan di dalam masyarakat. Di Indonesia, feminisme memiliki sejarah panjang yang dimulai sejak era kolonial, ketika perempuan mulai sadar akan pentingnya pendidikan dan hak untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Pada masa kini, feminisme di Indonesia berkembang menjadi gerakan yang lebih inklusif dan terbuka, dengan fokus pada berbagai isu seperti kekerasan terhadap perempuan, diskriminasi dalam pekerjaan, hingga hak kesehatan reproduksi.
Namun, feminisme sering kali menimbulkan pro dan kontra, terutama terkait persepsi yang keliru bahwa feminisme hanya ingin “melawan” laki-laki. Faktanya, feminisme merupakan upaya untuk mencapai kesetaraan hak tanpa memandang jenis kelamin.
Di era modern, feminisme di Indonesia bertransformasi seiring dengan perubahan sosial dan teknologi. Media sosial menjadi platform penting yang memungkinkan para aktivis feminis untuk menyebarkan kesadaran tentang isu-isu perempuan dengan lebih cepat dan luas. Contohnya, kampanye-kampanye seperti #MeToo dan #SayaJuga diadopsi di Indonesia untuk mengangkat suara korban kekerasan seksual dan memberi dukungan.
Di Indonesia, pemahaman mengenai feminisme masih sering disalahartikan, termasuk oleh perempuan sendiri. Salah satu kesalahpahaman yang umum terjadi adalah anggapan bahwa sifat maskulin, seperti ketegasan, keberanian, dan kemandirian lebih “hebat” atau lebih dihargai daripada sifat feminin, yang kerap dikaitkan dengan kelembutan, empati, dan kepekaan. Padahal, feminisme sejatinya mendukung penghargaan terhadap segala sifat, baik maskulin maupun feminin, tanpa memandang gender. Kesalahpahaman ini membuat banyak orang merasa bahwa sifat maskulin adalah tolok ukur keberhasilan atau kekuatan seseorang, bahkan ketika sifat tersebut tidak sesuai dengan karakter diri mereka.
Lebih jauh lagi, ketika laki-laki menunjukkan sifat-sifat feminin, mereka sering kali dipandang sebelah mata. Tak jarang, ada perempuan yang merendahkan laki-laki dengan karakter yang dianggap "lembut," menyebutnya lemah atau kurang jantan. Sikap seperti ini memperlihatkan bahwa kesetaraan gender belum dipahami secara menyeluruh, dan banyak orang, termasuk perempuan, masih terjebak dalam pandangan yang menilai kehebatan berdasarkan norma-norma maskulinitas. Sikap merendahkan ini menunjukkan bahwa kita, baik laki-laki maupun perempuan, masih perlu mengatasi stereotip gender yang kaku.
Esensi dari feminisme adalah mengupayakan agar semua orang dapat mengekspresikan dirinya secara bebas, tanpa harus dibatasi oleh label atau standar gender tertentu. Feminisme tidak bertujuan untuk menjadikan sifat maskulin lebih berharga atau sifat feminin lebih rendah, tetapi justru untuk menghargai keduanya sebagai bagian dari kepribadian yang unik pada setiap individu. Jika perempuan masih merendahkan sifat feminin pada laki-laki, maka upaya feminisme untuk menghapus batasan-batasan tersebut masih terhambat.
Feminisme memberikan dampak positif yang besar, baik bagi perempuan maupun laki-laki, dengan membuka jalan menuju masyarakat yang lebih setara dan adil. Bagi perempuan, feminisme membawa kesempatan yang lebih luas dalam bidang pendidikan, pekerjaan, dan peran sosial, serta mendorong mereka untuk lebih percaya diri dalam mengejar impian tanpa dibatasi oleh stereotip gender. Sementara itu, laki-laki juga diuntungkan dengan ruang untuk mengekspresikan sisi emosional dan sifat-sifat yang sering dianggap feminin, seperti empati dan kelembutan, tanpa merasa tertekan oleh norma maskulinitas yang kaku. Dengan membongkar batasan-batasan gender yang selama ini mengkotak-kotakkan sifat dan peran berdasarkan jenis kelamin, feminisme menciptakan lingkungan di mana setiap individu bisa tumbuh dan berkembang sesuai dengan jati diri mereka. Hasilnya adalah masyarakat yang lebih inklusif dan saling mendukung, di mana setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki kebebasan untuk menjadi diri sendiri tanpa rasa takut atau tekanan sosial.
Biodata Penulis:
Dimas Cahya Paneguh Iman lahir pada tanggal 21 Februari 2006 di Banjarnegara, saat ini aktif sebagai Mahasiswa Psikologi, di UNS.