Beberapa tahun telah berlalu, tetapi ingatan tentang peristiwa tersebut masih melekat kuat. Meskipun menyontek umumnya dianggap salah oleh kebanyakan guru, pengalaman saya di kelas 6 SD sangat berbeda. Guru kami secara terang-terangan mewajarkan, bahkan mengharuskan murid untuk menyontek. Situasi ini tentu saja sangat aneh.
Peristiwa ini dimulai pada semester pertama kelas 6, murid yang meraih peringkat tiga besar diwajibkan untuk membagikan jawaban kepada teman-teman sekelas. Hal ini dilakukan untuk mengejar target sekolah, yaitu meraih nilai rata-rata tertinggi pada Ujian Nasional (UN) di kecamatan.
Setiap tahun, sekolah kami berusaha mencapai prestasi tersebut. Untuk mencapai nilai rata-rata yang tinggi, setiap murid harus mendapatkan nilai UN yang baik. Di sisi lain, tidak semua murid memiliki kemampuan yang sama, sehingga sekolah menerapkan sistem berbagi jawaban kepada siswa yang kurang menguasai pelajaran.
Guru kami mencetuskan sistem ini sebagai cara untuk memastikan seluruh siswa lulus dan mendapatkan nilai tinggi, meskipun metode ini sangat tidak etis. Guru jarang mengajarkan materi dengan benar. Ia hanya mengandalkan buku yang berisi soal-soal beserta kunci jawabannya. Setiap hari kami hanya diberi soal untuk dikerjakan, kemudian diperiksa berdasarkan kunci jawaban. Proses belajar tidak berjalan, hanya sekadar mempelajari soal secara mandiri dan membagikan jawaban kepada teman sekelas. Metode ini terus berlanjut hingga menjelang pelaksanaan UN.
Saat pelaksanaan UN tiba, taktik kecurangan mulai dijalankan. Peringkat tiga besar, termasuk saya, mengerjakan soal terlebih dahulu. Setelah selesai, saya memberikan jawaban kepada murid yang duduk di belakang saya, dan seterusnya hingga seluruh murid mendapatkan jawaban. Kecurangan ini berlangsung selama tiga hari pelaksanaan UN. Saat hasil UN diumumkan, meskipun saya berada di peringkat ketiga, teman-teman yang saya berikan jawaban justru menempati peringkat pertama dan kedua.
Pengalaman ini tentu sangat tidak menyenangkan dan membuat saya berpikir, bagaimana mungkin pendidikan yang seharusnya mengajarkan kejujuran justru melegalkan kecurangan? Budaya menyontek seperti ini jika dibiarkan akan menghasilkan generasi yang terbiasa mencari jalan pintas.
Anak-anak yang diajarkan menyontek akan tumbuh menjadi individu yang tidak menghargai proses dan hanya fokus pada hasil. Lebih buruk lagi, kebiasaan ini bisa menjadi akar korupsi di masa depan. Sebaliknya, guru saya di kelas 5 SD adalah sosok yang sangat disiplin dan menekankan pentingnya kejujuran. Beliau sangat tegas terhadap murid yang menyontek dan selalu menekankan pentingnya kejujuran dan kedisiplinan. Ia selalu mengajarkan murid-muridnya dengan sabar dan menggunakan berbagai metode agar materi mudah dipahami. Jika ada murid yang kesulitan, ia dengan sabar menjelaskan hingga kami benar-benar mengerti. Tidak seperti guru kelas 6 yang justru mendorong kami untuk menyontek demi nilai bagus.
Guru memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter anak-anak. Selain memberikan ilmu, guru juga harus mampu mengarahkan murid untuk menjadi individu yang jujur dan bertanggung jawab. Jika sejak dini anak diajarkan menyontek, mereka akan tumbuh dengan mentalitas curang. Pada akhirnya, mereka bisa menjadi koruptor atau melakukan tindakan kriminal lain untuk mencapai tujuannya. Anak yang terbiasa mendapatkan sesuatu secara instan tanpa usaha akan menjadi nekat dan malas bekerja keras.
Jika guru membiarkan budaya menyontek, dampaknya akan merusak pola pikir dan karakter anak. Mereka akan terbiasa mengandalkan orang lain dan merasa tidak perlu berusaha keras. Lebih parah lagi, jika kecurangan tidak diberi sanksi, anak-anak akan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar. Ini merupakan tantangan besar bagi dunia pendidikan di Indonesia. Guru harus berperan sebagai pendidik yang berintegritas, tidak hanya mengejar hasil akademis, tetapi juga membentuk generasi yang berakhlak mulia.
Di era modern seperti sekarang ini, tantangan untuk menjaga integritas semakin besar. Teknologi memudahkan akses terhadap informasi, tetapi juga memudahkan anak-anak untuk menyontek. Banyak murid yang malas belajar dan lebih memilih menyontek dari internet saat ujian. Guru harus tegas dan waspada agar tidak membiarkan kecurangan terjadi. Jika tidak, generasi penerus bangsa akan semakin mengalami kemunduran.
Coba bayangkan, jika semakin banyak guru yang membiarkan atau bahkan mendorong murid untuk menyontek, berapa banyak calon koruptor yang akan muncul di masa depan? Lingkungan pendidikan harus menjadi tempat yang mendidik dan membentuk karakter, bukan tempat di mana kecurangan dianggap wajar.
Lingkungan sekolah memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan anak, baik dari segi moral maupun intelektual. Guru yang membiarkan kecurangan akan merusak pola pikir anak dan membuat mereka terbiasa dengan tindakan yang tidak etis. Oleh karena itu, diperlukan guru yang kompeten dan berintegritas untuk membentuk generasi yang berkarakter dan berkualitas. Guru harus menjadi teladan dalam ilmu pengetahuan dan sikap.
Pendidikan yang baik bukan hanya tentang mengajarkan pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter anak agar jujur, bertanggung jawab, dan bermoral. Dengan pendidikan yang berintegritas, masa depan bangsa akan lebih cerah dan terhindar dari budaya curang yang merugikan.
Biodata Penulis:
Eky Rizky Amalia Maulida bisa disapa di Instagram @eky.amaliaa.