Menelusuri Awal Mula Perundungan: Bagaimana Orang Tua dan Lingkungan Melahirkan Seorang Pembully

Perundungan verbal pada anak-anak kelihatannya memang sepele, namun bisa meninggalkan luka emosional yang dalam.

Perundungan atau bullying di zaman sekarang sudah bukan hal yang asing lagi. Apalagi dengan adanya perkembangan teknologi, informasi mengenai perundungan di berbagai daerah semakin terekspos di dunia maya. Hal ini jugalah yang menjadikan bullying seakan telah menjadi hal yang lumrah. Yang menyedihkan, pelaku dan korban bully sering kali masih anak-anak yang seharusnya memiliki kenangan indah dan menikmati masa kecil bahagianya tanpa harus menghadapi beban tekanan sosial. Keadaan ini tentu sangat memprihatinkan dan perlu ditangani dengan serius agar rantai bullying bisa diputuskan. Untuk itu, perlu dianalisis apa yang menyebabkan generasi muda berani menjadi pelaku perundungan.

Menelusuri Awal Mula Perundungan

Kasus perundungan yang pernah saya temui kebanyakan terjadi di lingkup pertemanan anak-anak. Salah satu contohnya terjadi di kampung halaman saya. Untuk menceritakan kisah ini, kita sebut saja 2 orang anak bernama Arin dan Beni. Arin dan Beni sama-sama masih duduk di bangku SD, dengan Beni yang berusia lebih muda 1 tahun. Pada suatu hari mereka bermain bersama, dan di tengah permainan, Beni melontarkan komentar mengenai penampilan fisik Arin dengan kalimat yang cukup kasar. Secara fisik, Arin memang lebih besar dibanding teman-temannya, termasuk Beni. Tapi bukan itu masalahnya.

Awalnya saya masih berusaha berpikir positif karena anak kecil memang sering bicara tanpa menyadari apakah kata-katanya bisa menyakiti orang lain. Namun, hal yang membuat saya kecewa dan lebih sakit hati adalah fakta bahwa ibu Arin ada di dekat mereka tapi justru tidak melakukan apa-apa. Ia tidak membela Arin ataupun sekadar menegur ucapan Beni. Saya bertanya-tanya apakah ibu Arin tidak mendengar atau mungkin menganggap itu hanya candaan anak-anak yang tidak akan berpengaruh besar. Padahal terlihat dari wajah Arin bahwa dia tidak senang akan ucapan Beni.

Perundungan verbal pada anak-anak kelihatannya memang sepele, namun bisa meninggalkan luka emosional yang dalam. Anak-anak mungkin belum paham sepenuhnya, tapi mereka bisa menyimpan memori buruk itu dan mengurangi rasa percaya dirinya. Arin yang merasa tersinggung dengan komentar Beni bisa menanamkan pemikiran bahwa penampilannya tidak layak atau memalukan. Untungnya, Arin memiliki kepribadian yang terbuka dan memiliki teman baik yang mendukungnya sehingga ia memiliki semacam support system yang sangat berharga. Hal ini membantunya tetap ceria dan tidak terlalu memikirkan komentar negatif tersebut, setidaknya itu yang terlihat di luar.

Di sisi lain, saat itu Beni merupakan anak tunggal. Kedua orang tuanya sibuk bekerja setiap harinya. Kurangnya perhatian dan pengawasan dari orang tua bisa jadi menjadi alasan mengapa Beni sering berkata kasar. Menurut psikolog perkembangan anak, seperti Laura Markham, anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian emosional dari orang tuanya cenderung mencari perhatian dengan cara negatif, misalnya dengan bersikap agresif atau kasar terhadap teman sebayanya. Hal ini mungkin yang terjadi pada Beni. Ia terbiasa berbicara kasar tanpa ada yang mengingatkannya.

Pergaulan Beni juga terbatas. Di lingkungan kami, anak laki-laki seusianya sedikit dan kebanyakan dari mereka terpaut usia yang cukup jauh dengan Beni. Hal ini mungkin membuat Beni merasa harus menunjukkan dominasinya agar bisa mendapat pengakuan. Situasi seperti ini memperlihatkan bahwa lingkungan pertemanan yang kurang sehat juga bisa menjadi faktor yang memperparah perilaku bullying pada anak-anak.

Kabar baiknya, Beni terlihat mulai berubah dan bersikap lebih baik setelah memiliki adik. Kehadiran adiknya mungkin membuat Beni merasa lebih bertanggung jawab dan merasa perlu menjadi contoh yang baik bagi sang adik. Ibunya juga lebih sering berada di rumah setelah kelahiran adiknya. Menurut National Institutes of Health, perhatian dan keterlibatan orang tua yang lebih intens dalam kehidupan anak bisa memberikan dampak besar terhadap perkembangan emosional dan moral anak. Walaupun sikap yang sudah lama dimiliki sulit untuk diubah secara instan, perubahan sikap Beni ke arah yang lebih baik perlu diapresiasi. Ini juga menunjukkan bahwa dukungan dari keluarga bisa menjadi kunci dalam mencegah atau mengatasi perilaku buruk.

Hubungan antara Arin dan Beni mungkin tidak seakrab dulu, tetapi mereka tetap tumbuh dengan cara mereka masing-masing. Cerita mereka memang tampak sederhana dibandingkan kasus-kasus perundungan yang bisa dilihat dari media sosial. Anak-anak pun mungkin tidak menyadarinya, tetapi ketika bullying sesepele apapun dibiarkan, ini bisa menyebabkan tindakan tersebut semakin dinormalisasi bahkan berkembang menjadi perilaku yang lebih agresif di kemudian hari.

Yang lebih mengkhawatirkan, perundungan di usia dini sering kali lebih sulit dihapuskan dari ingatan anak-anak. Mereka berada di fase perkembangan emosional yang sangat penting, dan pengalaman buruk yang mereka alami bisa meninggalkan luka yang mendalam, bahkan hingga dewasa. Beberapa laporan UNICEF menunjukkan bahwa anak-anak yang menjadi korban perundungan berisiko lebih tinggi mengalami masalah kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, dan penurunan harga diri. Trauma yang ditimbulkan juga bisa bertahan lama dan memengaruhi interaksi sosial mereka di masa depan.

Cerita Arin dan Beni dapat memberi kita gambaran bahwa perundungan tidak muncul begitu saja. Perilaku ini terbentuk dari lingkungan keluarga dan pergaulan anak. Pengaruh orang tua sangat penting, baik dalam memberikan perhatian yang cukup maupun dalam membentuk perilaku anak-anak. Begitu juga dengan lingkungan pertemanan, yang dapat membentuk pemahaman anak tentang mana yang benar dan salah. Jika seorang anak dikelilingi oleh teman-teman yang membenarkan perilaku bullying atau tidak ada yang menegur, ia mungkin akan menganggap perundungan adalah hal yang wajar.

Perundungan, pada akhirnya, bukan sekadar masalah perilaku. Bully adalah cerminan dari kondisi sosial yang lebih luas, di mana lingkungan dan keluarga memiliki peran yang sangat besar. Dengan memahami akar masalahnya, kita bisa lebih bijak dalam mencari solusi untuk mengatasi perundungan di masa mendatang.

Nurul Janati Ramadhani

Biodata Penulis:

Nurul Janati Ramadhani, lahir pada tanggal 27 Oktober 2005 di Wonosobo, saat ini aktif sebagai mahasiswa prodi Informatika, di Universitas Sebelas Maret.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.