Saya Nadya Talia Putri Istiqomah penulis dari artikel yang berjudul “Ketidakadilan Gender Memicu Kekerasan dalam Rumah Tangga”. Di sini saya akan menjelaskan beberapa informasi berdasarkan sumber yang saya dapat. Jika ada kata atau tulisan yang kurang berkenaan untuk dibaca. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, karena karya yang saya tulis berdasarkan informasi yang sudah saya dapat dan kemudian saya olah menjadi kalimat yang mudah dipahami oleh pembaca.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat heterogen yang terdiri dari berbagai agama, suku, budaya, ras dan tradisi. Selain dikenal sebagai masyarakat yang heterogen, Indonesia juga menganut sebuah sistem dalam pola kehidupan keluarga yang sudah ada sejak dahulu. Di Indonesia, sistem yang disebut sebagai budaya patriarki telah menjadi budaya yang kuat dan kuat. Budaya patriarki menggambarkan pihak laki-laki sebagai penguasa tunggal atau di atas pihak perempuan.
Di dalam keluarga, ayah memiliki kendali dan wewenang penuh atas kehidupan keluarga. Ayah dianggap sebagai kepala keluarga dan digambarkan sebagai orang yang mencari nafkah, sedangkan ibu dianggap sebagai pelengkap yang bertanggung jawab untuk membersihkan rumah, memasak, dan mengasuh anak. Hal ini menunjukkan adanya kontruksi bahwa budaya patriarki menyebabkan ketidakadilan gender, terutama bagi perempuan. Adanya ketidakadilan gender dalam realitas keluarga akan berdampak buruk, salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga.
Kekerasan berbasis gender merupakan masalah yang mendalam dan kompleks, terutama dilihat dari sudut pandang keluarga. Dalam situasi seperti ini, rumah tangga bukan hanya tempat tinggal tetapi juga tempat penting dinamika kehidupan keluarga berlangsung. Kekerasan dalam rumah tangga dimulai dengan adanya pandangan masyarakat patriarki yang menganggap perempuan sebagai subordinat. Kedudukan laki-laki sebagai pemimpin keluarga sering disalahgunakan untuk membenarkan kekerasan.
Selanjtnya, pola relasi kuasa yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan di rumah dipengaruhi oleh budaya patriarki yang kuat. Perempuan seringkali diposisikan di bawah laki-laki dalam hal ekonomi, sosial, dan politik. Hal ini membuat perempuan bergantung pada laki-laki dan menghalangi mereka untuk melindungi diri atau keluar dari keadaan yang buruk. Kondisi ini memudahkan pihak yang berkuasa untuk menyalahgunakan kekuasaan dan menggunakan kekerasan. Ini menunjukkan bahwa ada korelasi yang kuat antara prevalensi KDRT yang tinggi di Indonesia dan budaya patriarki.
Selain itu, kebiasaan masyarakat yang kuat membuat siklus kekerasan lebih kuat, seperti stigmatisasi korban KDRT dan keyakinan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan pasti melakukan kesalahan. Hal tersebut menyebabkan banyak korban KDRT menolak untuk melaporkan apa yang mereka alami. Minimnya dukungan sosial dan hukum bagi korban, serta adanya pembenaran terhadap pelaku kekerasan, semakin mempersulit upaya untuk menghentikan kasus KDRT di Indonesia .Perempuan dapat mengalami efek yang buruk dari kekerasan tersebut, termasuk kerusakan fisik dan psikologis, seperti trauma, gangguan mental, dan gangguan sosial.
Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan bahwa terdapat 15.459 kasus kekerasan sejak awal hingga pertengahan 2024, dengan 13.436 kasus perempuan dan 3.312 kasus laki-laki. Kasus kekerasan dalam rumah tangga paling sering terjadi pada perempuan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa KDRT adalah akibat dari ketidakadilan gender dalam ranah keluarga. Untuk mencegah peningkatan kasus KDRT dari tahun ke tahun, diperlukan upaya dan solusi yang tepat untuk memutus rantai permasalahan kekerasan tersebut.
Upaya atau solusi yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kesetaraan gender dan hak-hak perempuan melalui pendidikan dan kampanye sosial yang berkelanjutan. Langkah penting dalam mengubah budaya patriarki yang masih dominan di Indonesia adalah mengubah pandangan dan sikap masyarakat terhadap peran gender yang terkadang dianggap normatif dan membatasi. Sangat penting bagi masyarakat untuk mengakui bahwa setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki hak yang sama dalam berbagai aspek kehidupan.
Penguatan penegakkan hukum dan sistem peradilan yang adil dalam menangani kasus KDRT juga merupakan upaya yang diperlukan untuk memberikan keadilan bagi korban dan mencegah terjadinya tindakan kekerangan yang meningkat. Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang bertujuan untuk menghapus Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pelaku kekerasan dapat dikenakan hukuman penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 15 juta. Adanya undang-undang tersebut sebagai bentuk perhatian negara dan perlindungan hukum terhadap korban Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Permberdayaan perempuan secara ekonomi, sosial, dan politik sangat penting untuk membantu mereka menjadi lebih mandiri dan memungkinkan mereka berpartisipasi secara setara dalam pengambilan keputusan di lingkungan keluarga mereka. Dengan demikian, tidak hanya laki-laki yang memiliki otoritas untuk membuat keputusan, tetapi juga perempuan memiliki hak untuk membuat keputusan dalam keluarga mereka. Untuk mengembangkan strategi yang kemprehensif dalam mengatasi masalah budaya patriarki dan KDRT, diperlukan kolaborasi dengan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat umum. Dengan menerapkan solusi-solusi ini, kita dapat mengatasi masalah KDRT yang semakin meningkat serta merubah pandangan masyarakat tentang budaya patriarki yang ada di Indonesia.
Mahasiswa, sebagai generasi masa depan, tentu dapat berperan penting dalam mengatasi budaya patriarki yang menjadi permasalahan KDRT. Mereka dapat menjadi agen perubahan dengan menggagas berbagai inisiatif untuk melawan ketidaksetaraan gender. Mahasiswa dapat mengubah persepsi masyarakat tentang peran gender dan kekerasan dalam rumah tangga dengan mengajar teman sebaya, sosialisasi, dan kampanye kesadaran. Mahasiswa dapat berpartisipasi dalam advokasi untuk mendorong perubahan kebijaksanaan dan memberikan suara bagi korban KDRT. Mereka juga dapat memanfaatkan media sosial sebagai platform untuk menyebarkan informasi dan meningkatkan pemahaman mereka tentang KDRT.
Biodata Penulis:
Nadya Talia Putri Istiqomah saat ini aktif sebagai mahasiswa sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang.