Keluarga Juga Bisa Menjadi Pelaku Bullying: Bagaimana panggilan “Bodoh” Menghancurkan Kepercayaan Diri Seseorang

Sebenarnya sih tidak salah sebagai keluarga ataupun orang tua untuk memberi harapan atau ekspektasi harus bagaimana anaknya ke depannya, ...

Keluarga sering dikaitkan sebagai tempat teraman dan tempat paling tepat untuk kita pulang, namun bagaimana jika keluarga kita sendirilah yang menjadi penyebab hancurnya kepercayaan dan harga diri kita? Mungkin hadirnya keluarga bisa dinilai sebagai anugerah paling indah yang Tuhan berikan, sebagian besar dari kita mungkin setuju dengan pernyataan tersebut. Mau bagaimanapun juga, keluarga adalah tempat yang paling bisa kita percaya, tempat kita bisa istirahat dari sibuknya dunia luar, dan tempat untuk kita mencari keamanan serta kenyamanan. Intinya, bersama keluarga kita bisa mengekspresikan segala hal dari diri kita yang orang luar tidak ketahui.

Suatu ketika, saat sedang berbincang dengan seseorang (sebut saja si A) yang cukup dekat dan akrab dengan saya, dia dengan penuh kesal menceritakan bagaimana keluarganya seolah-olah menyetir kehidupan si A dengan ekspektasi yang selalu diberikan kepada dirinya. Sebenarnya jika dilihat begitu saja, keluarganya masih ternilai “baik” karena bagaimanapun juga mereka masih memberi perhatian dan dukungan atas apa yang dia lakukan sekarang. Namun, dukungan tersebut kadang terasa memberatkan karena semata-mata muncul karena ambisi dan angan-angan keluarga terhadap si A.

Keluarga Juga Bisa Menjadi Pelaku Bullying

Sebenarnya sih tidak salah sebagai keluarga ataupun orang tua untuk memberi harapan atau ekspektasi harus bagaimana anaknya ke depannya, bagaimanapun juga saya percaya pasti semua orang tua atau orang yang dituakan dalam keluarga menginginkan yang terbaik untuk anak dan anggota keluarga yang lain. Tetapi di sini, si A merasa harapan yang diberikan kepadanya dinilai terlalu berat dan membebani dirinya, hal ini timbul karena kurangnya komunikasi dan rasa saling memahami antar anggota keluarga dengan kondisi dan kapasitas si A sekarang, hal inilah yang membuat si A harus “tampil” menjadi orang yang sempurna dan baik dalam segala hal, bahkan untuk hal sekecil apapun.

Timbullah masalah baru di sini, munculnya kontradiksi dalam hidup si A. Sebagai seseorang yang memang tinggal sehari-hari dengan keluarganya, pasti setiap tingkah laku dan gerak gerik si A dapat diperhatikan dengan mudah oleh anggota keluarganya. Si A bercerita, pernah suatu saat dia sedang berbincang dengan salah satu anggota keluarganya, sebut saja si B, pada saat itu dia kurang paham dengan apa yang B ceritakan sehingga menanyakan ulang dengan mengulangi kalimat yang B ucapkan sebelumnya, B malah menjawab dengan kata-kata “bodoh” atau dengan kalimat “Kamu itu bodoh sekali sih” karena B merasa kenapa si A ini tidak paham dengan kata-katanya. Tentu saja hal itu membuat si A merasa sedih dan terkejut, kenapa bisa dengan mudahnya B melontarkan kalimat seperti itu?

Pernah juga saat si A sedang membantu melakukan pekerjaan rumah, dia sempat melakukan kesalahan, contohnya seperti saat dia melakukan suatu hal yang mungkin caranya tidak tepat. Si A lagi-lagi mendapat ujaran yang membuat dirinya merasa rendah diri, B kadang melontarkan kalimat seperti “Masa ngelakuinnya kaya gini sih, makanya belajar” dengan intonasi yang cukup tidak mengenakan, ditambah beberapa kalimat yang yah menurut A sebenarnya bisa diucapkan dengan lebih halus lagi. Padahal faktanya, B sebagai anggota keluarga yang ikut mengawasi A harusnya tahu bahwa A hanya seorang anak muda, serta seorang pelajar sehingga mungkin wajar jika dia tidak mengetahui banyak hal yang tidak familiar bagi dirinya, ditambah lagi sebagai pelajar si A tidak seharian penuh berada di rumah, jadi bukankah lebih baik B memberi tahu dan mengajarkan bagaimana melakukannya dengan benar tanpa mengimbuhkan kalimat-kalimat menyakitkan itu?

Seperti yang sudah diceritakan sebelunya mengenai ekspektasi keluarga terhadap si A, saya yakin bahwa sebenarnya ekspektasi tersebut timbul karena kaluarga dari si A yakin bahwa dia mampu dan memiliki cukup kapasistas untuk melakukannya. Saya sebagai teman si A pun cukup yakin bahwa A adalah anak yang pintar dan mampu dari berbagai aspek, mulai dari pemikiran, akademik, sosial, dan berbagai hal mendasar dalam kehidupan.

Namun, setelah berbagai kejadian ujaran yang tidak mengenakkan yang mengarah pada pembullyan verbal terhadapa si A dari anggota keluarganya tersebut, mulai muncul rasa kontradiktif dalam diri A. Di satu sisi, dia merasa bahwa keluarganya khususnya si B sebagai orang yang dituakan di rumahnya ikut mendukung penuh pendidikan dan segala hal yang sedang ia jalani, tak jarang pula si B merasa “bangga” jika suatu ketika si A bisa mencapai suatu prestasi atau suatu hal yang patut diapresiasi, tentu bukanlah secara tidak langsung si B mengakui bahwa A adalah seorang anak yang “pintar” dan memiliki nilai? Jika begitu, kenapa kerap kali B masih saja melontarkan kalimat yang cukup menyakiti sehingga memengaruhi kondisi mental dan pikiran si A, bukankah hal ini malah menjadi kebingungan dan membuat A merasa rendah diri atas ketidakmampuannya pada suatu hal kecil.

Faktanya, verbal bullying yang dilakukan oleh si B dengan kata-kata bukanlah suatu masalah kecil belaka. Jika terus dilakukan, lama kelamaan A akan benar-benar kehilangan kepercayaan dirinya, A akan mulai mengangap dirinya kurang untuk segala hal yang ia lakukan, dengan begitu tentulah kondisi ini akan memengaruhi kondisi mental dan pikiran si A, dia akan mulai berpikir apakah dirinya akan mampu terus berusaha di kehidupan setelahnya. A selalu berpikir bagaimana jika ke depannya dia terus gagal karena memang dia adalah seseorang yang bodoh dan tidak bisa melakukan segalanya dengan benar. Mengapa hal seperti ini bisa muncul dalam lingkungan keluarga yang seharusnya lebih mengenal A lebih baik dari siapapun?

Jika sudah begini, bukankah artinya tindak bullying, terkhususnya pembullyan verbal (non fisik) bisa dilakukan oleh siapa saja? Bahkan faktanya di dalam lingkungan keluarga sekalipun masih bisa berpotensi muncul tindak pembullyanan. Pada kasus ini, seharusnya si B sebagai orang yang lebih tua harus bisa mengontrol emosi dan tutur katanya, bukan malah menjadi seseorang yang hanya ingin dimengerti.

Sebagai makhluk sosial, saat ini kita cukup menjadi pribadi yang selalu berhati-hati atas segala tindakan dan tutur kata kita, jangan sampai secara tidak langsung kita melakukan perundungan maupun merendahkan diri orang lain entah itu kepada siapapun, karena nyatanya satu kalimat bisa memengaruhi kondisi mental seseorang.

Biodata Penulis:

Penulis adalah seorang anak perempuan yang kerap dipanggil dengan nama Jelita, lahir pada tahun 2006 di salah satu wilayah di Jawa Tengah. Penulis adalah seseorang yang senang mengekspresikan dirinya entah dalam bentuk tingkah laku maupun dengan bentuk tulisan. Saat ini penulis adalah seorang mahasiswi aktif Universitas Sebelas Maret, Surakarta, tahun ini baru memasuki bangku perkuliahan pada program studi Informatika.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.