"Jempol" Bisa Berarti Negatif bagi Generasi Z

Emoji jempol sering kali dianggap sebagai cara cepat untuk "menutup" obrolan tanpa ada niat untuk benar-benar terlibat.

Generasi Z memang sangat unik, mereka memiliki karakteristik yang berbeda dari generasi sebelumnya, termasuk dalam cara mereka memaknai simbol komunikasi digital. Salah satu contohnya adalah penggunaan emoji jempol 👍. Emoji yang biasanya digunakan sebagai tanda persetujuan atau hal positif ini ternyata tidak disukai oleh sebagian besar Generasi Z. Mengapa demikian?

Di era digital yang sarat dengan penggunaan emoji, Generasi Z memiliki cara pandang yang berbeda. Emoji jempol bagi mereka tidak selalu bermakna "oke" atau "setuju." Bahkan, dalam situasi tertentu, emoji ini bisa dianggap sebagai sesuatu yang kurang bermakna atau "meh." Pertama, emoji ini sering kali dianggap "hambar" atau "dangkal." Sebagai ilustrasi, bayangkan jika seseorang bercerita panjang lebar mengenai sesuatu yang penting atau serius, namun lawan bicara hanya membalas dengan emoji jempol. Hal tersebut dapat terasa seperti kurangnya penghargaan atau perhatian.

Jempol Bisa Berarti Negatif bagi Generasi Z

Bagi Generasi Z, komunikasi digital harus lebih dari sekadar formalitas. Emoji jempol sering kali dianggap sebagai cara cepat untuk "menutup" obrolan tanpa ada niat untuk benar-benar terlibat. Jadi, jika seseorang hanya mengirimkan emoji jempol setelah menerima cerita serius, Generasi Z bisa menginterpretasikannya sebagai tanda ketidakpedulian atau keengganan untuk merespons dengan lebih mendalam. Dalam dunia mereka yang serba cepat namun penuh emosi, empati dan perhatian adalah hal yang sangat penting untuk membangun hubungan yang solid.

Selain itu, emoji jempol juga sering dianggap terlalu kaku dan formal. Di masa kini, ketika komunikasi digital cenderung santai dan ekspresif, Generasi Z lebih memilih emoji yang lebih "bernyawa." Emoji seperti 😍 dirasa lebih mampu mewakili suasana hati mereka. Emoji jempol, di sisi lain, dianggap kurang memiliki daya tarik atau "personality." Ketika emoji lain dapat membuat percakapan terasa lebih hidup dan menyenangkan, emoji jempol justru sering kali membuat percakapan terasa datar. Bahkan, bagi mereka yang aktif di media sosial, emoji jempol terkesan "ketinggalan zaman" dan kurang relevan dengan gaya komunikasi masa kini.

Ada pula anggapan bahwa emoji jempol dapat terkesan "toxic" dalam situasi tertentu. Misalnya, ketika seseorang sedang membahas sesuatu yang serius, namun lawan bicara hanya merespons dengan emoji jempol. Hal ini dapat dianggap sebagai cara untuk menghindari diskusi lebih lanjut atau bahkan untuk menyudahi topik tanpa ada niat untuk lebih terlibat. Generasi Z merasa bahwa komunikasi digital harus lebih autentik dan terbuka, bukan hanya sekadar formalitas ala "oke, selesai, bye."

Namun, tidak semua Generasi Z anti terhadap emoji jempol. Ada juga yang masih menggunakannya sebagai respons cepat atau tanda persetujuan tanpa ingin bertele-tele. Akan tetapi, fenomena ini tetap menunjukkan bagaimana cara komunikasi terus berubah seiring waktu. Generasi Z cenderung memilih sesuatu yang lebih bermakna, yang dapat membuat mereka merasa dihargai dan dimengerti.

Terlebih lagi, di tengah keberagaman emoji baru yang semakin kreatif, emoji jempol mulai kehilangan popularitasnya. Generasi Z lebih suka menggunakan emoji seperti 😎 untuk memberikan respons yang lebih menyenangkan atau relevan. Hal ini mencerminkan bahwa mereka tidak hanya mencari efisiensi, tetapi juga menginginkan simbol yang dapat menggambarkan perasaan dengan lebih tepat.

Jadi, jika Anda berbicara dengan Generasi Z, pikirkan dua kali sebelum membalas dengan hanya menggunakan emoji jempol. Meskipun Anda mungkin menganggapnya sederhana dan efisien, bagi mereka, itu bisa menjadi tanda bahwa Anda tidak berusaha untuk lebih terlibat. Cobalah lebih ekspresif dengan menambahkan kata-kata atau menggunakan emoji yang lebih relevan dengan topik pembicaraan. Sebagai contoh, jika seseorang berbagi kabar gembira, Anda bisa membalas dengan “Wah, seru sekali! 🎉😆.” Respons seperti itu akan membuat mereka merasa lebih dihargai. Atau, jika seseorang sedang curhat mengenai hal yang berat, tambahkan kata-kata suportif dan emoji yang lebih empatik, seperti “Aku mengerti kok, sabar ya 🙏❤️.”

Pada akhirnya, ini bukanlah soal benar atau salah, tetapi tentang perbedaan perspektif. Setiap generasi memiliki caranya sendiri untuk mengekspresikan diri. Bagi Generasi Z, emoji jempol tidak lagi sesederhana simbol persetujuan. Maka dari itu, mari kita belajar untuk lebih peka dan kreatif dalam berkomunikasi secara digital. Hal kecil seperti emoji pun ternyata dapat membuat hubungan menjadi lebih hangat dan bermakna. 😊

Biodata Penulis:

Mahandika Agestyasari saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret.

© Sepenuhnya. All rights reserved.