Hustle Culture dan Kehidupan Modern: Haruskah Kita Terus Mengejar?

Hustle culture telah menjadi fenomena yang meresap dalam kehidupan Milenial dan Gen Z, tetapi dampaknya terhadap kesehatan mental tidak bisa ...

Dalam beberapa tahun terakhir, hustle culture menjadi tren yang mendominasi generasi muda, khususnya Milenial dan Gen Z. Cerita yang mendorong untuk selalu produktif, bekerja tanpa henti, dan mengejar kesuksesan dalam waktu singkat sering kali dianggap sebagai norma sosial yang ideal. Namun, di balik keagungan tersebut, banyak yang mengabaikan dampak negatifnya terhadap kesehatan mental. Mari kita kupas lebih dalam fenomena hustle culture, penyebabnya, serta bagaimana hal ini memengaruhi kehidupan generasi muda masa kini.

Fenomena Hustle Culture

Hustle culture mengacu pada pola pikir yang memuja kerja keras dan mengukur kesuksesan seseorang berdasarkan produktivitasnya. Dalam kehidupan sehari-hari, fenomena ini dapat kita lihat dari kebiasaan bekerja lembur, multitasking, dan selalu merasa harus "sibuk" untuk dianggap berharga.

Hustle Culture dan Kehidupan Modern

Media sosial memainkan peran besar dalam menyebarkan tren ini melalui konten yang memamerkan gaya hidup seorang pengusaha muda dan kisah-kisah yang menunjukkan "tidak ada waktu untuk istirahat".

Sebagai contoh, banyak generasi muda terinspirasi dari figur publik yang sering memamerkan jadwal harian mereka yang padatnya seperti Kertea melalui platform Instagram pribadinya.

Penyebab Generasi Milenial dan Gen Z Terpengaruh

Tekanan sosial dan ekonomi menjadi salah satu penyebab utama mengapa tren ini berpengaruh besar. Generasi muda saat ini menghadapi tantangan seperti persaingan kerja yang ketat, biaya hidup yang meningkat, serta ekspektasi untuk mencapai kesuksesan di usia muda.

Media sosial semakin memperparah situasi dengan mempromosikan standar kesuksesan yang sulit dicapai, seperti memiliki bisnis sendiri di usia 20-an atau bekerja di perusahaan bergengsi.

Norma budaya yang memuja kerja keras tanpa henti juga memperkuat anggapan bahwa istirahat adalah tanda kelemahan. Akibatnya, banyak generasi muda merasa terjebak dalam tekanan untuk terus mendorong diri mereka melampaui batas kemampuan.

Sebagai contoh, saya pernah terjebak dalam pola hustle culture selama masa sekolah. Saya mengikuti dua organisasi sekaligus, mengambil jadwal les tiga kali seminggu, dan menjadi panitia dalam berbagai acara. Awalnya, saya merasa bangga dengan semua aktivitas tersebut, tetapi lama-kelamaan saya merasa kelelahan. Waktu untuk diri sendiri hampir tidak ada dan saya mulai merasa cemas karena merasa selalu tertinggal, meskipun sudah melakukan begitu banyak hal. Pengalaman ini membuat saya menyadari betapa pentingnya keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.

Dampak Mental Hustle Culture

Hustle culture sering kali membawa dampak buruk pada kesehatan mental, yang terlihat dari:

  1. Burnout: Kondisi kelelahan fisik dan emosional akibat tekanan yang berlebihan. Ini sering kali disebabkan oleh tuntutan kerja yang tidak realistis dan kurangnya waktu istirahat.
  2. Kecemasan dan FOMO (Fear of Missing Out): Perasaan tidak pernah cukup produktif atau takut tertinggal dari orang lain. Mereka merasa bersalah jika tidak bekerja keras, bahkan di waktu yang seharusnya digunakan untuk bersantai.
  3. Stigma terhadap Istirahat: Dalam hustle culture, istirahat sering kali dianggap sebagai bentuk kemalasan. Akibatnya, banyak yang merasa bersalah ketika mengambil waktu untuk diri sendiri, yang pada akhirnya mengurangi kualitas hidup mereka.
  4. Penurunan Kualitas Hidup: Ketidakseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi membuat banyak generasi muda kehilangan kesempatan untuk menikmati momen kecil dalam hidup, seperti waktu bersama keluarga atau menjalani hobi.

Alternatif dan Solusi

Untuk mengurangi dampak negatif hustle culture, beberapa langkah berikut bisa diterapkan:

  1. Pentingnya Work-life Balance: Menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi adalah kunci untuk menghindari burnout. Contoh konkretnya adalah dengan menetapkan batasan waktu kerja dan meluangkan waktu untuk kegiatan di luar pekerjaan.
  2. Praktik Self-care: Melakukan kebiasaan seperti mindfulness, olahraga, atau sekadar meluangkan waktu untuk hobi dapat membantu menjaga kesehatan mental. Misalnya, sesi meditasi singkat setiap pagi dapat memberikan energi positif untuk memulai hari.
  3. Mengubah Perspektif: Penting untuk memahami bahwa istirahat bukanlah bentuk kemalasan, melainkan bagian dari produktivitas itu sendiri. Generasi muda perlu diajarkan untuk menghargai proses dan tidak terlalu fokus pada hasil akhir.

Hustle culture telah menjadi fenomena yang meresap dalam kehidupan Milenial dan Gen Z, tetapi dampaknya terhadap kesehatan mental tidak bisa diabaikan. Generasi muda perlu menyadari bahwa kesuksesan bukan hanya soal bekerja tanpa henti, tetapi juga tentang menghargai kesehatan mental dan menikmati hidup. Dengan mencari keseimbangan antara produktivitas dan istirahat, kita dapat membangun kehidupan yang lebih sehat dan bermakna. Pada akhirnya, momen berharga dalam hidup sering kali ditemukan bukan dalam kerja keras yang tak berkesudahan, tetapi dalam istirahat dan refleksi yang kita lakukan.

Biodata Penulis:

Nadiya Rabihah Yuma Manaf, lahir pada tanggal 17 Juli 2006, saat ini aktif sebagai mahasiswa Pendidikan Kimia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.