First Love, Stronger With Time: Sebuah Cinta Remaja yang Menemani Proses Kehidupan

Apakah cinta remaja adalah cinta yang indah? Tentu jawaban setiap orang berbeda. Tapi dari pengalamanku, cinta ini menemani prosesku bertumbuh dan ...

Pagi ini indah ya, masih sama seperti pagi hari kala itu. Aku dengan muka cuek ini masih saja selalu luluh dengan senyum kecilmu itu. Cinta pertama dan mungkin akan jadi yang terakhir. Ini kisahku, Aril cowok biasa saja yang dianugerahi wanita seindah dia. Apakah cinta remaja adalah cinta yang indah? Tentu jawaban setiap orang berbeda. Tapi dari pengalamanku, cinta ini menemani prosesku bertumbuh dan tentu sangat indah.

Fase Indahnya Cinta Monyet

Ini adalah kisahku anak kecil di Sekolah Dasar di desa kecil pada masa itu. Katanya sih fase cinta monyet itu ada di umur 12-18 tahun tapi aku memulai ini di umur 10 tahun! Apakah terlalu dini untuk mempelajari hal serumit itu? Bagiku sih tidak, justru aku menikmatinya dengan caraku. Memandang dia di balik tembok kelas 4 SD kala itu sudah cukup membuat hariku bahagia saat itu. Aku yang dikenal siswa berprestasi dengan piala-piala kebanggaanku, dengan berani menemui dia di kelas waktu itu. “Hai Puspa, kamu cantik, mau nggak jadi pacarku sekarang?” ucapku polos waktu itu. Bukan senyuman yang aku terima tapi malah muka murung dan benci! Anak sekecil ini merasakan penolakan pertamanya.

First Love, Stronger With Time

Bukan Aril namanya jika ditolak langsung menyerah dan putus asa. Dengan keberanian tanpa batas ini aku rela ngechat dia lewat aplikasi hits pada waktu itu, BBM. Dengan penuh harapan dan kesabaran menunggu, selang beberapa menit notif dia masuk. Dia menerima dan menjawab chatku kala itu! Harapan yang semula runtuh kini tumbuh kembali. Hari-hari berlalu kami terus dekat dan akrab. Dia yang dipandang cewek paling hits dengan segudang prestasi, dan ratusan piala melukisnya tetap saja bisa saja luluh dengan gombalan recehku.

Tiba di hari penentuan, awal tahun tanggal satu. Dengan mental yang aku siapkan selama satu tahun sebelumnya dan berkali-kali penolakan, aku yakin hari ini akan berhasil. Malam itu aku mengirimkan teks panjang yang berbeda dengan biasanya. Bantuan dari buku novel, film cinta, dan tutorial YouTube aku memberanikan diri untuk menyatakan cinta. Akhir dari penantian panjang berbuah manis notif HP-ku berbunyi, “aku mau, Aril” ketiknya malam itu. Wow! Kaget setengah mati aku dibuatnya. Malam aku merasakan menjadi manusia paling beruntung di dunia.

Hari-hari kami terus berlalu dengan indah, karena kami adalah siswa berprestasi waktu itu. Bukan adu kenakalan yang kami banggakan, tapi piala apa yang kami dapat waktu itu. Sampai di ujung kelas 6 SD aku yang akan lulus mengucapkan perpisahan waktu itu, karena dia 1 tahun di bawahku. Begitu bangganya aku masuk di SMP favorit di kotaku, bangga sekaligus dimulai retaknya hubungan kami. Anak yang dari SD kecil di desa tiba-tiba masuk ke sekolah top ini, aku kagum dengan orang-orang baru di sini dan melupakan dia. Putus nyambung sudah jadi hal biasa di cinta monyet ini. Dia yang akhirnya pun ikut menyusul masuk di SMP ini justru menambah konflik berkelanjutan. Yah tetap saja, akhirnya tetap dia pemenang cinta monyetku dan kami pun tetap bersama.

Tantangan Terberat Hubungan di Dalam Proses Remaja

Akan ada titik terendah di hidup setiap manusia, dan mungkin kali ini adalah titik terendahku. 29 Juni 2020 figur terbaik dalam hidupku pergi dan tidak akan pernah kembali. Untuk anak seusia itu aku masih sangat butuh sosok ayah, sebagai orang yang mengarahkan. Bagiku ini adalah titik aku kehilangan arah dan benar-benar menyerah. Bagi beberapa orang mungkin hubungan dengan ayah mereka tidak indah, tetapi bagiku kami terikat sangat spesial. Di titik ini banyak ucapan support dari semua temanku, tapi setelah ini berlalu mereka hilang, kecuali dia. Puspa, perempuan terhebat di hidupku setelah ibu, dia tetap tinggal dan menemaniku dari masa sulit ini. Ratusan atau bahkan ribuan kata dia berikan untuk memberiku semangat agar bisa bangkit.

Bukan remaja namanya kalau tidak penasaran akan hal yang baru. Bodohku waktu itu, aku yang kadang mulai jenuh di hubungan ini justru mendekati perempuan lain. Jelas melibatkan orang lain di dalam hubungan adalah mimpi terburuk. Bukan rasa bangga setelah aku mendapatkan banyak hati perempuan lain, tetapi justru rasa sesal di akhir yang menusuk diriku. Hubungan yang lama kami bangun kini runtuh dan hilang. Rasa kecewa dengan berbulan-bulan tanpa kabar adalah hasil dari kesalahanku.

Masa SMP sudah berlalu, kini kami tentu lebih dewasa saat menyentuh bangku SMA. Bukan berarti hubungan ini berjalan mulus, hubungan kami tetap saja belum membaik. Malam yang tenang tanpa tugas di hari itu, terlintas pikiran nekatku untuk menghubunginya. “Halo, Puspa, apa kabar?” kirimku pesan untuk dia. Di luar ekspektasiku dia masih tetap menjawab chatku dengan sopan. Kabar yang tak terduga datang, entah apa yang terlintas di pikirannya. Dia berniat pindah ke sekolahku, awalnya memang kami berbeda sekolah waktu SMA. Setelah mendengar hal tersebut aku mulai sadar, memang kami tidak bisa terpisahkan.

Kehadiran Dia Adalah Anugrah

Kini hubungan kami di SMA sudah berbeda karena memang secara pemikiran sudah pasti lebih dewasa. Berangkat dan pulang bersama sudah pasti jadi rutinitas tiap hari, emosiku menunggu lamanya dia bersiap-siap pun kerap menjadi pertikaian kecil. Aku yang menyentuh bangku kelas 12 mulai fokus dan belajar lebih keras. Apakah waktu main kami berkurang? Oh jelas tidak. Karena menurutku ini adalah fase terakhir putih abu-abu, aku sering mengajak dia ngedate setiap sore kala itu. Kalau kata anak-anak TikTok sih “No Brand Just With You” tidak perlu mewah, kadang mie ayam, dimsum, atau seblak juga sudah cukup asik asal bareng kamu.

Akhir masa putih abu-abuku sepertinya sudah dekat, tidak terasa masa terindah dalam hidup sudah habis masanya. Fokusku untuk masuk ke perguruan tinggi pun tetap didukung oleh Puspa, walaupun kami sudah jarang bertemu. Hari-hari berat kulalui, banyaknya tulisan dan angka yang kulihat di setiap hari ini melelahkan. Capai? Jelas, malas? Sudah pasti, tapi aku selalu berjuang demi almet kampus impianku itu.

Tiba hari ujian UTBK yang aku tunggu, rasa takut bercampur dengan semangat. Dengan keyakinan aku menjawab semua soal sulit itu, bukan rasa lega tetapi kekhawatiran. Malam itu bersama teman seperjuanganku kami bertukar kekecewaan akan susahnya menjawab soal UTBK. Dan benar aku gagal lolos pada jalur UTBK, kesedihan dan kekecewaan menghantuiku. Hanya Puspa yang mampu meyakinkanku bahwa hari itu aku belum selesai.

Setelah dihantui rasa kecewa, aku mencoba untuk move-on dan ikut ujian mandiri. Tapi kali ini berbeda, dia menawariku menemani saat ujian kali ini. Yah... bagiku itu luar biasa, ada support langsung dia sudah pasti rasanya berbeda dengan ujian sebelumnya. Dan benar! Aku berhasil lolos ke kampus telor asin yang aku impikan itu. Tangis haru dan bangga hadir menghiasi hari itu. Dan tidak lupa ucapan terimakasihku kepada seseorang yang rela menunggu berjam-jam saat ujian itu. “Terimakasih, Puspa” ucapku padanya, singkat tetapi sangat indah.

Bagiku, apakah hubungan yang berlangsung 8 tahun lebih rasanya masih sama? Jawabannya, tentu tidak! Hujan badai yang kita lewati tentu akan merusak isinya, mungkin sudah bukan lagi cinta yang menggebu-gebu seperti awal. Tapi bila tanpa dia rasanya tidak akan sanggup melalui semua ini. Kalau ditanya kenapa masih bertahan? Mungkin kalimat ini sangat cocok “cinta kami bukan lagi seperti api yang membara, tetapi seperti bara api yang hangat.”

Biodata Penulis:

Arilian Cahyo Nugroho, lahir pada tanggal 15 April 2005, saat ini aktif sebagai mahasiswa.
© Sepenuhnya. All rights reserved.