Segelas susu segar yang kita nikmati kini sedang mengalami hal tragis di baliknya. Di Boyolali, jantungnya susu Jawa Tengah, pengepul susu perah tengah berjuang keras menghadapi krisis yang mengancam tiang penopang kehidupan. Limpahan susu segar yang tak terserap industri berakhir dengan sia-sia, dibuang begitu saja. Di balik setiap tetes susu yang terbuang, tersimpan jerih payah para pengepul serta kelangsungan hidup mereka.
Baru-baru ini kita digegerkan dengan viralnya para peternak dan pengepul susu sapi yang melakukan demo terkait dengan masalah pembatasan kuota susu yang dilakukan oleh beberapa pihak, salah satunya Industri Pengolahan Susu (IPS). Susu yang seharusnya menjadi jantung yang menopang kehidupan mereka justru menjadi sebuah beban yang harus dibuang.
Raut wajah kecewa mereka diungkapkan dengan membagi-bagikan susu secara gratis. Kabarnya pembagian dilakukan di pinggir jalan menggunakan sebuah mobil bak, ada juga sebagian dibuang dan dibuat mandi sambil mengitari jalanan Boyolali.
Dalam aksi protes yang menggegerkan, para peternak sapi perah membanjiri jalanan dengan lautan susu! Puluhan ken dan ketel besi berisi susu segar tumpah ruah di atas mobil bak terbuka, sementara satu tangki raksasa berisi ribuan liter susu siap meletup. Aksi ini adalah bentuk kemarahan mereka atas penolakan industri terhadap susu hasil jerih payah mereka, yang jumlahnya mencapai hampir 50 ton. Mereka juga memasang spanduk protes di tiap mobil, di antaranya bertuliskan, “Frisian Flag Indonesia Tolong Utamakan Susu”, “STOP SUSU IMPOR”, dan “Susu Gratis, Pikir Peternak Sapi Perah”.
Belum rampung aksi bagi-bagi susu, peloper lainnya menggelar aksi mandi susu bersama. Ada beberapa peloper yang mengguyurkan susu murni ke tubuh mereka, ada juga yang masuk ke ken berukuran 20 liter susu. Mereka seperti mensucikan diri menggunakan susu.
Rugi Ratusan Juta
Teman saya yang bekerja di peternakan perah di Mojosongo, Boyolali, bercerita setiap hari di tempat ia bekerja bisa memerah hingga 400-1000 liter, mungkin bisa lebih, biasanya susu tersebut langsung dikirim ke berbagai pengepul. Sekarang cuma 150-250 liter yang dapat ditampung dan kelebihan pasti selalu dibuang, kerugiannya bisa sampai 100 juta lebih.
“Bosku mumet ora sanggup maneh, ngo ngurus ngei pangan bayar karyawan. Susu ne wae malah ra payu,” ucapnya.
Sedangkan sapi itu harus diperah 2 kali dalam sehari, kalau tidak diperah akan sakit sapinya, semua berkejar-kejaran dengan waktu.
Menurut dugaan saya pembatasan kuota ini salah satu penyebabnya tingginya impor susu yang masuk ke Indonesia, yang memenuhi 80% kebutuhan susu nasional, sementara produksi lokal hanya menyuplai 20%.
Padahal kebutuhan susu kita bertambah terkait dengan program makan siang gratis dan susu gratis dari bapak presiden Prabowo Subianto, tapi kuota penyimpanan tidak mencukupi untuk susu lokal sedangkan susu impor kok malah aman-aman saja? Masih meninggalkan sebuah misteri.
Yapping Netizen 62 yang Bikin Geleng-Geleng
“Mbak, kenapa susunya dibuang percuma? Mending disedekahkan aja biar lebih bermanfaat.”
“Mbak, kenapa gak dijual murah aja? Kan lumayan tetep dapat duit meskipun seuprit daripada enggak sama sekali.”
“Mbak, kenapa nggak dibikin yogurt kek, keju kek, kefir kek, apa kek. Kreatif dikit gitu lho.”
Dan sebagainya, dan sebagainya....
Hadeeeehhh, emang paling enak kalau nyacat dan Cuma ngomong doang.
Sini, sini pada ngumpul semua. Biar bisa ane kasih paham mengapa peternak memilih membuang susu segarnya.
Jadi begini, kalau masalah sedekah, tanpa disuruh pun kami sudah gerak. Yang sudah berteman lama pasti paham ya kalau kegiatan kami mayoritas menyalurkan sedekah.
Tapi masalahnya adalah kuota susu banyaaaaakkkkkkkk sekali. Bisa bayangin nggak sih kalau hampir satu gunung Merbabu itu warganya memelihara sapi perah semua? Bisa bayangin nggak berapa ton susu yang diproduksi?
Bisa bayangin nggak gimana gempornya kalau kudu nyedekahin semua? Butuh berapa tanki? Butuh berapa alat transportasi? Berapa besar biayanya? Duitnya darrriiiii mannnaaaaaa????
Asli eneg banget dengan komen asal njeplak yang nyuruh nyedekahin susu. Tanpa disuruh pun kami sudah gerak nyedekahin susu semampu kami. Tak hanya untuk Ponpes umat Islam. Tapi juga mengantarkan sedekah susu tersebut ke Panti Wredha Salib Putih.
Terus ada yang nyuruh menjual obral susu aja.
Iya tahu banget mending dijual daripada dibuang. Anak SD juga tahu.
Masalahnya adalah siapa yang mau beli susu berton-ton? Padahal kalau nggak cepat-cepat dijual dan dimasukkan ke freezer, susu bakal basi. Susu segar itu cepat basi. Sehingga butuh penanganan khusus jika harus dijual dalam jangka waktu lama dan jarak jauh.
Terus ada yang komen juga kudu dibikin keju lah, yogurt lah, kefir lah, embuh lah.
Wooiiiiii Painem, belajar bikin produk turunan susu itu butuh waktu. Juga butuh keahlian tertentu. Bukan asal simsalabim langsung jadi.
Sorry jadi esmoni.
Lah, soale netijreng malah memojokkan dan sok tahu. Padahal kami yang di sini lebih paham bagaimana harus memperlakukan susu agar kualitas terjamin.
Asal tahu saja, sudah sekitar 10 hari peternak susu area Merbabu menangis. Karena setoran susu ke KUD dibatasi.
KUD membatasi jumlah setoran juga karena pabrik membatasi kuota setoran. Dan ini semua gara-gara IMPOR SUSU!!!
For your information, bahwa 80% susu segar yang masuk pabrik itu adalah susu impor. Jadi peternak lokal hanya mendapat jatah 20% saja. Ngeri nggak sih? Kayak zaman VOC saja.
Bisa bayangin nggak betapa nelangsanya peternak susu? Sudah capai-capai ngarit, mandiin sapi, bersihin kandang, memerah susu pagi dan sore, terus setelah itu susunya nggak laku.
Capai? Iya pastilah mereka capai lahir batin... nangis darah... serasa dikhianati oleh bangsa sendiri....
Mari kita jadikan isu ini sebagai perhatian bersama. Suara kita sebagai konsumen memiliki kekuatan untuk mengubah kebijakan. Dengan bersatu, kita bisa menciptakan masa depan yang lebih baik bagi para petani dan memastikan ketersediaan susu segar berkualitas bagi generasi mendatang.
#boyolali #susu #peternaksapiboyolali
Biodata Penulis:
Yuga Darma Dyaka lahir pada tanggal 16 Oktober 2004 di Surakarta.