Di Balik Layar: Perjalanan Identitas dalam Dunia Digital yang Tak Tampak

Perjalanan identitas dalam dunia digital adalah perjalanan yang penuh liku. Dunia maya memberikan kebebasan untuk menjadi banyak hal, tetapi ...

Bayangkan sejenak, dunia yang kita kenal sekarang, hampir segala sesuatu bisa diakses dengan sentuhan jari. Di dunia maya, kita bisa menjadi siapa saja, berbicara dengan siapa saja, dan memamerkan sisi-sisi terbaik diri kita dalam sekejap. Namun, di balik kemudahan ini, ada sebuah pergulatan yang jarang kita sadari perjalanan identitas yang kita jalani setiap hari dalam dunia digital. Apakah kita benar-benar tahu siapa kita di dunia maya? Ataukah kita justru terjebak dalam pencitraan yang semakin sulit dibedakan dari kenyataan?

Keberadaan kita di dunia digital sering kali terasa seperti berada dalam sebuah ruang tanpa batas. Di sini, kita tidak hanya berinteraksi dengan orang lain, tetapi juga dengan versi-versi diri kita yang berbeda-beda. Ada diri kita yang tampak ceria, sukses, dan penuh warna di Instagram, sementara di sisi lain, ada diri yang lebih introvert dan reflektif di forum-forum diskusi. Dunia maya memberi kebebasan untuk memilih dan membentuk identitas. namun kebebasan ini, pada saat yang sama, bisa menciptakan kebingungan yang tak terhindarkan.

Perjalanan Identitas dalam Dunia Digital yang Tak Tampak

Fenomena ini tak hanya terjadi di kalangan generasi muda, tetapi juga merambah ke berbagai kalangan usia. Kita sering mendengar istilah "kepribadian ganda digital", yaitu ketika seseorang membangun citra diri yang sangat berbeda antara dunia nyata dan dunia maya. Kita mungkin merasa harus terus menyesuaikan diri dengan standar atau ekspektasi sosial yang berkembang di platform-platform digital. Di satu sisi, media sosial bisa menjadi tempat di mana kita mengeksplorasi berbagai aspek diri, namun di sisi lain, ada tekanan yang muncul untuk menampilkan diri secara sempurna, atau setidaknya sesuai dengan norma yang berlaku.

Masalah ini lebih dalam daripada sekadar masalah pencitraan. Ia juga berkaitan dengan bagaimana kita mendefinisikan diri kita sendiri dalam kontek digital yang begitu cair. Di dunia yang serba cepat ini, kita sering kali melupakan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang bisa dipahat dengan mudah. Identitas adalah hasil dari perjalanan panjang, dari interaksi dengan orang lain, pengalaman pribadi, dan refleksi diri yang terus berkembang. Namun, dunia digital sering kali memaksa kita untuk menyusun narasi tentang diri kita secara instan, tanpa ruang untuk merenung atau bertumbuh.

Sebagai contoh, kita bisa mengamati fenomena "sosial media burnout", yang terjadi ketika seseorang merasa kelelahan karena harus terus-menerus memelihara citra diri yang sempurna. Kelelahan ini bukan hanya fisik, tetapi juga mental. Perasaan takut ketinggalan informasi (FOMO) yang terus-menerus hadir, atau kecemasan akan penilaian orang lain, dapat menyebabkan tekanan batin yang cukup berat. Ironisnya, meskipun teknologi membawa kita lebih dekat secara fisik, kadang kita justru semakin jauh secara emosional, merasa tidak puas dengan siapa kita sebenarnya.

Lalu, apakah kita harus meninggalkan dunia digital? Tentu tidak. Namun, kita perlu mulai mempertanyakan bagaimana kita berinteraksi dengan dunia maya. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan lebih sadar dan intentional dalam setiap langkah kita di dunia digital. Kita bisa lebih bijak dalam memilih apa yang kita bagikan dan bagaimana kita menanggapi informasi yang datang. Dunia maya bukanlah tempat untuk menjadi versi terbaik dari diri kita, tetapi lebih kepada ruang di mana kita bisa bereksperimen, belajar, dan berinteraksi dengan cara yang lebih jujur dan otentik.

Ada satu konsep menarik yang mulai banyak dibicarakan belakangan ini, yaitu slow tech atau teknologi yang melambat. Konsep ini mendorong kita untuk lebih mindful dalam menggunakan teknologi, mengambil jarak dari hiruk-pikuk digital, dan lebih menikmati interaksi yang terjadi dengan cara yang lebih manusiawi. Sebuah gerakan yang mengajak kita untuk tidak terus-menerus dikejar waktu, tidak terjebak dalam siklus pencitraan, tetapi benar-benar kembali pada esensi koneksi yang lebih dalam dengan diri sendiri dan orang lain.

Pada akhirnya, perjalanan identitas dalam dunia digital adalah perjalanan yang penuh liku. Dunia maya memberikan kebebasan untuk menjadi banyak hal, tetapi kebebasan itu harus disertai dengan kesadaran diri. Kita bukanlah versi sempurna dari diri kita yang terlihat di layar, tetapi lebih merupakan kumpulan pengalaman, keraguan, dan pertumbuhan yang jauh lebih kaya dari yang bisa dilihat oleh algoritma digital. Dunia digital menawarkan peluang, tetapi juga mengingatkan kita bahwa dalam segala kebebasan yang ditawarkan, kita tetap harus menjaga pijakan di dunia nyata, di mana identitas kita sebenarnya tumbuh.

Biodata Penulis:

Latifah Shofiyah lahir pada tanggal 30 April 2006 di Jakarta

© Sepenuhnya. All rights reserved.