Sebagai anak perantauan, saya adalah mahasiswa dari Riau, tepatnya dari Kecamatan Ukui, yang memutuskan untuk menempuh pendidikan di Universitas Sebelas Maret, Solo. Tentu saja, pengalaman ini membawa banyak hal baru, terutama dalam hal adaptasi dengan lingkungan dan budaya kota Solo yang sangat berbeda dari tempat asal saya. Jujur, ada banyak kejutan yang saya alami sejak pertama kali menjejakkan kaki di kota ini. Artikel ini merupakan refleksi dari pengalaman pribadi saya dalam menghadapi "culture shock" sebagai anak Sumatera yang merantau di Solo.
sumber: Wikipedia |
Namun, sebelum melangkah lebih jauh, saya ingin memberikan sedikit disclaimer: mungkin saya agak "katrok" dalam memahami budaya baru ini. Saya sadar, perjalanan ini adalah proses belajar yang membutuhkan waktu dan kesabaran. Berikut adalah beberapa pengalaman yang menjadi sorotan dalam adaptasi saya di Solo.
Makanan yang Kebanyakan Manis
Hal pertama yang benar-benar membuat saya kaget adalah rasa makanan di Solo. Sebagai orang Sumatera yang terbiasa dengan cita rasa gurih, pedas, dan asin, lidah saya harus bekerja keras untuk menyesuaikan diri dengan makanan di Solo yang cenderung manis.
Salah satu pengalaman pertama yang membekas adalah ketika saya makan di sebuah warteg dan memesan sayur kangkung. Di tempat asal saya, sayur kangkung biasanya dimasak dengan rasa gurih dan pedas yang kuat. Namun, di Solo, rasa manisnya justru lebih dominan. Awalnya, saya mengira itu hanya warteg tertentu yang memasak seperti itu. Tapi setelah mencoba makan di beberapa tempat lain, saya menyadari bahwa memang ciri khas masakan Jawa adalah rasa manis yang mendominasi.
Sebagai orang yang telah 18 tahun terbiasa dengan masakan Sumatera yang "medok" asin dan pedas, ini tentu menjadi tantangan tersendiri. Namun, seiring waktu, saya mulai menerima perbedaan ini sebagai bagian dari kekayaan budaya kuliner Indonesia. Meski begitu, ada kalanya saya tetap kangen dengan cita rasa masakan rumah yang lebih "nendang".
Bahasa Jawa yang Penuh Makna
Selain makanan, tantangan berikutnya adalah bahasa. Saya awalnya berpikir bahwa bahasa Jawa hanyalah satu kesatuan yang digunakan oleh semua orang Jawa. Ternyata, dugaan saya salah besar! Bahasa Jawa memiliki banyak tingkatan, makna, dan bahkan pengucapan yang berbeda-beda tergantung daerahnya.
Sebagai contoh, saya pernah mendengar teman saya dari Solo berbicara dengan temannya yang berasal dari Banyumas. Mereka sama-sama menggunakan bahasa Jawa, tetapi dengan logat dan pilihan kata yang sangat berbeda. Teman saya dari Solo menggunakan bahasa Jawa halus, sementara temannya dari Banyumas menggunakan bahasa "ngapak" yang terdengar sangat unik dan kerap membuat saya bingung. Bahkan ada pepatah yang terkenal di kalangan mereka: Ora ngapak ora kepenak (Tidak ngapak, tidak enak).
Sebagai pendatang, saya sering merasa bingung ketika mendengar perdebatan kecil di antara teman-teman saya tentang arti atau cara pengucapan kata tertentu dalam bahasa Jawa. Kadang, saya hanya bisa diam dan mendengarkan sambil mencoba memahami sedikit demi sedikit. Meski saya bersuku Jawa, di rumah saya tidak terbiasa menggunakan bahasa Jawa. Oleh karena itu, belajar bahasa Jawa di Solo menjadi tantangan baru yang menarik sekaligus menantang bagi saya.
Adaptasi yang Membawa Kebahagiaan
Walaupun ada banyak tantangan yang saya alami selama tinggal di Solo, seperti adaptasi dengan makanan dan bahasa, saya merasa sangat senang dan bersyukur bisa tinggal di kota ini. Orang-orang Solo terkenal ramah dan lembut dalam berbicara, membuat saya merasa diterima dengan baik. Meskipun ada beberapa orang yang mungkin tidak selembut stereotip tersebut, secara umum, keramahan masyarakat Solo memberikan kesan yang hangat dan menyenangkan.
Saya sadar bahwa proses adaptasi ini membutuhkan waktu. Setiap kejutan budaya yang saya alami adalah bagian dari perjalanan untuk lebih memahami dan menghargai keragaman budaya Indonesia. Solo mengajarkan saya untuk lebih terbuka terhadap perbedaan dan menjadikan pengalaman ini sebagai bagian dari pertumbuhan pribadi saya.
Sebagai penutup, saya berharap pengalaman ini dapat menjadi inspirasi bagi teman-teman perantau lainnya. Jangan takut menghadapi "culture shock," karena di balik setiap tantangan, selalu ada pelajaran berharga yang bisa kita ambil.
Biodata Penulis:
Nike Hidayah saat ini aktif sebagai mahasiswa, prodi Pendidikan Kimia, di Universitas Sebelas Maret.