Analisis Puisi:
Puisi "Ranggawarsita" karya Gunoto Saparie menyampaikan pesan yang mendalam tentang kondisi sosial-politik yang kacau dan penuh dengan ketidakadilan. Dalam puisi ini, Saparie mengungkapkan kecemasan terhadap masa depan, terutama terkait dengan pemerintahan yang terjebak dalam korupsi dan kesalahan pengelolaan negara. Dengan memanfaatkan gaya bahasa yang kuat dan simbolik, puisi ini menggambarkan kerisauan terhadap keadaan yang penuh dengan kebingungannya, serta ketidakmampuan untuk menemukan jalan keluar dari permasalahan tersebut.
Maut sebagai Simbol Keputusan Tak Terelakkan
Puisi ini dibuka dengan kalimat "sebentar lagi mungkin maut tiba / tiada lagi masa kegelapan dunia," yang menggambarkan bahwa kematian atau akhir zaman mungkin akan segera datang. Dalam konteks ini, maut bukan hanya sebagai akhir hidup, tetapi juga sebagai simbol dari perubahan besar yang menunggu. Saparie menggunakan maut untuk mengingatkan pembaca bahwa tidak ada yang abadi, dan perubahan besar atau kematian bisa datang kapan saja, bahkan mungkin dengan cara yang tidak terduga.
Selain itu, frasa "tiada lagi masa kegelapan dunia" menggambarkan harapan akan akhir dari masa-masa yang penuh kesulitan dan penderitaan. Masa kegelapan ini bisa diartikan sebagai era yang penuh dengan kekacauan dan ketidakadilan yang menguasai dunia. Meskipun begitu, pembicara bertanya-tanya, "mengapakah harus berduka?"—sebuah pertanyaan retoris yang menunjukkan kebingungannya, apakah kematian dan perubahan yang datang itu harus disambut dengan kesedihan atau justru dengan kelegaan, karena ia mungkin membawa akhir dari segala penderitaan.
Zaman Edan dan Kesesatan Pemerintah
Puisi ini juga menyoroti zaman yang "edan" atau kacau, yang merujuk pada keadaan masyarakat dan pemerintahan yang tidak terkendali. Saparie menulis, "ke manakah kucari jalan keselamatan? / ketika raja terjebak di lembah kesesatan." Di sini, "raja" bisa diartikan sebagai pemimpin atau penguasa negara yang telah kehilangan arah, terjebak dalam kesesatan dan kebodohan. Sang pemimpin seharusnya menjadi pelita bagi rakyatnya, namun justru terperosok dalam lembah kesalahan, mungkin akibat keserakahan atau ketidakmampuan untuk memimpin dengan bijaksana.
Pernyataan ini mencerminkan kecemasan terhadap kepemimpinan yang gagal dan korupsi yang merajalela dalam pemerintahan, yang berujung pada kerusakan sosial. Saparie menggambarkan bahwa ketika penguasa tidak lagi mampu mengemban tanggung jawab dengan baik, maka rakyat yang akan menderita.
Kritik terhadap Korupsi yang Tak Terelakkan
Salah satu tema utama dalam puisi ini adalah kritik terhadap korupsi. Saparie menulis, "korupsi dari dulu memang merajalela," yang menggambarkan bahwa masalah ini sudah berlangsung lama dan terus-menerus tanpa ada perubahan berarti. Dalam hal ini, "korupsi" bukan hanya mengacu pada penyelewengan harta negara, tetapi juga pada penyelewengan moral yang merusak tatanan masyarakat.
Korupsi menjadi penyakit yang merusak seluruh struktur pemerintahan dan merugikan rakyat banyak. Saparie seakan menunjukkan keputusasaan terhadap sistem yang telah terlanjur busuk dan tak mampu lagi memberikan keadilan bagi mereka yang membutuhkan. Ketidakadilan ini menambah kesan pesimisme dalam puisi ini, yang menggambarkan bahwa meskipun masa depan yang lebih baik mungkin akan datang, proses menuju perubahan itu tidak mudah dan penuh dengan tantangan besar.
Pertanyaan Eksistensial: Mengapa Kita Alpa?
Di akhir puisi, Saparie menyampaikan pertanyaan mendalam, "o, mengapakah kita alpa / pada isyarat kalatida?" "Alpa" dalam bahasa Jawa berarti lalai atau lupa, dan "kalatida" merujuk pada pertanda atau tanda yang jelas, sering kali merujuk pada hal-hal yang menunjukkan keadaan yang buruk atau bahaya. Puisi ini mempertanyakan mengapa banyak orang, terutama dalam konteks pemerintahan dan masyarakat, begitu mudah melupakan atau mengabaikan tanda-tanda yang jelas tentang kehancuran atau kerusakan yang ada di sekitar mereka.
Ini merupakan kritik terhadap ketidakpedulian masyarakat terhadap masalah yang terjadi di sekitarnya. Ketika tanda-tanda peringatan telah jelas, banyak yang justru tidak sadar atau terlalu sibuk dengan kepentingan pribadi sehingga mengabaikan tanggung jawab sosial mereka. Saparie menantang pembaca untuk lebih peka terhadap keadaan sekitar dan tidak membiarkan kebodohan dan kelalaian menguasai hidup.
Puisi "Ranggawarsita" karya Gunoto Saparie merupakan karya yang sangat relevan dengan kondisi sosial dan politik yang terus berubah. Dengan menggunakan simbol maut, ketidakadilan, dan korupsi, puisi ini menggambarkan bagaimana masyarakat dan pemimpin yang terjebak dalam kesesatan bisa membawa kehancuran pada masa depan. Namun, puisi ini juga menyadarkan kita bahwa perubahan itu mungkin saja datang, namun kita harus lebih peka dan bertindak untuk menyelamatkan diri kita dan bangsa dari kehancuran yang lebih lanjut.
Melalui pertanyaan-pertanyaan kritis yang diajukan dalam puisi ini, Saparie mengajak pembaca untuk merenung dan bertanya kembali pada diri mereka sendiri: Apa yang bisa kita lakukan untuk mengubah keadaan ini? Dan apakah kita sudah cukup peka terhadap isyarat yang ada?
Karya: Gunoto Saparie
GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal.
Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), dan Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004) dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).
Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia--Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), dan Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta. Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.
Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), dan Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004) dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).
Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia--Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), dan Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta. Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.