Puisi: Menolak Jarak (Karya Ehfrem Vyzty)

Puisi "Menolak Jarak" karya Ehfrem Vyzty mengajak pembaca untuk merenungkan makna hubungan manusia yang terkoyak oleh perpisahan namun tetap ...

Menolak Jarak

: kawan (hawa) satu angkatan

Ini hari macam ditikam sunyi
Bunyi-bunyi istirahat lebih dulu dari mukim
Ada segala suara yang terpinggir di kepalaku
Ada suara-suara matamu memojok di mataku
Aku tak pernah menyalahkan kita atas kenangan yang tercipta
Kenangan-kenangan kadang mengekangku pada malam penuh insomnia sayang
Kau rasa seperti apa lukanya?
Kau tahu bagaimana mengakhirinya?
Darah-darah yang merembes kadang mengancam nyawa melayang lalu hilang menyisakan pening di kepala
Aku sekarang sudah jalang sayang
Pulanglah jika kau masih dendam atas perpisahan
Aku selalu tunggu penuh air mata bermata air menolak jarak antara kita

2024

Analisis Puisi:

Puisi "Menolak Jarak" karya Ehfrem Vyzty adalah sebuah eksplorasi mendalam tentang cinta, kenangan, dan perjuangan melawan jarak emosional. Dengan bahasa yang puitis dan sarat emosi, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna hubungan manusia yang terkoyak oleh perpisahan namun tetap berusaha dipertahankan melalui ingatan dan kerinduan.

Melawan Sunyi: Pertarungan Melawan Kesendirian

Baris pembuka, "Ini hari macam ditikam sunyi," memberikan gambaran yang tajam tentang rasa kehilangan. Sunyi di sini bukan sekadar ketiadaan suara, tetapi menjadi metafora atas kehampaan yang dialami oleh sang aku lirik.

Ketika "bunyi-bunyi istirahat lebih dulu dari mukim," kita diajak menyelami sebuah dunia di mana aktivitas telah berhenti, seolah waktu berhenti bergerak. Ini menciptakan suasana yang melankolis, menggambarkan rasa kehilangan yang begitu dalam hingga menyelimuti kehidupan sehari-hari.

Kenangan yang Menekan: Beban di Kepala dan Hati

Baris berikutnya, "Ada segala suara yang terpinggir di kepalaku / Ada suara-suara matamu memojok di mataku," menunjukkan bagaimana kenangan terus menghantui pikiran dan perasaan. Dalam puisi ini, kenangan tidak hanya menjadi sekadar memori, tetapi juga sesuatu yang membentuk tekanan emosional.

Mata, sebagai simbol keintiman, digunakan untuk menunjukkan bagaimana kehadiran seseorang tetap hidup meskipun telah berjarak. Suara dan mata menjadi entitas yang memojok sang aku lirik, memaksa untuk menghadapi apa yang ingin dihindari: perasaan kehilangan.

Luka dan Insomnia: Derita yang Tak Terobati

Baris "Kenangan-kenangan kadang mengekangku pada malam penuh insomnia sayang" adalah pengakuan jujur tentang betapa kenangan dapat menjadi belenggu. Malam, waktu yang biasanya digunakan untuk istirahat, menjadi saat di mana luka lama muncul kembali. Insomnia di sini bukan hanya gangguan tidur, tetapi simbol dari ketidakmampuan untuk melarikan diri dari pikiran tentang masa lalu.

Penyair juga menggunakan pertanyaan retoris, "Kau rasa seperti apa lukanya? / Kau tahu bagaimana mengakhirinya?" untuk menantang pembaca, atau mungkin sosok yang menjadi subjek puisi ini. Pertanyaan ini tidak hanya menyiratkan kerinduan, tetapi juga keputusasaan yang mendalam.

Darah dan Kehilangan: Simbol Luka yang Mendalam

Bait "Darah-darah yang merembes kadang mengancam nyawa melayang lalu hilang menyisakan pening di kepala" adalah gambaran visual yang kuat tentang luka emosional yang dirasakan. Darah, sebagai simbol kehidupan, di sini digunakan untuk menunjukkan luka yang dalam, hampir mengancam eksistensi sang aku lirik.

Frasa "menyisakan pening di kepala" memberikan kesan bahwa meskipun luka itu tidak secara fisik mematikan, dampaknya tetap terasa dan menghantui, membuat hidup menjadi tidak stabil.

Penolakan terhadap Jarak: Harapan yang Tersisa

Baris "Aku sekarang sudah jalang sayang / Pulanglah jika kau masih dendam atas perpisahan" menunjukkan perubahan emosi dalam puisi ini. Sang aku lirik mengakui kehancuran diri (jalang), tetapi pada saat yang sama menawarkan harapan rekonsiliasi. Kata jalang di sini bukan hanya mencerminkan kerusakan, tetapi juga keterbukaan terhadap kemungkinan untuk kembali menyatukan yang telah terpisah.

Puncak emosi puisi ini terdapat pada bait terakhir, "Aku selalu tunggu penuh air mata bermata air menolak jarak antara kita." Frasa "air mata bermata air" adalah permainan kata yang indah, menggambarkan kesedihan yang tidak pernah habis, seperti mata air yang terus mengalir.

Namun, di balik kesedihan tersebut, terdapat tekad untuk menolak jarak. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap perpisahan, menunjukkan bahwa meskipun hubungan telah berakhir, cinta dan harapan tetap hidup.

Sebuah Ode untuk Harapan di Tengah Kehilangan

Puisi "Menolak Jarak" adalah puisi yang menggambarkan perjuangan melawan perpisahan dengan cara yang mendalam dan emosional. Ehfrem Vyzty berhasil menyampaikan bagaimana kenangan, luka, dan cinta saling bertaut dalam menghadapi jarak yang memisahkan.

Melalui metafora yang kuat dan permainan kata yang indah, puisi ini bukan hanya sebuah ungkapan kesedihan, tetapi juga sebuah deklarasi tentang pentingnya harapan. Ia mengingatkan kita bahwa meskipun luka terasa tak tertahankan, cinta memiliki kekuatan untuk melawan jarak, baik fisik maupun emosional.

Dalam dunia yang penuh perpisahan, puisi ini menjadi pengingat bahwa harapan tetap bisa bertahan, meskipun dalam bentuk air mata yang terus mengalir.

Ehfrem Vyzty
Puisi: Menolak Jarak
Karya: Ehfrem Vyzty

Biodata Ehfrem Vyzty:
  • Ehfrem Vyzty lahir pada tanggal 9 Juni 2003 di Manggarai, Flores, NTT.
  • Ehfrem Vyzty pernah mengikuti lomba cipta puisi di berbagai media dan telah mendapatkan sertifikat sebagai penulis terbaik. Beberapa puisi maupun cerpennya telah dibukukan.
  • Ehfrem Vyzty merupakan siswa SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo, Manggarai Barat, Flores, NTT.
  • Buku perdananya bertajuk “Melukismu dalam Aksara” telah diterbitkan beberapa waktu yang lalu oleh penerbit JSI. Buku berikutnya akan diterbitkan dalam waktu dekat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.