Analisis Puisi:
Puisi "Lagu Rindu" karya Gunoto Saparie menyajikan sebuah gambaran indah tentang rindu, cinta, dan kerinduan yang menyatu dalam alam perasaan yang melibatkan kekuatan alam, perasaan batin, serta pengorbanan dan harapan yang mendalam. Melalui penggunaan bahasa yang puitis dan metaforis, puisi ini menggambarkan perjalanan cinta yang penuh dengan kerinduan dan keyakinan bahwa cinta sejati akan selalu terjaga, bahkan dalam jarak yang memisahkan.
Rindu yang Mengalir dalam Setiap Kehidupan: Alam Sebagai Cermin Perasaan
Puisi ini dibuka dengan gambaran alam yang menyatu dengan perasaan cinta dan rindu. Pada baris pertama, "pada tangkai kusuma melati / basah embun wangi meliputi", Gunoto Saparie memulai puisi ini dengan menggunakan metafora alam. Tangkai melati yang dihiasi oleh embun yang basah dan harum mencerminkan keindahan dan kesucian perasaan cinta yang sedang berkembang. Melati, sebagai bunga yang memiliki makna keindahan dan kesucian, menciptakan suasana penuh ketulusan dalam hubungan yang dibangun dengan kasih sayang dan perhatian.
Embun yang basah ini menggambarkan ketulusan dan kesegaran cinta yang tetap murni meski dikelilingi oleh kenyataan hidup yang penuh rintangan. Embun, yang seringkali hadir di pagi hari, juga membawa simbol harapan baru yang lahir setiap kali seseorang merindukan kekasihnya.
Cinta yang Bersemayam di Kalbu: Perasaan yang Mendalam dan Tak Terungkap
Selanjutnya, penyair menggambarkan cinta yang tersembunyi namun selalu hadir dalam kalbu, "pada kalbu cintaku bersemayam / tersembunyi diam pelipur lara". Cinta dalam puisi ini digambarkan sebagai sesuatu yang berada jauh di dalam hati, tersembunyi namun selalu ada untuk memberi kekuatan dan menghilangkan kesedihan. Perasaan cinta ini tidak selalu dapat diekspresikan secara terbuka, tetapi tetap menjadi sumber kekuatan dalam menjalani hari-hari yang penuh dengan kerinduan dan rindu yang mendalam.
Dengan kalimat "tersembunyi diam pelipur lara", penyair menekankan bagaimana cinta bisa menjadi pelipur lara yang menenangkan hati ketika sedang merasakan kesedihan atau kesendirian. Cinta, meskipun tidak selalu tampak, hadir dalam keheningan dan ketenangan, memberikan penghiburan tanpa kata-kata.
Harapan dan Restu Tuhan dalam Cinta
Dalam puisi ini, terdapat penekanan pada keyakinan bahwa cinta yang tulus mendapatkan restu dari Tuhan. Hal ini tercermin dalam baris "betapa sahaja kasih sayang kita / ada restu tuhan dalam senyuman". Cinta yang disertai dengan kasih sayang dan ketulusan, menurut puisi ini, tidak hanya mendatangkan kebahagiaan bagi kedua insan, tetapi juga dianggap sebagai bentuk berkah atau restu dari Tuhan. Senyuman yang tulus menjadi simbol dari keikhlasan dan kebaikan hati dalam menjalani hubungan cinta.
Di sini, Gunoto Saparie menggambarkan bagaimana cinta, yang dilandasi oleh ketulusan dan pengertian, dapat membawa kedamaian dan kebahagiaan, karena dianggap mendapat restu dari Tuhan. Keyakinan ini menciptakan kedamaian dalam hati, dan meskipun ada jarak atau tantangan, cinta yang penuh kasih akan selalu terjaga.
Cinta yang Menggetarkan Jantung: Kehangatan yang Tak Terungkapkan
Pada bagian berikutnya, penyair menggambarkan betapa cinta bisa menggetarkan seluruh diri seseorang. Dalam baris "pada fajar kemerlap mripatmu / bergetar berahi di dalam diri", fajar menjadi simbol dari awal yang baru dan penuh harapan. Tatapan mata kekasih menjadi cahaya yang memberi kekuatan dan gairah hidup. Penggunaan kata "bergetar berahi" menunjukkan betapa mendalamnya perasaan cinta ini, yang tidak hanya mencakup keinginan fisik, tetapi juga melibatkan perasaan emosional yang kuat.
Baris "berdentang jantung beta menderu" juga menggambarkan detak jantung yang cepat dan penuh gairah ketika merasakan kehadiran orang yang kita cintai. Getaran hati dan tubuh ini adalah respons alami terhadap perasaan cinta yang datang dengan kekuatan besar, seolah-olah seluruh alam berdenyut seiring dengan perasaan itu.
Kerinduan yang Tak Pernah Padam: Rindu yang Menyatu dengan Tubuh dan Jiwa
Puisi ini kemudian berpindah pada inti dari tema rindu yang mendalam, "pada tangkai rinduku rindumu / lama sudah tidak bertemu". Rindu yang tak terucapkan, yang tumbuh dari jarak yang memisahkan dua hati, dijadikan sebagai inti dari perasaan yang selalu ada meskipun tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Kerinduan ini, yang bertumbuh dalam kesabaran dan ketekunan, akhirnya menjadi penghubung antara dua hati yang saling mencintai.
Penyair juga menggunakan gambaran "pada darah mengalir sendu / tabahlah, sabar, dan setia selalu" untuk menunjukkan bagaimana perasaan rindu ini mengalir dalam diri setiap insan. Kerinduan menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dari kehidupan, bagaikan darah yang mengalir dalam tubuh, mengingatkan tentang keteguhan hati dalam mencintai dan menunggu dengan sabar. Rindu ini adalah bentuk pengorbanan dalam cinta, yang membutuhkan ketabahan dan kesetiaan meskipun waktu yang lama telah berlalu.
Puisi "Lagu Rindu" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya yang menggambarkan cinta dan rindu sebagai kekuatan yang mendalam dan tak terpisahkan. Dengan menggunakan metafora alam, penyair berhasil menggambarkan bagaimana cinta bisa menyatu dengan kehidupan dan bagaimana kerinduan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan cinta itu sendiri. Puisi ini mengingatkan kita bahwa meskipun ada jarak dan waktu yang memisahkan, cinta dan rindu akan selalu ada, mengalir dalam kehidupan kita seperti darah yang tak pernah berhenti mengalir. Keindahan alam dan perasaan batin yang digambarkan dalam puisi ini memberikan kita pemahaman bahwa cinta dan rindu adalah bagian dari perjalanan hidup yang tak bisa dihindari, namun selalu membawa kedamaian dan harapan.
Puisi: Lagu Rindu
Karya: Gunoto Saparie
Biodata Gunoto Saparie:
Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Negeri Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Negeri Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.
Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, kolom, dan artikel tentang kesenian, ekonomi, politik, dan agama, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), Mendung, Kabut, dan Lain-Lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019), dan Lirik (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2020).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).
Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.
Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.
Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia pernah menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta). Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).
Saat ini Gunoto Saparie menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia ‘Satupena’ Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.
Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah. Selain itu, di tengah kesibukannya menulis, ia kadang diundang untuk membaca puisi, menjadi juri lomba kesenian, pemakalah atau pembicara pada berbagai forum kesastraan dan kebahasaan, dan mengikuti sejumlah pertemuan sastrawan di Indonesia dan luar negeri. Tinggal di Jalan Taman Karonsih 654, Ngaliyan, Semarang.