Analisis Puisi:
Puisi "Lagu Lama" karya Gunoto Saparie menyuguhkan sebuah narasi tentang kenangan yang tak pernah usai, tentang cinta yang datang dan pergi, serta pengkhianatan yang membekas dalam jiwa. Dengan menggunakan struktur yang berulang dan metafora yang kuat, puisi ini menggambarkan sebuah perjalanan emosional yang penuh dengan kerinduan, pengharapan, dan penderitaan akibat janji-janji yang tidak ditepati.
Berulang Lagu Lama: Cinta yang Tak Pernah Berakhir
Puisi ini dimulai dengan kalimat, "berulang lagu lama kauputar," yang langsung membawa pembaca pada sebuah gambaran tentang kenangan yang kembali mengalir dalam kehidupan penyair. Lagu lama di sini bukan hanya sekadar lagu, tetapi sebuah simbol dari kenangan yang berulang—sebuah pengingat yang datang terus-menerus, bahkan tanpa diminta. Kenangan itu seolah-olah tidak pernah pergi, terputar kembali dalam pikiran penyair, menciptakan perasaan yang sulit untuk dihindari.
Lirik "berulang mimpi dan kenangan" menggambarkan bagaimana masa lalu terus muncul dalam bentuk mimpi dan kenangan yang sulit dilupakan. Mimpi, yang merupakan produk bawah sadar, menjadi cara di mana perasaan dan kenangan lama terungkap kembali. Namun, meski kenangan itu datang kembali, perasaan yang menyertainya adalah perasaan yang penuh dengan keraguan dan ketidakpastian, menciptakan kekosongan dalam diri penyair.
Rindu yang Diberikan, Namun Dikhianati
Pada bait kedua puisi, penyair menceritakan bagaimana dulu kekasihnya memberikan rindu di tengah kesunyian dan kesepian. "Dulu kauberikan aku rindu / di tengah sunyi dan sepiku," menunjukkan betapa pentingnya perasaan rindu itu bagi penyair. Rindu menjadi sesuatu yang sangat berharga, bahkan bisa dianggap sebagai penyelamat di tengah kesepian yang mendera. Namun, harapan tersebut seakan menjadi sia-sia karena janji yang tidak ditepati. "Dulu kaujanjikan aku puisi / namun ternyata kauingkari," menggambarkan pengkhianatan dalam hubungan, di mana janji manis yang diucapkan hanya menjadi kata-kata kosong tanpa makna.
Pengkhianatan ini menciptakan luka yang mendalam, di mana janji yang tidak dipenuhi justru semakin memperburuk perasaan dan mempertegas ketidakpastian dalam hubungan tersebut. Penyair merasa kecewa, dan rindu yang dulu begitu berharga kini berubah menjadi beban yang mengganggu.
Cinta yang Menghancurkan dan Penderitaan yang Terus Berulang
Selanjutnya, puisi ini kembali mengulang struktur yang sama, dengan "berulang lagu lama kaunyanyikan," yang memperkuat kesan bahwa kenangan dan rasa sakit ini terus berulang dalam diri penyair. Lagu yang sama, kenangan yang sama, tetapi dengan intensitas yang semakin besar seiring berjalannya waktu. "Berulang impian dan harapan / timbul tenggelam di benakku," menggambarkan bagaimana harapan yang dulu ada kini hanya menjadi kenangan yang timbul tenggelam, hadir dan menghilang, meninggalkan kebingungan dalam pikiran penyair.
Penyair kemudian menyebutkan bahwa meskipun segala sesuatu terjadi, "oh tuan, aku selalu ingat padamu," menunjukkan betapa besar pengaruh orang yang dicintai dalam hidupnya. Meskipun ada kekecewaan dan rasa sakit yang ditinggalkan, ingatan tentang orang tersebut tetap bertahan dalam benaknya, seolah menjadi bagian yang tidak bisa lepas dari dirinya.
Cinta yang Menyengsarakan dan Kehampaan yang Mengikuti
Bagian terakhir puisi ini mengungkapkan kekecewaan dan penderitaan yang mendalam akibat cinta yang tidak memberi kebahagiaan, melainkan menyengsarakan. "Cintamu, katamu, membikin sengsara," menyatakan bahwa meskipun kata-kata cinta terdengar indah, pada kenyataannya cinta itu justru membawa penderitaan dan kekosongan. Penderitaan ini berlanjut dengan ketidakmampuan untuk menemukan makna dalam komunikasi yang terjalin, seperti yang tercermin dalam "surat dan ponsel terasa sia-sia." Segala upaya untuk berkomunikasi dan merangkai hubungan tampak percuma, karena pada akhirnya rasa sakit dan ketidakpastian tetap ada.
Pelukan dan ciuman, yang seharusnya menjadi tanda kedekatan dan kasih sayang, justru "tak bermakna." Ini menandakan bahwa hubungan tersebut kehilangan makna sejatinya, seiring dengan pengkhianatan dan janji-janji yang tidak ditepati. Nafsu dan bisikan yang ada, yang seharusnya menjadi tanda kedekatan emosional, justru membuat keduanya merasa ada, namun dalam arti yang kosong, hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik tanpa ada ikatan emosional yang tulus.
Puisi "Lagu Lama" karya Gunoto Saparie dengan sangat kuat menggambarkan sebuah kisah cinta yang penuh dengan kenangan, harapan, dan akhirnya pengkhianatan. Struktur berulang dalam puisi ini mencerminkan betapa kenangan dan perasaan itu terus-menerus menghantui kehidupan penyair, menciptakan perasaan rindu yang tak terpuaskan dan penderitaan yang tak kunjung berakhir. Cinta, yang pada awalnya diharapkan membawa kebahagiaan, justru berubah menjadi sesuatu yang menyakitkan dan penuh kekosongan. Melalui puisi ini, Gunoto Saparie mengajak pembaca untuk merenungkan bahwa cinta, meskipun tampak indah, bisa membawa rasa sakit yang mendalam apabila tidak dihargai dan tidak dipenuhi dengan kejujuran dan kesetiaan.
Karya: Gunoto Saparie
BIODATA GUNOTO SAPARIE
Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.
Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019).
Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi dan cerita pendeknya termuat dalam antologi bersama para penyair lain. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta).
Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.
Ia pernah mencoba peruntungan menjadi calon anggota legislatif DPRD Jawa Tengah melalui Partai Golkar dan Partai Nasdem, tetapi gagal. Bahkan ia sempat menjadi calon Wakil Bupati Kendal dari Partai Golkar, namun gagal pula. Kini ia menikmati masa tuanya dengan membaca dan menulis. Tinggal di Jalan Taman Karonsih 654, Ngaliyan, Semarang 50181.