Puisi: Khilaf (Karya Rini Intama)

Puisi "Khilaf" karya Rini Intama menggambarkan perjalanan batin seseorang yang merenung tentang kesalahannya, merenungkan kedamaian, dan menerima ...
Khilaf

Akulah si pemuja yang memuja bicaralah tentang khilaf
seperti kerikil di tepi jalan yang terinjak kepongahan kota
ruangku tiba-tiba saja pengap...

mata tak lekang menatap buas belukar liar
bergoyang tertiup angin
atau menatap kosong rembulan yang meredup kelabu

tapi bukan mata jalang yang nyalang
menangisi malam lalu menadahkan tangan
pada derasnya air mengaliri telapak yang dingin
lirih suara sukma, menjumput sepi yang berjalan lambat
dugaanku tergilas diam-diam...

15 Maret 2010

Analisis Puisi:

Puisi "Khilaf" karya Rini Intama membawa pembaca ke dalam ruang batin yang penuh dengan pencarian dan penyesalan. Melalui barisan kata-kata yang puitis, penyair menggambarkan perasaan khilaf (kesalahan atau kelalaian) sebagai sesuatu yang sangat manusiawi, namun juga menyisakan perenungan mendalam tentang hidup, kesadaran, dan penerimaan diri. Dengan simbol-simbol alam yang kuat, puisi ini menggambarkan pergolakan batin dan ketidakpastian yang melingkupi perjalanan hidup.

"Akulah Si Pemujanya yang Memuja"

Puisi ini dimulai dengan kalimat "Akulah si pemuja yang memuja bicaralah tentang khilaf". Penyair memperkenalkan diri sebagai seorang yang terus-menerus terjerat dalam kekhilafan, memujanya seperti sesuatu yang tak terelakkan dalam kehidupannya. Pemilihan kata "pemujanya" menunjukkan keterikatan batin yang kuat terhadap kesalahan atau penyesalan, seakan-akan kesalahan tersebut menjadi bagian dari jati diri penyair yang tidak bisa dipisahkan. Dalam konteks ini, khilaf tidak hanya sekadar kesalahan, tetapi juga menjadi refleksi dari pencarian jati diri, makna, dan pemahaman tentang kehidupan.

Simbolisme Alam: Kerikil, Kota, dan Ruang Pengap

Selanjutnya, penyair menggambarkan "kerikil di tepi jalan yang terinjak kepongahan kota", sebuah gambaran tentang kesalahan yang terkadang terabaikan dan tidak dianggap penting. Kerikil yang kecil dan sepele itu diabaikan dalam hiruk-pikuk kota yang megah. Ini bisa diartikan sebagai simbol dari kesalahan atau kelalaian kecil yang terjadi dalam hidup kita, yang sering kali terabaikan di tengah kesibukan dan ego kota.

“Ruangku tiba-tiba saja pengap...” menyusul sebagai ungkapan tentang ketidaknyamanan yang tiba-tiba datang, seakan-akan dunia menjadi sempit dan penuh sesak. Ruang yang pengap ini mengilustrasikan perasaan terhimpit, penuh penyesalan, dan kebingungan setelah menyadari khilaf yang terjadi. Penggunaan kata “pengap” menyiratkan kekangan emosional dan kekosongan yang datang setelah kesalahan, seolah dunia menjadi sempit dan sulit bernapas.

Melihat Alam dengan Mata yang Penuh Rasa

Selanjutnya, penyair menggambarkan “mata tak lekang menatap buas belukar liar” dan “menatap kosong rembulan yang meredup kelabu”. Kedua gambaran ini mengungkapkan keputusasaan dan kekosongan yang dirasakan. Mata yang menatap "belukar liar" mencerminkan ketidakpastian dan keruwetan hidup yang sering kali sulit untuk dipahami, sedangkan "rembulan yang meredup kelabu" menggambarkan hilangnya cahaya harapan dan keindahan yang pernah ada. Semua ini memberikan kesan bahwa ada kehilangan yang mendalam, baik itu dalam diri penyair maupun dalam pandangannya terhadap dunia di sekelilingnya.

Merenung dalam Keheningan dan Penerimaan

Namun, yang menarik dalam puisi ini adalah perubahan suasana yang lebih dalam, yaitu "bukan mata jalang yang nyalang menangisi malam lalu menadahkan tangan". Penyair mengubah sudut pandang, mengarahkan perhatian pada ketenangan batin yang akhirnya datang setelah melalui segala gejolak perasaan. Mata yang "jalang" dan "nyalang" di sini merujuk pada perasaan liar dan tak terkendali yang dahulu menguasai, sementara kini ada kedamaian yang lebih reflektif. Penyair tidak lagi menangis atau meratapi kesalahan, melainkan mencoba menenangkan diri dengan "menadahkan tangan pada derasnya air mengaliri telapak yang dingin."

Air yang mengalir di telapak tangan ini menjadi simbol dari pembersihan, pelepasan, dan proses penyembuhan. Air yang dingin menggambarkan ketenangan yang datang setelah perasaan menggelegak. Tindakan menadahkan tangan kepada air mengalir menunjukkan sikap penerimaan, seolah menyadari bahwa penyesalan adalah bagian dari hidup yang harus diterima dan dibiarkan mengalir pergi.

Kesunyian dan Ketidakpastian

Puncak dari puisi ini adalah bagian yang mengatakan "lirih suara sukma, menjumput sepi yang berjalan lambat". Kalimat ini menggambarkan keheningan yang dalam dan perasaan sukma yang sedang mencari kedamaian dalam kesendirian. Keheningan ini juga mengandung pemaknaan bahwa setelah melalui semua kerumitan dan keputusasaan, hanya kesunyian yang dapat membawa pemahaman dan kedamaian.

“Dugaanku tergilas diam-diam” adalah kalimat penutup yang menunjukkan penerimaan akan ketidakpastian. Dugaannya, yang mungkin merujuk pada harapan atau pemikiran yang semula ada, kini tergilas oleh "diam-diam"—sesuatu yang datang secara perlahan tanpa bisa dihentikan. Ini adalah pengingat bahwa kadang-kadang hidup memang berjalan tanpa kita bisa memahaminya sepenuhnya, dan penerimaan terhadap ketidakpastian itulah yang membawa kedamaian.

Puisi "Khilaf" karya Rini Intama menggambarkan perjalanan batin seseorang yang merenung tentang kesalahannya, merenungkan kedamaian, dan menerima ketidakpastian hidup. Khilaf, dalam puisi ini, bukan hanya sebagai sebuah kesalahan yang perlu disesali, tetapi sebagai bagian dari pencarian jati diri dan pemahaman tentang kehidupan yang lebih dalam. Dengan simbolisme alam yang kuat, penyair mengajak pembaca untuk merasakan kesedihan, keputusasaan, dan pada akhirnya, penerimaan atas ketidaksempurnaan dalam hidup.

Rini Intama
Puisi: Khilaf
Karya: Rini Intama

Biodata Rini Intama:
    Rini Intama lahir pada tanggal 21 Februari di Garut, Jawa Barat. Namanya tercatat dalam buku Apa & Siapa Penyair Indonesia (2017).
    © Sepenuhnya. All rights reserved.