Puisi: Dukaku adalah Dukamu (Karya Ehfrem Vyzty)

Puisi "Dukaku adalah Dukamu" karya Ehfrem Vyzty menggambarkan kompleksitas emosi yang muncul dari kenangan, dendam, dan duka.

Dukaku adalah Dukamu

: Untuk yang teristimewa batch 33

Sampai sekarang aku masih mati-matian mengakhiri dendam terhadap kenangan antara kita
Memberi jeda air mata seperti menolak hujan di musim gerimis penuh tangis meringis sadis
Aku harus apa biar kita tetap dekat tanpa sekat?
Aku harus bagaimana biar gelak tawa tetap melekat dalam kepala?
Sekarang kita semakin tak terjangkau saja
Mengenangmu sama halnya aku memberi tempat bagi duka bertakhta
"Dukaku adalah dukamu. Sekarang kita masing-masing membendung air mata dengan tawa tanpa suara-suara"
Masihkah kau mengekalkan kenangan kita dengan letupan-letupan dendam menolak kesedihan-kesedihan bermukim dalam atmamu saudaraku?

2024

Analisis Puisi:

Puisi "Dukaku adalah Dukamu" karya Ehfrem Vyzty menghadirkan nuansa melankolis yang kaya akan perasaan mendalam. Lewat rangkaian kata yang menyayat hati, puisi ini menggambarkan kompleksitas emosi yang muncul dari kenangan, dendam, dan duka. Puisi ini bisa dilihat sebagai sebuah refleksi mendalam terhadap hubungan antarmanusia, khususnya yang diwarnai oleh luka dan kerinduan.

Melawan Dendam dalam Kenangan

Dalam baris pembuka, "Sampai sekarang aku masih mati-matian mengakhiri dendam terhadap kenangan antara kita," sang penyair seolah mengakui perjuangan batin yang berkepanjangan. Kenangan, yang biasanya manis, di sini menjadi beban yang sulit dilepaskan. Dendam terhadap kenangan ini bukanlah dendam kepada orang lain, melainkan kepada perasaan yang terus menghantui dan menghambat proses pemulihan jiwa.

Baris ini mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana masa lalu sering kali menjadi penghalang terbesar untuk melangkah maju. Meski terkadang kita ingin melupakan atau melepaskan, kenangan memiliki kekuatan untuk terus membelenggu.

Air Mata dan Hujan: Simbol Kesedihan yang Tak Terelakkan

Pada baris berikutnya, "Memberi jeda air mata seperti menolak hujan di musim gerimis penuh tangis meringis sadis," simbol hujan digunakan untuk melukiskan kesedihan yang melimpah. Hujan sering kali dihubungkan dengan proses katarsis, sebuah pelepasan emosi yang membawa kelegaan. Namun, dalam puisi ini, hujan justru menjadi representasi kesedihan yang tak bisa dihentikan, seolah menolak hujan adalah mustahil seperti halnya menolak rasa sakit.

Frasa "sadis" mempertegas betapa mendalamnya luka yang dirasakan oleh sang penyair. Bukan hanya rasa sedih biasa, tetapi kesedihan yang menoreh luka tajam di hati.

Pertanyaan Retoris tentang Kedekatan yang Memudar

Pada baris "Aku harus apa biar kita tetap dekat tanpa sekat?" dan "Aku harus bagaimana biar gelak tawa tetap melekat dalam kepala?", penyair menggunakan pertanyaan retoris yang menyiratkan kerinduan mendalam terhadap hubungan yang telah berubah. Baris-baris ini menunjukkan bahwa penyair masih ingin memperbaiki atau mempertahankan kedekatan, meski jarak emosional sudah begitu lebar.

Frasa ini juga bisa diartikan sebagai refleksi universal tentang hubungan yang memudar seiring waktu. Ia menyuarakan perasaan banyak orang yang mencoba mempertahankan kenangan dan hubungan, meski situasinya tak lagi mendukung.

Duka yang Bertakhta: Representasi Luka yang Mendalam

Puncak emosi dalam puisi ini terletak pada baris "Sekarang kita semakin tak terjangkau saja / Mengenangmu sama halnya aku memberi tempat bagi duka bertakhta." Di sini, kenangan tidak lagi menjadi tempat untuk menemukan kebahagiaan, melainkan sebuah takhta di mana duka bersemayam.

Duka bertakhta adalah metafora yang kuat, menggambarkan bagaimana kesedihan mendominasi pikiran dan perasaan. Hal ini mencerminkan betapa sulitnya melepas sesuatu yang begitu berarti, meskipun itu membawa rasa sakit.

Tawa yang Sunyi: Sebuah Paradoks Emosi

Baris "Sekarang kita masing-masing membendung air mata dengan tawa tanpa suara-suara" memberikan paradoks yang menarik. Tawa, yang biasanya diasosiasikan dengan kebahagiaan, di sini menjadi sebuah topeng untuk menutupi kesedihan. Tawa tanpa suara menggambarkan bentuk pelarian, upaya untuk tampak kuat meskipun di dalam hati terasa rapuh.

Pertanyaan Terakhir: Dialog untuk Sang Pembaca

Baris penutup, "Masihkah kau mengekalkan kenangan kita dengan letupan-letupan dendam menolak kesedihan-kesedihan bermukim dalam atmamu saudaraku?" terasa seperti dialog langsung dengan seseorang—atau mungkin juga dengan pembaca.

Di sini, penyair mengajak refleksi, bertanya apakah kenangan bersama masih dipertahankan meski menyakitkan. Kata "atmamu" (yang bisa diartikan sebagai jiwa) mempertegas nuansa spiritual dalam perasaan ini.

"Dukaku adalah Dukamu" adalah puisi yang menyentuh hati dengan kekayaan emosinya. Karya ini menggambarkan bagaimana hubungan yang pernah erat bisa berubah menjadi sumber duka yang mendalam. Dengan metafora dan simbol yang indah, Ehfrem Vyzty berhasil menyampaikan betapa kompleksnya hubungan antara kenangan, luka, dan kerinduan.

Puisi ini mengingatkan kita bahwa proses melepaskan tidak pernah mudah. Namun, melalui perenungan dan penerimaan, mungkin kita bisa menemukan kedamaian meski duka tetap bertakhta dalam hati.

Ehfrem Vyzty
Puisi: Dukaku adalah Dukamu
Karya: Ehfrem Vyzty

Biodata Ehfrem Vyzty:
  • Ehfrem Vyzty lahir pada tanggal 9 Juni 2003 di Manggarai, Flores, NTT.
  • Ehfrem Vyzty pernah mengikuti lomba cipta puisi di berbagai media dan telah mendapatkan sertifikat sebagai penulis terbaik. Beberapa puisi maupun cerpennya telah dibukukan.
  • Ehfrem Vyzty merupakan siswa SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo, Manggarai Barat, Flores, NTT.
  • Buku perdananya bertajuk “Melukismu dalam Aksara” telah diterbitkan beberapa waktu yang lalu oleh penerbit JSI. Buku berikutnya akan diterbitkan dalam waktu dekat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.