Analisis Puisi:
Puisi "Cinta" karya Gunoto Saparie menyajikan sebuah renungan mendalam tentang cinta, yang tak hanya sebagai perasaan, tetapi juga sebagai kekuatan yang mengikat tubuh, jiwa, dan roh. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan, puisi ini menggambarkan keresahan seorang penyair yang mencoba memahami esensi cinta yang begitu kuat namun sulit dipahami dan diungkapkan.
Cinta yang Menyatukan Tubuh dan Ruh
Puisi ini dibuka dengan dua pertanyaan besar, "benarkah cinta begitu kuat menyatukan / tubuh dan ruh kita?" Pertanyaan ini langsung menyentuh inti perasaan manusia tentang cinta—apakah cinta benar-benar mampu menghubungkan dua individu di luar aspek fisik? Dalam konteks ini, tubuh dan roh menjadi metafora bagi dua entitas yang terpisah, yang dalam cinta bisa bersatu menjadi satu kesatuan yang utuh. Cinta, bagi penyair, seakan menjadi kekuatan yang melampaui batas-batas fisik dan emosional, menggabungkan dua insan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Namun, pertanyaan yang muncul dalam puisi ini juga membawa ketidakpastian—apakah cinta sesungguhnya sekuat itu? Adakah kekuatan cinta yang benar-benar bisa membuat tubuh dan roh bersatu tanpa keraguan? Melalui pertanyaan ini, puisi ini menggambarkan betapa cinta bisa menjadi hal yang sangat mendalam, tetapi juga penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab.
Cinta yang Menenggelamkan Jiwa dan Raga
Selanjutnya, puisi ini bertanya, "benarkah cinta begitu dahsyat menenggelamkan / raga dan jiwa kita?" Cinta sering kali digambarkan sebagai kekuatan yang tidak hanya mempengaruhi tubuh, tetapi juga membawa perubahan besar pada jiwa dan raga seseorang. Cinta bisa membuat seseorang merasa tenggelam dalam perasaan, mengabaikan segala hal di sekitarnya, dan terfokus pada satu objek cinta. Namun, dalam puisi ini, ada keraguan apakah cinta benar-benar mampu menenggelamkan seseorang sepenuhnya, mengaburkan segala hal lain dalam hidupnya.
Pertanyaan ini mencerminkan kekhawatiran akan cinta yang berlebihan—apakah kita bisa kehilangan diri kita dalam proses mencintai orang lain? Apakah kita tetap menjadi diri kita yang utuh atau justru terhanyut dalam lautan perasaan yang kadang tak terkontrol? Ini adalah pemikiran yang lebih luas mengenai cinta, yang bukan hanya tentang kebahagiaan, tetapi juga tentang ancaman kehilangan identitas diri.
Cinta yang Tak Terungkapkan: Kata-kata Kehabisan Arti
Puisi ini semakin menggali dilema tentang cinta melalui ungkapan, "ketika kata-kata kehabisan arti / ketika kita tak mampu melukiskannya." Cinta sering kali sulit diungkapkan dengan kata-kata. Meskipun kata-kata adalah alat utama untuk berkomunikasi, cinta sering kali melebihi kemampuan bahasa. Ada perasaan yang lebih dalam yang tidak dapat dijelaskan dengan kalimat-kalimat biasa, dan puisi ini menggambarkan bagaimana kata-kata bisa terasa kosong ketika mencoba untuk menyampaikan kompleksitas cinta. Ketika perasaan mengatasi kemampuan bahasa, kata-kata pun tak lagi cukup untuk mengungkapkan segala hal yang ada di hati.
Selain itu, penyair juga menyebutkan, "ketika puisi dan lagu kehilangan makna," yang menunjukkan bahwa bahkan bentuk seni yang seharusnya mampu menyampaikan perasaan terdalam sekalipun, seperti puisi dan lagu, bisa terasa hampa ketika berbicara tentang cinta. Cinta terkadang menjadi sesuatu yang terlalu besar dan rumit untuk dijelaskan, sehingga bahkan dalam bentuk puisi sekalipun, ia bisa kehilangan makna.
Ketika Asmara dan Berahi Bicara Sendiri
Pada bagian ini, puisi mengungkapkan bahwa "ketika asmara dan berahi berbicara sendiri," yang menunjukkan bahwa cinta tak selalu berbicara dalam bahasa yang sama. Ada dimensi lain dari cinta yang terkadang lebih bersifat fisik dan naluriah. Asmara dan berahi adalah ekspresi cinta yang lebih sensual dan tubuhwi, tetapi dalam konteks ini, ia juga bisa menjadi suara yang terpisah dari cinta yang lebih dalam. Penyair seakan menunjukkan bahwa dalam perasaan cinta, terdapat perbedaan antara keinginan fisik dan hubungan emosional yang lebih dalam.
Namun, ini juga mengisyaratkan ketegangan antara kebutuhan fisik dan kebutuhan emosional dalam hubungan. Cinta tidak selalu berjalan mulus, dan terkadang, hal-hal fisik dan jasmaniah dalam cinta bisa berbicara lebih keras dari perasaan yang lebih halus dan spiritual. Puisi ini memperlihatkan bagaimana keduanya, meskipun sering kali terhubung, dapat berbicara dengan bahasa yang berbeda.
Cinta yang Tak Pasti: Arus Sungai yang Mengalir ke Samudera
Pada bagian terakhir, puisi ini bertanya, "namun siapakah sebenarnya kita / selain mengikuti arus sungai ke samudera?" Di sini, penyair menggambarkan cinta sebagai sesuatu yang lebih besar dari individu itu sendiri, sesuatu yang tidak bisa dikendalikan dan selalu mengalir menuju takdir yang lebih besar, seperti arus sungai yang akhirnya menuju samudera. Ini adalah metafora untuk ketidakpastian dalam cinta, di mana setiap individu pada akhirnya hanyalah bagian dari arus kehidupan yang lebih luas. Kita mungkin merasa bahwa kita memiliki kendali atas perasaan cinta kita, tetapi pada akhirnya, kita hanyalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dan tak terhindarkan.
Puisi "Cinta" karya Gunoto Saparie adalah sebuah refleksi yang mendalam tentang cinta dalam segala kerumitannya. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak memberikan jawaban pasti, puisi ini menggambarkan cinta sebagai sebuah kekuatan yang tak terukur, yang bisa menyatukan tubuh dan jiwa, namun juga bisa membawa keraguan dan ketidakpastian. Cinta digambarkan sebagai sesuatu yang tidak bisa sepenuhnya diungkapkan dengan kata-kata atau dimengerti dengan logika, karena ia lebih dari sekadar perasaan yang bisa dijelaskan. Cinta adalah pengalaman yang datang dan pergi, terkadang penuh dengan kebingungan dan ketidakpastian, namun tetap menjadi bagian integral dari hidup manusia.
Karya: Gunoto Saparie
BIODATA GUNOTO SAPARIE
Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.
Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.
Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain. Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya.
Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta).
Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).
Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.
Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah. Selain itu, di tengah kesibukannya menulis, ia kadang diundang untuk membaca puisi, menjadi juri lomba kesenian, pemakalah atau pembicara pada berbagai forum kesastraan dan kebahasaan, dan mengikuti sejumlah pertemuan sastrawan di Indonesia dan luar negeri.