Analisis Puisi:
Puisi "Biar" karya Mustiar AR merupakan sebuah karya yang menggugah, penuh dengan harapan dan simbolisme yang mendalam. Dalam puisi ini, penyair menyampaikan perasaan empati yang mendalam terhadap orang-orang yang hidup dalam kemiskinan dan ketidakberdayaan. Meskipun berbicara tentang realitas yang sulit, puisi ini juga menyampaikan sebuah bentuk keinginan kuat untuk memberikan perubahan, meskipun itu tampak mustahil.
Gambaran Kehidupan yang Sulit: "Langit yang Bisa Ditampal"
Puisi Biar dimulai dengan sebuah angan-angan yang penuh dengan rasa keinginan dan keputusasaan: "Kalau saja langit bisa kutampal, akan kutampal langit itu." Frasa ini menciptakan gambaran tentang ketidakberdayaan yang dialami oleh penyair. Langit, yang seharusnya tidak dapat dijamah oleh tangan manusia, menjadi simbol dari keadaan kehidupan yang tak bisa diubah, tetapi sangat diinginkan untuk diubah.
Tampaknya, dalam angan-angan penyair, langit bukan hanya sebuah entitas yang jauh dan tidak terjangkau, melainkan sebuah metafora untuk ketidakadilan sosial yang dirasakan oleh mereka yang hidup dalam kemiskinan. Keinginan untuk "menampal" langit dapat diartikan sebagai hasrat untuk mengatasi kesulitan hidup yang dihadapi oleh orang-orang miskin, memberikan mereka perlindungan dari hujan dan panas yang menghimpit mereka setiap hari.
Simbol Ketidakberdayaan dalam Miskinnya Realitas
Selanjutnya, penyair terus mengungkapkan keinginannya untuk melindungi orang miskin dari penderitaan: "Biar orang miskin itu tak kehujanan, biar orang miskin itu tak kepanasan." Dalam bagian ini, penyair menggambarkan kesedihan yang timbul dari ketidakberdayaan terhadap penderitaan orang lain. Orang miskin di sini diwakili sebagai kelompok yang terus-menerus hidup dalam penderitaan yang tak kunjung berakhir, menghadapi cuaca yang ekstrem, tanpa ada perlindungan yang memadai.
Kalimat "biar orang miskin itu tak kehujanan" dan "biar orang miskin itu tak kepanasan" menjadi sebuah simbol harapan besar untuk menghilangkan penderitaan fisik yang dihadapi mereka. Hujan dan panas menjadi representasi dari tantangan hidup yang tak terhindarkan—kesulitan yang datang tanpa ampun dan tak bisa dihindari oleh mereka yang hidup dalam kemiskinan. Dalam puisi ini, langit yang ingin "ditampal" oleh penyair menjadi sarana untuk memberikan perlindungan, sebuah impian yang jauh, tetapi tetap diharapkan.
Keinginan untuk Mengubah Takdir yang Sulit
Keinginan untuk mengubah keadaan tersebut adalah bentuk dari keputusasaan yang sekaligus menunjukkan bentuk empati mendalam terhadap orang-orang yang tak mampu mengubah nasib mereka sendiri. Penyair berharap untuk bisa mengubah hal-hal yang tak terjangkau dengan cara yang tidak realistis, seperti menampal langit. Hal ini menggambarkan rasa ketidakberdayaan terhadap realitas sosial yang ada.
Namun, meskipun ini adalah sebuah angan-angan yang tampaknya tidak mungkin terwujud, ada juga keindahan dalam keinginan tersebut. Puisi ini memperlihatkan bahwa meskipun seseorang mungkin merasa tak mampu mengubah dunia atau menyelesaikan ketidakadilan sosial secara langsung, mereka tetap memiliki keinginan untuk membantu, berbuat sesuatu, bahkan jika itu hanya sekedar harapan.
Simbolisme dalam Pemilihan Kata
Penyair menggunakan kata "langit" sebagai simbol dari sesuatu yang sangat besar dan tak terjangkau, sesuatu yang di luar kemampuan manusia untuk mengubahnya. Langit bukan hanya langit yang sebenarnya, melainkan representasi dari segala hal yang mustahil atau sangat sulit diubah oleh tangan manusia.
Penggunaan kata "tampal" di sini juga sangat kuat secara simbolis. Tampal berarti menutup atau menambal, yang secara sederhana bisa dipahami sebagai usaha untuk memperbaiki atau melindungi sesuatu. Menampal langit bukan hanya sebuah tindakan fisik, tetapi juga metafora untuk memperbaiki kondisi yang tampaknya tak dapat diperbaiki. Dalam konteks ini, langit adalah simbol dari ketidakadilan dan kesulitan yang dialami oleh orang-orang miskin, dan keinginan untuk menampalnya menjadi harapan penyair agar mereka yang menderita bisa hidup dengan lebih baik.
Puisi "Biar" karya Mustiar AR adalah sebuah puisi yang penuh dengan harapan dan keinginan untuk mengubah keadaan meskipun itu tampak mustahil. Melalui metafora langit yang ingin "ditampal", penyair menyampaikan rasa empati yang mendalam terhadap penderitaan orang miskin dan ketidakmampuan untuk mengubah keadaan tersebut.
Namun, meskipun keinginan untuk menampal langit tampaknya tidak realistis, puisi ini justru menunjukkan sebuah bentuk keinginan yang tak pernah padam untuk memberi perlindungan dan kenyamanan bagi mereka yang membutuhkan. Keinginan untuk mengubah dunia yang penuh ketidakadilan ini, meskipun hanya bisa dibayangkan dalam angan-angan, tetap menjadi sebuah bentuk empati dan perjuangan batin yang menginspirasi.
Puisi ini mengingatkan kita bahwa meskipun tidak selalu bisa mengubah dunia secara langsung, kita masih bisa memiliki harapan dan berusaha untuk membuat perbedaan dalam hidup orang lain, walaupun dengan cara yang tidak terduga. Biar adalah sebuah refleksi tentang bagaimana kita bisa menjaga harapan meskipun menghadapi dunia yang penuh dengan kesulitan.
Karya: Mustiar AR