Puisi: Astagfirullah (Karya Hamid Jabbar)

Puisi "Astagfirullah" karya Hamid Jabbar adalah karya sastra yang menggambarkan kompleksitas emosi manusia, konflik batin, serta upaya pencarian ....
Astagfirullah

astagfirullah penuh sadar
astagfirullah sepenuh istigfar
maka sudah remuk-redamlah aku
dari debu kembali sezarrah debu

walau debu sudah fitrahnya hanya kelu
tapi tanggungjawab tak bisa hanya bisu
katakan kata-kata yang semestinya mesti
walau biar hanya kepada diri sendiri

tapi justru pada diri sendiri aku tak mampu lagi
sebab aku butuh tubuh utuh yang tak saling bunuh
dan kini cerai-berai sudah jungkir-balik salah-kaprah
astagfirullah astagfirullah astagfirullah astagfirullah

astagfirullah hari-hari huru-hara diriku duhai astagfirullah
tak selesai pada sekedar caci-maki ataupun haru-simpati.
astagfirullah jungkir-balik salah-kaprah telah berlaku.
astagfirullah, telah berlaku terbeli terjual, namun bukan
sekedar salah-cetak kiranya bila tiba-tiba laba jadi bala.
astagfirullah bila bala jadi bola jadi loba jadi besar jadi sebar
jadi kabar jadi bakar. astagfirullah. memang ragam jadi
garam, tapi astagfirullah betapa perihnya teramat parah
tersebab hati tertukar tahi. maka jika padat menjadi dapat
tentulah alhamdulillah, tapi apa hendak dikata bila sokong
ternyata kosong, bila larat tak dapat diralat, jika mahar jadi
hamar, bila ramah dinyatakan marah, atau lebah menjadi
belah, rekat jadi kerat, raba jadi bara, bawah jadi wabah,
sahut jadi hasut, gosok jadi sogok, hingga semua hajat dan
hajat semua tertukar tempat menjadi jahat maha jahat,
segalanya lagi gila, dan ini semua bukan salah ketik atau
salah ketuk, hingga biar gratis pun ternyata sungguh tragis
muaranya, maka tak putus-putus astagfirullah kuketuk-
ketuk ke segala remuk dalam diri nisbi ini, duhai diriku
tangis segala tangis!

astagfirullah, wahai diriku, diriku yang kukenal, wahai kukenal
kujunjung tinggi, tapi tak kunjung kumengerti. wahai entah
salah apa, salah faham atau justru saling iri-dengki bin
dendam antara kalian, wahai kalian dalam diriku yang
mengaku bernama otak di kepala, hati di dada, lidah di
mulut, hingga kaki dan tangan dan lutut terbalut-balut
tersebab bertingkai-pingkai tak terlerai, tabrak-lari tabrak-
lari, baku caci-maki! otakku bilang: diabetes! mulutku
bilang: dialapar! tapi lambung dan duburku koor lain lagi:
diarakus diarakus! astagfirullah, begitu biankah rakus
menguras segala, rakus akan kebenaran atau memang
benar diarakus atas segala hal, tak peduli salah atau benar!
astagfirullah!

astagfirullah wahai diri, diriku, urat dan nadi, darah dan
gairah tumpah di arus jutaan jaringan anatomi ini, ruh dan
jasad ini, astagfirullah! astagfirullah kanal-kanal salah arus
menjadi anak-anak nakal dalam diri, wahai anak-anak nakal
banyak lagak salah urus jadi anak-anak galak yang tumpang
tindih antara timpang dan rintih, antara sayang dan sedih,
petak-umpet membangun pedih, repet-merepet tak sampai
sampai tak letih-letih, di sana dan di sini, di kamar-kamar
malam di rumah diri, ekstasi saling sodomi, zalimi duhai
zalim menzalimi, saling makar di kelam kamar tak terperi.

astagfirullah terbunuh sudah daku
di hari-hari huru-hara diriku
di duka satu koma tiga triliyun
ngilu bertimbun-timbun
duhai tak usai-usai istigfarku
padamu
ya Allah!

astagfirullah
laa haula wa laa quwwata illa billahil aliyil aziim


Analisis Puisi:

Puisi "Astagfirullah" karya Hamid Jabbar adalah karya sastra yang menggambarkan kompleksitas emosi manusia, konflik batin, serta upaya pencarian pengampunan dan makna dalam konteks spiritualitas. Dengan gaya bahasa yang kuat dan penggunaan istilah-istilah keagamaan, puisi ini mengajak pembaca merenung tentang keterbatasan manusia dan hubungannya dengan Tuhan.

Kesadaran akan Dosa: Puisi ini dimulai dengan istilah "astagfirullah," yang merujuk pada istigfar atau permohonan pengampunan atas dosa-dosa. Dalam bait pertama, penyair menggambarkan kesadaran atas kesalahan dan dosa-dosa yang ada dalam dirinya. Penggunaan istilah "penuh sadar" dan "sepenuh istigfar" menunjukkan keinginan untuk memohon ampunan secara sungguh-sungguh.

Perasaan Remuk dan Kehilangan: Penyair merenungkan perasaan "remuk-redam" dan perasaan terhilang. Bahkan saat dosa diampuni, penyair merasa seperti "debu kembali sezarrah debu," menggambarkan kerentanannya dan perasaan hina di hadapan Tuhan.

Konflik Dalam Diri: Puisi ini mencerminkan pertarungan batin dalam diri penyair. Ia merasa terjebak antara kelemahan manusiawi dan upaya spiritual untuk memperbaiki diri. Penyair merasa kesulitan untuk mengungkapkan perasaannya sendiri kepada dirinya sendiri dan mencari tanggungjawab.

Pengamatan Sosial: Puisi ini juga menggambarkan gambaran sosial yang penuh kegelisahan, dengan menyentuh isu-isu seperti keserakahan, penindasan, dan ketidaksempurnaan manusia. Hal ini tercermin dalam istilah-istilah seperti "rakus," "jungkir-balik," dan "saling makar."

Spiritualitas dan Pencarian Makna: Puisi ini menyentuh tema spiritualitas dan upaya pencarian makna hidup. Penyair memohon ampunan dan mencari hubungan yang lebih mendalam dengan Tuhan. "Astagfirullah" menjadi ungkapan yang mengakui ketidaksempurnaan manusia dan merupakan jalan untuk menemukan makna dan kedamaian.

Puisi "Astagfirullah" karya Hamid Jabbar merupakan perenungan yang mendalam tentang keterbatasan manusia, pertarungan batin, dan pencarian makna dalam hubungan manusia dengan Tuhan. Melalui gaya bahasa yang kuat dan penggunaan istilah-istilah keagamaan, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan hakikat manusia dan upaya spiritual dalam menghadapi dosa dan kelemahan.

Puisi: Astagfirullah
Puisi: Astagfirullah
Karya: Hamid Jabbar

Biodata Hamid Jabbar
  • Hamid Jabbar (nama lengkap Abdul Hamid bin Zainal Abidin bin Abdul Jabbar) lahir 27 Juli 1949, di Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat.
  • Hamid Jabbar meninggal dunia pada tanggal 29 Mei 2004.
© Sepenuhnya. All rights reserved.