Puisi: Agama Itu Dosa (Karya Kristian Ndori)

Puisi "Agama Itu Dosa" karya Kristian Ndori merupakan karya yang berani dan provokatif, penuh dengan kritik mendalam terhadap cara agama kadang ...

Agama Itu Dosa


Aku, selalu kau takut-takuti
Aku, selalu kau godai
Aku, selalu kau kuliti dengan hinaan
Dan aku, selalu kau tawari perangai yang menamai agama

Letihku kau basahi dengan ayat-ayat cinta
Lesuhku kau ulurkan dengan dogma-dogma kasih
Matiku kau suburkan dengan pelita bahagia
Tapi, aku sama sekali tak menghirup udara cinta yang kau maksud

Salahkah aku, bila sekejap tak percaya padamu?
Salahkah aku, bisa sehari tak merindumu?
Kau, terus saja menakutiku dengan kuasa dan kebesaran
Kau, terus saja menggorok kami umat manusia yang selalu kau anggap berdosa

Dosakah aku bila berjalan di pinggiran jalan tempat para jalang-jalang duduk menawar kesuciannya?
Dosakah aku bila menyapa pelacur malam di taman yang bertaburan bunga
Risalah hati bimbang melihat kegaduhan ini
Risalah hati kecewa melihat kemunafikan ini

Seteganya kau ciptakan agama untukku, hanya untuk mencari kegelapan yang kau sembunyikan
Sebesarnya kau ciptakan agama untukku, hanya untuk mencari oase cinta yang kau janjikan
Dan, pada nyatanya aku tidak merasakan apa-apa
Dan, pada nyatanya aku tidak menggenggam sehelai kasih yang kau berikan

Barang itu, sudahlah menjadi bangkai kebusukan
Kau membuat kami marah, marah karena kebohongan
Barang itu, Ahhhh, benar-benar menjijikkan.
Kami jijik dengan cinta kasih yang kau hembuskan

Tuhan, agama yang kau tawarkan adalah Dosa
Dosa yang nyata dalam sajian kidung-kidung
Bukankah kau sendiri yang menjanjikan, bahwa kau hidup dalam hati kecilku?
Lalu, kenapa kau menyuruhku untuk menyembah tiang-tiang dan pahatan-pahatan agama itu?

Sekali lagi Tuhan, agama itu Dosa.

2024

Analisis Puisi:

Puisi "Agama Itu Dosa" karya Kristian Ndori merupakan karya yang berani dan provokatif, penuh dengan kritik mendalam terhadap cara agama kadang-kadang dipraktikkan dan diajarkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan gaya bahasa yang kuat dan langsung, Kristian Ndori menyuarakan keraguannya terhadap agama yang dianggap justru menjadi sumber kekangan, ketakutan, dan kemunafikan. Dalam puisi ini, penyair mengajak pembaca untuk merenungkan kembali arti sejati dari agama dan apakah agama yang diajarkan secara formal benar-benar mencerminkan cinta, kedamaian, dan keadilan yang seharusnya.

Ketakutan dan Tekanan dari Dogma

Dalam bait pertama, Ndori menuliskan:

"Aku, selalu kau takut-takuti
Aku, selalu kau godai
Aku, selalu kau kuliti dengan hinaan
Dan aku, selalu kau tawari perangai yang menamai agama"

Bait ini mengungkapkan ketidaknyamanan penyair terhadap agama yang dibawa dengan cara mengancam dan menghina. Agama, yang idealnya memberikan ketenangan dan cinta, justru menjadi sumber ketakutan. Di sini, Ndori menyoroti bagaimana agama bisa saja disalahartikan atau dipraktikkan dengan cara yang menekan dan menakut-nakuti penganutnya. Seolah-olah, agama menjadi "perangai" yang diberi nama, yaitu sebuah perilaku yang dianggap benar namun sesungguhnya hanya bungkus dari intimidasi.

Kegagalan Menyampaikan Cinta yang Sesungguhnya

Selanjutnya, penyair menulis:

"Letihku kau basahi dengan ayat-ayat cinta
Lesuhku kau ulurkan dengan dogma-dogma kasih
Matiku kau suburkan dengan pelita bahagia
Tapi, aku sama sekali tak menghirup udara cinta yang kau maksud"

Pada bagian ini, Ndori mencurahkan rasa kecewa terhadap konsep cinta dan kedamaian yang sering kali dijanjikan agama, tetapi terasa hampa dan tidak nyata baginya. Meskipun ajaran-ajaran agama sering berbicara tentang cinta, damai, dan kebahagiaan, penyair merasa bahwa ia tidak pernah benar-benar merasakan cinta yang sejati dalam praktek keagamaan tersebut. Kata-kata ini mengandung ironi, di mana ayat-ayat cinta dan dogma kasih hanya menjadi kata-kata kosong yang tidak mampu memberikan ketulusan atau kenyamanan yang diharapkan.

Pertanyaan tentang Kewajiban Beragama

Ndori juga mempertanyakan keharusan untuk beragama dalam baris berikut:

"Salahkah aku, bila sekejap tak percaya padamu?
Salahkah aku, bisa sehari tak merindumu?"

Di sini, penyair mempersoalkan keharusan untuk selalu percaya dan rindu kepada Tuhan atau konsep agama. Pertanyaan retoris ini menunjukkan keraguan yang mendalam. Bagi penyair, kewajiban untuk percaya atau rindu bisa terasa sebagai beban. Pemaksaan semacam ini justru menimbulkan jarak antara penyair dengan agama atau Tuhan. Ia mempertanyakan apakah "dosa" bila manusia ingin sejenak berpikir dan mempertanyakan keberadaan atau peran Tuhan tanpa harus dihukum.

Mengkritik Kemunafikan dalam Praktik Agama

Bait berikutnya semakin tajam dalam mengkritik kemunafikan:

"Dosakah aku bila berjalan di pinggiran jalan tempat para jalang-jalang duduk menawar kesuciannya?
Dosakah aku bila menyapa pelacur malam di taman yang bertaburan bunga
Risalah hati bimbang melihat kegaduhan ini
Risalah hati kecewa melihat kemunafikan ini"

Penyair mengajak pembaca untuk melihat sisi lain dari kehidupan yang kerap dipandang hina atau berdosa, seperti pekerja seks atau pelacur. Kristian Ndori mempertanyakan mengapa seseorang yang berinteraksi dengan mereka harus dianggap berdosa, sedangkan agama sering kali tidak memberikan jawaban terhadap kemiskinan atau kondisi sosial yang memaksa seseorang berada dalam kondisi tersebut. Di sini, penyair mengkritik kemunafikan dalam ajaran agama yang kerap mengutuk dosa namun tidak memberikan solusi bagi masalah sosial. Agama yang seharusnya menolong dan peduli malah hanya menyalahkan tanpa menawarkan solusi yang nyata.

Agama Sebagai Penutup dan Bukan Pembuka Cinta

Pada bait ini, Ndori semakin tajam dalam kritiknya:

"Seteganya kau ciptakan agama untukku, hanya untuk mencari kegelapan yang kau sembunyikan
Sebesarnya kau ciptakan agama untukku, hanya untuk mencari oase cinta yang kau janjikan
Dan, pada nyatanya aku tidak merasakan apa-apa
Dan, pada nyatanya aku tidak menggenggam sehelai kasih yang kau berikan"

Penyair merasa bahwa agama sering kali digambarkan sebagai jalan menuju cinta dan kebahagiaan, tetapi kenyataannya justru sebaliknya. Agama hanya menjadi jendela kosong yang tidak memberikan apa yang dijanjikan. Ini menunjukkan perasaan kecewa yang mendalam, di mana penyair meragukan kejujuran dari janji-janji agama.

Konflik Antara Spiritualitas dan Formalitas Agama

Di bagian akhir, penyair mengatakan:

"Tuhan, agama yang kau tawarkan adalah Dosa
Dosa yang nyata dalam sajian kidung-kidung
Bukankah kau sendiri yang menjanjikan, bahwa kau hidup dalam hati kecilku?
Lalu, kenapa kau menyuruhku untuk menyembah tiang-tiang dan pahatan-pahatan agama itu?"

Penyair merasa bahwa ajaran agama yang formal dan ritualistik sering kali kehilangan esensi spiritualitas yang sejati. Ia bertanya mengapa harus ada ritual dan simbol-simbol fisik, seperti "tiang-tiang dan pahatan," jika Tuhan sesungguhnya hadir dalam hati setiap individu. Kristian Ndori mengekspresikan pandangan bahwa agama kadang menjadi terlalu formalistik, dengan banyak aturan dan dogma yang justru menjauhkan orang dari pengalaman spiritual yang sebenarnya.

Kritik yang Mendalam Terhadap Agama yang Formalistik dan Menekan

Puisi "Agama Itu Dosa" karya Kristian Ndori adalah sebuah karya yang penuh kritik dan menggugah pikiran. Melalui puisi ini, penyair menyuarakan kekecewaannya terhadap agama yang seolah kehilangan inti dari ajaran cinta dan kedamaian. Ndori menekankan bahwa agama yang sejati seharusnya tidak menakut-nakuti atau mengintimidasi, melainkan memberikan cinta dan kebahagiaan bagi semua umatnya. Ia mempertanyakan relevansi dari dogma-dogma yang justru membebani dan menekan, dan menginginkan spiritualitas yang lebih otentik dan personal.

Dengan kata-kata yang tegas, Kristian Ndori mengajak pembaca untuk berpikir kritis tentang agama dan bagaimana ia dipraktikkan dalam masyarakat. Puisi ini adalah refleksi mendalam tentang konflik antara spiritualitas pribadi dan formalitas agama yang kaku, mengingatkan kita untuk selalu mencari esensi dari keyakinan yang kita anut tanpa terjebak dalam dogma yang kosong.

Kristian Ndori
Puisi: Agama Itu Dosa
Karya: Kristian Ndori

Biodata Kristian Ndori:
  • Kristian Ndori lahir di Watuneso, sebuah kelurahan yang ada di Kecamatan Lio Timur, Kabupaten Ende. Penulis merupakan mahasiswa aktif Sastra Inggris di Universitas Gajayana Malang. Ia sangat aktif menulis di berbagai portal media, di antaranya Mojok.co dan Semilir.co. Selain itu, penulis juga seorang penikmat buku. Ia pernah menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Katolik Watuneso, Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Wolowaru, Sekolah Menengah Atas Karitas Watuneso.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Elegi Akulah tongkang sendirian Perahu di tengah lautan Sunsang menampung malang Rambu-rambu dunia lataku Mendayungkan tiang tenggelam Meraih…
  • Pertemuandengan hati sabarkutemu luas lautdengan rasa gemetarjiwamu yang lembutkuserahkan Kataberakibat gandadalam sunyi-senyapmemanggil tibakauserahkan Jiwaberakibat cintadalam ha…
  • Gloria Cintamu ibarat bintang berpijar Yang jauh, ia menerangi jagad raya Yang mengusap roman indah gemetar Di antara kelam dan remang cuaca. Cintaku ibarat bintang berpij…
  • Alibi Antara ayat-ayat suci Engkau pun mencari Halaman yang hilang (anak kecil mengejar bayang-bayang) kapan cuaca tiba meredakan gemuruh kedirian berterompah im…
  • Lanskap Dengan tustel dan tele di tangan Kita pun membidik langit Besakih Satu-dua cerecah segar kutilang Terbang-hinggap. Luput dan tersisih…
  • Jembatan Di bawah jembatan Tak bernama Kita pun berpegang Irama jiwa Mengalir air Mengalir darah Lembah pasir Banjir. Basah O, siapaka…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.