Menjadi orang tua kelas menengah di negara kita itu susah. Orang tua kelas menengah dapat dikatakan bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dengan cukup, akan tetapi jika ditanya untuk menyekolahkan anak mereka pada perguruan tinggi, akankah semua orang tua kelas menengah dapat mewujudkannya?
Semua orang tua pasti berharap anak-anak mereka dapat bersekolah setinggi tingginya. Bahkan beberapa orang tua yang finansialnya tergolong "mampu" akan menggelontorkan sejumlah uang mereka untuk anaknya memasuki perguruan tinggi yang dicita-citakan. Namun, untuk orang tua kelas menengah, apakah mereka rela mengeluarkan biaya "ratusan juta" demi mewujudkan mimpi anak mereka masuk ke perguruan tinggi? Mungkin mereka akan berpikir 2 kali bahkan sampai 1000 kali karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja pas-pasan malah ditambah beban biaya untuk menyekolahkan anak mereka ke perguruan tinggi yang konon pembiayaannya setinggi langit.
Ini adalah tantang besar bagi orang tua kelas menengah untuk mewujudkan mimpi anak tercintanya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Beberapa tantangannya sebagai berikut:
1. Pembayaran UKT yang Tinggi
Pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi (UU Dikti) dan Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024: UU Dikti memberikan kewenangan kepada Menteri Pendidikan untuk menetapkan standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi. Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 mengatur tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Dengan adanya undang-undang tersebut orang tua diwajibkan membayar UKT dalam kurun waktu 6 bulan (per semester).
Pembayaran UKT termasuk dalam beban berat yang harus dipikul oleh orang tua. Mungkin beberapa orang tua kelas menengah mendapat keberuntungan bahwa biaya UKT anak mereka tergolong pada golongan 1&2. Tetapi bagaimana jika anak mereka tergolong pada golongan 3&4 mereka diwajibkan untuk membayar UKT persemester dengan nominal yang cukup tinggi. Maka dari itu orang tua kelas menengah harus mempersiapkan dana pendidikan anak mereka dengan matang.
2. Sulitnya Bantuan Dari Pemerintah
Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP Kuliah) diatur dalam Permendikbud Nomor 10 Tahun 2020 tentang Program Indonesia Pintar. KIP kuliah adalah program pemerintah yang memberikan bantuan biaya pendidikan dan hidup kepada mahasiswa yang memiliki keterbatasan ekonomi. Program ini dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan (PLPP/Puslapdik). Di sini pemerintah sedikit memberikan titik terang kepada orang tua kelas menengah karena mengeluarkan program KIPK untuk membantu anak kurang mampu agar dapat berkuliah ke perguruan tinggi yang dicita-citakan. Akan tetapi apakah anak dari kelas menengah ini berhak mendapatkan KIPK? Padahal anak kelas ini benar-benar membutuhkan bantuan KIPK tersebut. Tetapi karena predikat dari pemegang KIPK adalah orang kurang mampu maka proses mendapatkan KIPK bagi anak kelas menengah sangatlah sulit.
Salah satu faktor penghambat mendapatkan KIPK adalah tidak dapat memenuhi syarat-syarat yang diprioritaskan dalam mendapatkan KIPK. Pada kenyataannya beberapa orang tua kelas menengah tidak mempunyai surat atau kartu penanda mereka memerlukan bantuan dari pemerintah. Karena kartu-kartu tersebut hanya dibagikan kepada masyarakat yang tergolong sangat membutuhkan. Bahkan saat orang tua kelas menengah mencoba meminta surat DTKS yang menyatakan mereka golongan tidak mampu untuk memenuhi syarat mendapatkan KIPK pun dapat tertolak oleh petugas dikarenakan mereka menganggap bahwa orang tua kelas menengah ini mampu dan tidak bisa mendapatkan hak tersebut.
Ini adalah wujud nyata dari celetukan "menjadi masyarakat kelas menengah itu sulit". Mereka bisa memenuhi kebutuhan sehari hari tapi untuk melanjutkan pendidikan anak mereka ke jenjang perguruan tinggi sangat dipertanyakan.
3. Tingginya Beban Biaya Hidup di Perguruan Tinggi
Biaya hidup di perguruan tinggi ini cukup memakan biaya yang tidak tergolong murah. Orang tua kelas menengah harus lebih ekstra untuk menyiapkan uang lebih banyak apabila anak mereka diterima di perguruan tinggi yang jauh dari tempat tinggal mereka. Orang tua kelas menengah harus menyiapkan uang untuk sewa kost dan kebutuhan sehari-hari anak mereka.
Di tahun 2024 ini biaya untuk menyewa 1 kamar kost dikatakan cukup mahal bagi orang tua kelas menengah. Rata-rata harga sewa 1 kamar kost yang standar saja 6 juta bahkan hampir menginjak angka 7 juta untuk pertahun ini pasti memberikan tekanan kepada orang tua kelas menengah apalagi mereka juga harus memikirkan biaya untuk kehidupan sehari-hari anak mereka.
Orang tua kelas menengah pasti sangat khawatir apabila di tengah-tengah anak mereka yang sedang fokus meraih mimpi harus terhalang karena tidak dapat melanjutkan pembiayaan hidup anak mereka di tanah rantau.
Solusi untuk Menghadapi Tantangan
Untuk menghadapi tantangan dalam menyekolahkan anak ke perguruan tinggi, orang tua kelas menengah dapat melakukan beberapa hal. Pertama, mereka harus mengatur keuangan keluarga dengan hati-hati. Kedua, mereka bisa mempertimbangkan tentang bagaimana cara menghemat biaya tanpa mengorbankan kualitas pendidikan anak mereka.
Ketiga, mereka harus berperan sebagai motivator dan pendidik bagi anak mereka untuk menyakinkan pada anak mereka bahwa biaya bukanlah rintangan untuk mengapai mimpi mereka. Dengan demikian, mereka dapat membantu anak-anak mereka mengembangkan minat untuk melanjutkan pendidikan dan mencapai cita-cita mereka.
Menyekolahkan anak ke perguruan tinggi merupakan impian bagi banyak orang tua, terutama bagi mereka yang memiliki ekonomi menengah. Namun, perjalanan ini tidaklah mudah, terutama bagi mereka yang harus menghadapi berbagai tantangan ekonomi dan sosial. Dengan mengatur keuangan keluarga dengan hati-hati, menghemat biaya, dan berperan sebagai motivator dan pendidik, orang tua ekonomi menengah dapat membantu anak-anak mereka mencapai cita-cita mereka dan melanjutkan pendidikan mereka ke perguruan tinggi.
Biodata Penulis:
Hana Dyah Anggraeni lahir pada tanggal 11 Oktober 2005 Sukoharjo.