Di era digital yang semakin canggih seperti saat ini, sering sekali muncul fenomena-fenomena yang cepat sekali marak atau tersebar, khususnya di kalangan remaja. Salah satunya yaitu perilaku FOMO atau Fear of Missing Out, yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai "ketakutan akan ketinggalan". FOMO adalah perasaan cemas atau takut ketinggalan informasi, pengalaman, atau aktivitas yang sedang terjadi di sekitar kita. Kondisi ini sering dipicu oleh paparan berlebihan terhadap unggahan di media sosial yang menampilkan kehidupan orang lain yang terlihat lebih menarik dan menyenangkan. FOMO sering dikaitkan dengan perasaan iri, cemas, dan tidak puas dengan kehidupan sendiri ketika melihat orang lain memiliki pengalaman yang lebih menyenangkan atau menarik.
Untuk memenuhi keinginan tersebut, seseorang yang mengalami FOMO cenderung akan mengikuti aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh orang lain. Peran pendidikan agama islam tidak hanya mengajarkan tentang ibadah, tetapi juga tentang akhlak mulia, pengendalian diri, dan keseimbangan hidup. Perilaku FOMO dapat berdampak pada aspek-aspek tersebut, seperti menimbulkan kecemasan berlebihan, menghambat fokus pada ibadah, dan mendorong perilaku konsumtif. Perilaku konsumtif merupakan perilaku individu yang membeli barang didasari oleh keinginan dan bukannya kebutuhan dalam jumlah yang tidak sedikit.
Perilaku FOMO jelas berbanding terbalik dengan pendidikan agama islam yang mengajarkan tentang qana'ah, tawakkal (berserah diri), dan tidak berlebih-lebihan. Jika pendidikan agama islam hanya berfokus pada teori tanpa diimbangi dengan praktik dan contoh nyata, siswa mungkin kesulitan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menghadapi tantangan seperti FOMO. Perilaku FOMO juga dapat berdampak pada perkembangan spiritual siswa karena dapat mengalihkan fokus siswa dari pengembangan spiritual menuju hal-hal duniawi yang bersifat sementara.
Perilaku FOMO pada siswa SMA dapat dianggap sebagai salah satu masalah dalam pendidikan agama islam, jika guru atau pihak sekolah tidak ada upaya untuk mengajarkan siswa tentang cara mengelola emosi, khususnya kecemasan dan keinginan untuk selalu memiliki, nilai-nilai islam tidak diinternalisasi dengan baik sehingga siswa tidak mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan, dan terdapat kesenjangan antara teori yang diajarkan dengan praktik kehidupan sehari-hari. Hal ini juga berpengaruh terhadap hubungan siswa dengan orang tua yang mungkin karena ekonomi yang kurang, akhirnya orang tua tidak bisa memenuhi semua keinginan anaknya yang meminta hanya karena sedang tren di media sosial.
Solusi yang dapat dilakukan yaitu penguatan pendidikan karakter dengan menanamkan nilai-nilai islam seperti qana'ah, tawakkal, dan syukur sejak dini, pengembangan keterampilan sosial, guru membantu siswa belajar berkomunikasi secara efektif, membangun relasi positif, dan mengatasi konflik, literasi digital dengan memberikan pemahaman tentang penggunaan media sosial yang sehat dan bijak, bimbingan konseling dengan cara menyediakan layanan konseling bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam mengelola emosi dan pikiran negatif.
Dalam konteks pendidikan agama islam, FOMO bukan hanya sekadar masalah perilaku, tetapi juga merupakan tantangan untuk membentuk generasi muda yang beriman, bertakwa, dan memiliki keseimbangan hidup.
Biodata Penulis:
Dian Selfiana lahir pada tanggal 9 Februari 2005 di Batang. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Pendidikan Agama Islam, di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.