Bullying Verbal Sekolah Dasar: "Namanya juga Masih Anak-Anak"

Bullying tidak hanya secara fisik, tetapi juga bisa secara verbal. Meski hanya berupa kata-kata, tetap saja dapat menyakiti orang lain.

‘Nyongot’, begitulah teman laki-laki di kelasku memanggilnya. Panggilan yang sebenarnya terdengar sangat mengganggu di telingaku. Kulihat ekspresi wajahnya setiap panggilan itu muncul, matanya tampak berkaca-kaca tetapi dia selalu berusaha untuk terlihat baik-baik saja seakan itu bukan apa-apa. Dia tetap bermain dengan yang lain meski mendapat julukan yang tidak enak.

Semua ini berawal ketika kami duduk di kelas dua Sekolah Dasar. Siang itu semua berjalan seperti biasanya, hingga terdengar suara benturan dari depan kelas. Teman-teman perempuanku berteriak. Kulihat ceceran darah di tembok bagian samping papan tulis. Saat itu aku tak paham apa yang terjadi, salah satu temanku menutupi mulutnya yang berlumuran darah. Guru-guru segera memanggil ambulans. Semua orang panik. Tak lama setelah itu, ambulans datang dan membawanya ke rumah sakit. Aku bertanya-tanya, sebenarnya apa yang terjadi? Beberapa orang mengatakan dia tidak sengaja jatuh ketika berlarian di dalam kelas. Namun, beberapa yang lainnya berkata bahwa dia didorong oleh salah satu temanku. Tidak ada yang tahu pasti tentang itu.

Bullying Verbal Sekolah Dasar

Beberapa hari setelahnya, dia kembali ke sekolah dengan perban di bagian mulutnya. Mulanya semua terasa biasa seperti sebelumnya, tetapi teman-temanku mulai menyadari ada yang berbeda darinya. Kecelakaan itu merusak fisiknya. Beberapa temanku mulai memanggilnya dengan sebutan ‘nyongot’ karena bentuk rahang atasnya berubah. Sejak saat itu, panggilan itu melekat padanya hingga kami lulus. Kala itu, aku tidak menyadari perlakuan ini sebagai tindakan yang sangat salah. Sebagai anak yang duduk di bangku Sekolah Dasar, aku menganggap hal itu merupakan hal biasa walaupun terdengar tidak nyaman.

"Namanya juga masih anak-anak". Kalimat ajaib itu seakan menutupi seluruh kesalahan yang diperbuat anak-anak. Mereka dianggap masih dini dan wajar melakukan kesalahan. Hal itu memang benar. Namun, seandainya mereka benar-benar berbuat salah, bukankah seharusnya orang yang lebih tua meluruskan hal itu? Mengapa hanya ditafsirkan sebagai kenakalan biasa pada anak-anak? 

Sedari dulu perlakuan memanggil seseorang dengan bukan namanya memang sudah dianggap hal biasa di masyarakat kita. Setiap orang akan memiliki julukan atau sebutan masing-masing. Tak jarang, sebutan yang digunakan adalah kata-kata yang buruk. Bahkan sampai menghina fisik seseorang. Mirisnya lagi, hal seperti ini juga terjadi di kalangan anak-anak.

Bullying tidak hanya secara fisik, tetapi juga bisa secara verbal. Meski hanya berupa kata-kata, tetap saja dapat menyakiti orang lain. Anak-anak seharusnya diberi pengertian mengenai hal ini sejak dini. Bukannya diwajarkan dengan alasan masih kecil dan tidak tahu apa-apa. Padahal tindakan bullying masa dini sangat mempengaruhi mental seseorang di masa depan nantinya.

Menurut penelitian, tindakan bullying verbal dapat menyebabkan gangguan kecemasan pada diri seseorang, menurunkan rasa percaya diri, mengalami depresi, sulit mengendalikan emosi, bahkan risiko terburuknya dapat terjerumus pada penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan terlibat dalam tindakan kekerasan. Pada intinya, kata-kata yang menghina atau menyakiti seseorang termasuk dalam bullying verbal meski ditujukan untuk candaan atau pelakunya anak-anak sekalipun.

Salah satu hal yang mengherankan adalah tindakan seperti ini kebanyakan dilakukan oleh kaum laki-laki. Bukannya menuduh, tetapi ini berdasarkan pengamatan yang aku lakukan sampai sekarang. Meski tidak semua, tetapi mayoritas melakukannya. Contoh nyatanya terjadi di kelasku saat aku duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah. Mereka saling memanggil dengan sebutan menghina satu sama lain. Jika ditanya alasannya mereka hanya akan berkata bahwa itu hanya candaan. Namun, pernahkah mereka berpikir bahwa panggilan seperti itu akan menyakiti hati orang lain? 

Sebagai perbandingan, anak-anak perempuan di kelasku selalu memanggil nama teman dengan baik dan benar. Oleh karena itu, kami selalu bisa damai dan akur satu sama lain. Tidak terdengar sebutan-sebutan yang ‘nyelekit’ di hati. 

Tindakan bullying verbal seperti ini masih dianggap remeh pada saat itu. Bahkan pihak sekolah menganggap hal ini bukan apa-apa. Aku bersekolah di salah satu sekolah swasta yang mengedepankan adab dan akhlak anak didiknya. Namun, pada nyatanya tindakan bullying verbal seperti ini masih luput dari pengawasan guru-guru. Bukannya ‘beliau-beliau’ ini tidak menasihati, tetapi lama kelamaan hal ini menjadi kebiasaan dan dianggap sebagai kenakalan anak-anak biasa. Tidakkah para guru sadar bahwa apabila hal seperti ini dibiarkan akan memberikan pengaruh buruk untuk ke depannya? 

Edukasi mengenai pengaruh bullying terasa masih kurang di lingkungan pendidikan. Sejauh yang aku ingat, edukasi bullying baru diajarkan ketika duduk di bangku sekolah menengah. Padahal di kalangan anak-anak pun sudah ada tindak bullying. Meski bukan secara fisik, tindak bullying verbal sangat sering dijumpai di antara anak-anak. 

Oleh karena itu, kita bersama-sama harus membangun kesadaran akan bahaya bullying verbal. Berikan contoh pada anak-anak dengan tindakan yang baik. Contoh paling mudahnya adalah dengan mulai memanggil nama seseorang dengan benar. Jangan menghina orang lain dengan kata-kata buruk yang ‘dibungkus’ dengan ungkapan candaan. Pikirkan terlebih dulu kata-kata yang akan diungkapkan. Ucapkanlah kalimat yang baik atau lebih baik diamlah saja. 

Biodata Penulis:

Syifa Qurrota Salsabila, lahir pada tanggal 28 November 2005 di Klaten, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Prodi Informatika, di Universitas Sebelas Maret.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.