Apa yang terlintas di benak kalian ketika mendengar kata “piring terbang”? Bagi orang Solo dan sekitarnya pasti sudah tidak asing dengan istilah piring terbang. Piring terbang di sini bukanlah pesawat luar angkasa atau fenomena mistis, piring melayang tanpa sebab. Piring terbang adalah tradisi khas dalam acara pernikahan atau hajatan besar di Jawa Tengah, hidangan dibawa langsung oleh pramusaji untuk diserahkan kepada para tamu undangan. Piring-piring yang berisi makanan akan diangkat tinggi-tinggi dan dibawa oleh pramusaji seolah-olah piring-piring tersebut "terbang" menuju tamu undangan. Yang bertugas mengantarkan makanan dalam tradisi piring terbang disebut sinom. Para sinom biasanya adalah remaja karang taruna yang saling bergotong-royong membantu kesuksesan jalannya acara.
Dilansir dari laman resmi Pemerintah Kota Surakarta, tradisi piring terbang telah ada dan berkembang sejak era Kerajaan Mataram. Tradisi tersebut muncul dari kawasan pinggiran, bukannya di tengah keramaian atau dekat dengan pusat pemerintahan Mataram. Tradisi piring terbang tak hanya berkembang di daerah Solo, namun juga di daerah Wonosari, Klaten, dan Wonogiri. Latar belakang munculnya tradisi ini ialah banyaknya tamu yang berdiri saat menikmati hidangan. Dari sinilah lahir tradisi piring terbang, tamu hanya perlu duduk menunggu makanan datang sehingga membuat tamu merasa dihormati, seperti seorang raja.
Makanan yang diantarkan ke tamu tidak diantar semuanya dalam satu waktu, melainkan secara bertahap. Tata urutan dalam piring terbang dikenal dengan USDEK yang merupakan singkatan dari unjukan, sup, dhaharan, es, kundur. Langkah pertama dalam penyajian hidangan adalah unjukan, yang dalam bahasa Jawa berarti minuman. Di acara pernikahan Jawa Tengah tamu pertama kali akan disuguhi teh manis hangat yang disertai dengan berbagai makanan ringan seperti bolu, sosis, dan kacang mete. Untuk teh manis biasanya sudah dipersiapkan di meja sebelum tamu datang, sehingga para sinom hanya perlu mengantarkan makanan ringan saja.
Hidangan selanjutnya adalah sup. Banyak yang mengatakan sup adalah sajian yang paling ditunggu. Sup ini biasanya disajikan dalam porsi kecil tapi rasanya yang khas sering kali dianggap lebih istimewa dibandingkan sup pada umumnya. Setelah sup, hidangan selanjutnya yang akah diantarkan oleh para sinom adalah dhaharan. Dhaharan adalah makanan besar atau menu utama dalam acara. Menu ini biasanya bervariasi, tergantung pada jenis acara dan selera tuan rumah, namun umumnya mencakup nasi, lauk dan sayur. Setelah menikmati dhaharan, tamu akan disajikan dengan es sebagai hidangan penutup. Setelah menu penutup dihidangkan tamu sudah diperbolehkan untuk kundur atau pulang.
Tradisi piring terbang hingga saat ini masih terus dilestarikan. Dengan mengikuti tradisi ini, tuan rumah menunjukkan bahwa mereka menghargai waktu, kenyamanan, dan kesejahteraan tamu, serta menghormati nilai-nilai yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi. Jadi, kalau kamu ada menghadiri acara pernikahan di Jawa Tenggah jangan bingung lagi ya kenapa tidak ada makanan yang dipajang. Pastikan kamu datang tepat waktu agar kamu tidak kamu mungkin akan melewatkan beberapa tahapan hidangan.
Biodata Penulis:
Anisa Nurkasanah, lahir pada tanggal 5 Juli 2006 di Klaten, saat ini aktif sebagai mahasiswa di Poltekkes Kemenkes Surakarta, program studi D4 Keperawatan.