Industri teknologi sering kali digambarkan sebagai era revolusi industri 4.0. Kemunculan industri tersebut mengubah banyak hal di berbagai sektor. Namun, di balik kemajuan yang pesat ini, ada masa-masa sulit yang dapat berdampak pada keseluruhan ekosistem. Banyak fenomena perusahaan-perusahaan yang berbasis teknologi memutuskan untuk menutup operasional mereka karena kerugian yang dialami.
Sebagai contoh perusahaan startup di Indonesia, yaitu Zenius, JD.ID, dan Tani-Hub yang telah tumbang. Selain itu, banyak perusahaan teknologi besar yang memutuskan untuk Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ribuan karyawan, seperti Microsoft, Google, dan Amazon. Fenomena-fenomena tersebut sering kali dikaitkan dengan kondisi bubble burst yang secara tidak langsung berkontribusi pada munculnya tech winter.
Bubble burst adalah sebuah fenomena yang terjadi ketika harga aset seperti saham teknologi mengalami kenaikan secara cepat dan signifikan. Kenaikan ini diikuti dengan adanya penurunan secara tiba-tiba dan tajam saat pasar saham menyadari bahwa valuasi tersebut tidak berkelanjutan. Kenaikan harga yang signifikan sering kali disebabkan oleh perubahan perilaku investor.
Ketika sebuah startup baru sedang naik daun dengan pemasaran yang lancar membuat para investor terkesima. Jadi, para investor mulai menanamkan uangnya ke dalam startup tersebut dan berharap akan mendapatkan nilai lebih dari yang mereka tanam. Namun, hal yang terjadi adalah startup tersebut memiliki valuasi yang terlalu tinggi dan jumlah uang yang dipompa ke industri jauh melebihi jumlah potensi pendapatan yang mungkin akan diperoleh.
Sebagai contoh fenomena bubble burst paling terkenal adalah “The Dot-Com Bubble Burst” yang terjadi pada tahun 1990-an. Saat itu, internet semakin populer sehingga memicu gelombang spekulasi besar-besaran dalam bisnis ekonomi baru. Hasilnya, ratusan perusahaan Dot-Com mencapai valuasi miliaran dolar segera setelah mereka melantai di bursa. Indeks Komposit NASDAQ mencatat terjadi lonjakan dari level sekitar 750 pada awal tahun 1990 sampai di atas 5000 pada Maret 2000. Tidak lama, indeks tersebut turun hingga 78% pada Oktober 2002 dan memicu resesi AS.
Umumnya fenomena ini terjadi pada perusahaan yang investornya mulai menagih profit. Akhirnya aktivitas yang biasa disebut bakar uang untuk biaya pemasaran dan akuisisi pelanggan mulai dihentikan. Akibatnya, perilaku konsumen menjadi berubah yang pada awalnya tertarik menjadi tidak tertarik lagi dan beralih ke kompetitor yang lain.
Ketika jumlah konsumen menurun, perusahaan justru mengalami kerugian. Investor yang tidak bisa menunggu lebih lama lagi akhirnya mengambil modalnya kembali. Perusahaan startup tanpa basis bisnis yang kuat dan pelanggan yang setia tidak akan mampu bertahan lama dalam kondisi seperti itu. Kondisi keuangan perusahaan menjadi tidak stabil setelah investor mencabut investasinya. Hal tersebut memicu terjadinya tech winter.
Tech winter merupakan periode ketika investasi di industri teknologi, termasuk startup, mengalami penurunan yang signifikan. Tech winter dalam industri teknologi ditandai dengan penurunan nilai investasi, pendapatan, dan langkah-langkah efisiensi. Hal ini terjadi pada saat perusahaan teknologi tidak mampu menarik investasi sehingga terpaksa melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara massal dan membekukan perekrutan karyawan.
Di Indonesia, terdapat indikasi bahwa tech winter sedang terjadi. Menurut Eddi, Steering Committee Indonesia Fintech Society (IFSoc) kenaikan suku bunga menjadikan capital cost dan opportunity cost naik. Eddi mengatakan, “Di tengah kenaikan suku bunga, investor di luar negeri lebih suka menyimpan uangnya di bank. Jadi, untuk mereka, melirik investasi startup yang memberikan return itu lebih risk-an, mereka pikir dua kali,” dalam Press Briefing Catatan Akhir Tahun secara virtual pada Jumat, 29 Desember 2023.
Selama tech winter, investasi memainkan peran penting dalam pertumbuhan dan peningkatan nilai suatu perusahaan. Namun, pengelolaan investasi yang dilakukan dengan tidak berhati-hati dapat menyebabkan kerugian yang signifikan bagi perusahaan. Kasus PHK massal di perusahaan teknologi besar seperti Amazon, Google, dan Microsoft adalah contoh nyata dampak buruk dari investasi berlebihan.
Pengembangan strategi investasi untuk melindungi perusahaan dari tech winter sangat penting. Strategi yang dimiliki harus jelas dan terukur, serta mempertimbangkan risiko dan potensi keuntungan dari setiap investasi. Penting bagi suatu perusahaan untuk memprioritaskan keberlanjutan bisnis melalui penerapan model bisnis yang kuat dan pengendalian biaya yang efektif. Diversifikasi pendanaan juga tidak kalah penting yaitu melibatkan pencarian berbagai investor dan pengembangan beberapa aliran pendapatan. Selain itu, untuk memastikan bahwa inovasi memenuhi kebutuhan pelanggan, riset pasar, dan pengujian produk harus diulang.
Kemitraan strategis seperti kolaborasi dengan perusahaan lain, institusi pendidikan, dan pemerintah dapat memberikan dukungan tambahan yang secara tidak langsung dapat membuka jalan bagi inovasi dan pertumbuhan. Terakhir, beradaptasi dan bersikap fleksibel terhadap perubahan pasar diperlukan untuk bertahan hidup dalam menghadapi masalah yang ada.
Dalam industri teknologi, bubble burst dan tech winter saling berhubungan. Ketika terjadi bubble burst, maka akan memicu penurunan kepercayaan yang dapat menyebabkan tech winter terjadi. Perusahaan tidak hanya dapat bertahan, tetapi juga menjadi lebih kuat jika mereka menekankan pada keberlanjutan, inovasi dan kolaborasi. Memahami dinamika ini, dapat membantu para investor dan pengusaha mempersiapkan diri mereka untuk menghadapi tantangan-tantangan di masa depan.
Biodata Penulis:
Aprillia Wulandari, lahir pada tanggal 27 April 2006 di Jepara, saat ini aktif sebagai mahasiswa angkatan 2024, Program Studi Informatika, Fakultas Teknologi Informasi dan Sains Data, Universitas Sebelas Maret.