Tidak Cuma Budaya, Menggali Ciri Khas Dialek Kudus yang Wajib Dikenal Generasi Z

Bagi anak muda yang sering merasa jenuh di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, maupun Surabaya, penulis dapat merekomendasikan kota Kudus ...

Pernahkah kalian mendengar tentang kota yang dijuluki 'Kota Kretek' atau 'Kota Santri'? Dan tokoh seperti Sunan Kudus atau Sunan Muria? Yup, kita sedang membahas tentang kota Kudus, kota yang menyimpan sejuta kenangan dan memori. Apa yang paling kalian suka dari kota ini?

Kudus adalah kota kecil yang kaya dengan kekhasan budaya tradisionalnya, termasuk dalam bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakatnya. Mengapa penting untuk memahami ciri khas dialek Kudus? Salah satunya adalah agar kita bisa berbaur dengan masyarakat lokal, serta dapat berkomunikasi dengan lebih lancar, dan tentunya menghindari culture shock.

Kudus

Bagi anak muda yang sering merasa jenuh di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, maupun Surabaya, penulis dapat merekomendasikan kota Kudus untuk menjadi pilihan menarik untuk meniti karier, memperdalam ilmu agama Islam, atau bahkan berziarah ke makam Sunan Kudus dan Sunan Muria untuk terapi spiritual.

Maka dari itu, penting bagi para perantau untuk mempelajari bahasa lokal sebagai bentuk adaptasi di tempat baru. Terletak di ujung utara Pulau Jawa, Kudus memiliki perbedaan bahasa yang signifikan dibandingkan daerah lain di Jawa Tengah. Masyarakat setempat biasa menyebutnya dengan Bahasa Kudusan. Mari simak bersama kosakata-kosakata penting yang wajib kalian pahami saat berada di kota Kudus!

Kosakata yang Akhirannya Ditambahi Imbuhan -em dan -nem

Kalau kalian pernah mendengar orang Kudus mengatakan "matanem," kalian jangan langsung salah paham dengan mengartikan kalimat tersebut dengan matanya ada enam. Istilah tersebut sebenarnya merujuk pada "matamu." Akhiran -em atau -nem dalam dialek Kudus menunjukkan kepemilikan orang kedua. Jadi, jika "mataku" artinya mata milikku, maka "matanem" berarti mata milikmu.

Di Kudus ada aturan khusus untuk penggunaan imbuhan ini. Jika kata benda atau kata sifat diakhiri dengan huruf vokal, maka akan menggunakan imbuhan -nem, seperti dalam contoh "matanem." Sebaliknya, jika kata benda atau kata sifat diakhiri dengan huruf konsonan, imbuhan yang digunakan adalah -em. Misalnya, "rumahmu" dalam dialek Kudus menjadi "rumahem."

Saya juga baru menyadari bahwa penggunaan imbuhan -em dan -nem adalah ciri khas orang Kudus dan sekitarnya. Pengalaman saya sendiri ketika saya kuliah di Poltekkes Kemenkes Surakarta, saya tanpa sadar melontarkan kalimat "Tasem ning ndi?" yang berarti "Tasmu di mana?" kepada teman-teman kuliah saya, sontak mereka langsung melontarkan tatapan bingung, dan bertanya-tanya apa maksud dari ucapan saya tadi. 

Cara Orang Kudus Mendeskripsikan Sangat dan Sangat Sekali

Di Kudus, ada cara unik untuk mendeskripsikan tingkat kedekatan. Misalnya, kata "cedak" yang berarti dekat. Untuk menggambarkan kata "dekat sekali," orang Kudus akan mengubahnya menjadi "ciduk." Sementara itu, untuk menggambarkan kata "sangat dekat sekali," mereka menggunakan istilah "ciruk."

Orang Kudus juga memiliki imbuhan khas lain yang tidak kalah unik, yaitu -neni, yang digunakan masyarakat Kudus untuk mengekspresikan makna "sangat." Misalnya, dari kata "cedak," yang berarti dekat, ketika ditambah imbuhan -neni, menjadi "cedakeneni," yang berarti sangat dekat. 

Imbuhan Kata -tah

Imbuhan -tah dalam Bahasa Kudusan digunakan untuk menanyakan sesuatu, mirip dengan suara "sih" dalam Bahasa Indonesia. Dalam dialek Kudusan -tah sendiri tidak memiliki arti spesifik, -tah berfungsi memberikan nuansa tanya yang lebih santai dan akrab. Contohnya, kalimat "Meh tumbas parfum ning ndi tah?" berarti "Mau beli parfum di mana sih?" Penggunaan imbuhan ini membuat percakapan terasa lebih hangat, sama halnya kalau kalian mendengar orang Semarang menggunakan imbuhan -tho, maka di Kudus menggunakan imbuhan -tah.

Kata 'Hanjo'

Jika kalian mendengar kata "hanjo," berarti kalian sudah tidak jauh jauh dari kota Kudus dan sekitarnya. Dari pelafalannya, kata "hanjo" mirip dengan bahasa Jepang yang sering kita dengar. Walaupun pelafalannya terdengar mirip dengan bahasa Jepang, ini aslinya adalah singkatan dari "lha iyo." Proses pembacaannya berawal dari "lha iyo" karena dibaca cepat maka menjadi "lhayo," lalu semakin cepat menjadi "hayo," dan akhirnya lama kelamaan menjadi "hanjo." 

Kata 'Mbatek'

Mendeskripsikan kata "mbatek" dalam Bahasa Indonesia memang membingungkan. Jika orang Kudus ditanyai mengenai apa arti sebenarnya dari kata "mbatek" kemungkinan besar orang Kudus juga pasti kebingungan dalam mengartikannya. Secara umum, "mbatek" menggambarkan keadaan seseorang yang merasa tegang dan takut, seolah-olah terancam oleh situasi yang tidak menyenangkan. Dalam kondisi ini, orang tersebut biasanya merasakan keringat dingin, dan sering kali membaca doa tanpa henti sebagai bentuk usaha untuk mendapatkan ketenangan atau perlindungan. Jadi, "mbatek" bisa diartikan sebagai "merasa tegang dan ketakutan dalam situasi yang mengancam."

Kata 'Kelancor'

Di Kudus, kata "kelancor" berarti kebablasan atau kelebihan, terutama saat berbicara tentang jarak dalam perjalanan, biasanya sering dipakai ketika rute yang diharapkan tidak sesuai. Misalnya suatu ketika panah di Google Maps menunjukkan arah yang meleset. Contohnya, saat seseorang menginstruksikan dengan berkata, "Mundur sithik weh, kelancor!" yang artinya "Mundur sedikit, hey, kebablasan!"

Itulah sedikit gambaran tentang Bahasa orang Kudus yang sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Tentu saja, ini hanyalah sebagian kecil dari keberagaman bahasa yang ada di kota Kudus. Semoga informasi ini dapat menambah wawasan kita mengenai kekayaan bahasa di Indonesia dan memberikan pandangan yang lebih luas, terutama bagi para perantau yang akan menjelajahi dan beradaptasi di kota Kudus, hingga mencari sang pujaan hati di kota Kudus tercinta ini.

Naila Mahira Syifa

Biodata Penulis:

Naila Mahira Syifa, lahir pada tanggal 26 April 2007 di Kudus, saat ini aktif menjadi mahasiswi Politeknik Kesehatan Kemenkes Surakarta, jurusan Keperawatan. 

© Sepenuhnya. All rights reserved.