Tentang Hal Indah yang Tak Selalu Indah

Terkadang hal-hal yang bersifat negatif dalam hidup, seperti derita, kecewa, ataupun putus asa. Sering kali kita tidak betul-betul memahaminya.

“Bahagia itu adalah caraku bukan caranya. Maka dari itu setiap dari kita memiliki perbedaan yang diyakini itu adalah sebuah kebahagiaan.”

Hai, apa kabar? Hari yang melelahkan, bukan? Bagaimana dengan kegiatan di kampusnya? Bagaimana dengan kehidupanmu di hari ini?

Overall, baik, kan? Mengapa kupeduli bukanlah hal yang sepantasnya kau sadari. Justru aku hanya sebuah perantara untukmu mengingatkan dirimu sendiri, yang mungkin terlupa. Atau bahkan, disengaja.

Ikhlas ialah menyadarkan diri dari sifat kepemilikan, tehadap segala sesuatu yang ada, tanpa terbebani oleh harapan. Keikhlasan itu justru semakin dipikirkan dan diucapkan akan semakin sulit pula untuk kita memahami apa itu ikhlas yang sebenarnya.

Tentang Hal Indah yang Tak Selalu Indah

Bukan tentang bagaimana kita menerima, dan bukan juga tentang bagaimana kita memaksa. Sekarang, mari kita bayangkan:

Ada dua orang anak yang sedang bermain. Sedangkan anak yang satunya memiliki mainan, dan anak yang satunya lagi tidak memiliki mainan. Untuk itu anak yang memiliki mainan akhirnya meminjamkan mainannya kepada temannya (anak yang tak memiliki). Nah, pada saat ketika waktunya tiba ia harus mengembalikan apa yang memang bukan menjadi miliknya. Walaupun di awal anak itu mungkin menangis, oleh sebab rasa kepemilikan dan kebahagiaannya – itu sirna.

Justru di sinilah anak itu menyadari, bahwa mainan itu bukan miliknya. Hingga akhirnya si anak menyadarkan dirinya bahwa itu bukan miliknya. Dan untuk mencapai tingkat yang disebut ikhlas itu, si anak disadari oleh sesuatu yang mentrigger otaknya (pikirannya), bahwa mainan itu milik temannya, yang perlu ia kembalikan di saat waktunya telah tiba. Terkadang kita hanya sampai pada kata "menyadari" saja. Tanpa kita tahu bahwa lahirnya kata ikhlas itu berasal dari apa? Terciptakan oleh apa? Yang justru kita tahu ikhlas itu menerima, ikhlas itu merelakan, ikhlas itu... ikhlas ini...

Justru yang seharusnya kita pahami dari ikhlas itu adalah tentang kesadaran kita pada apa yang "kita anggap punya". Semakin kita memusatkan pikiran kita pada kata "memiliki", semakin pikiran kita berpusat bahwa "oh, ikhlas itu sulit yah," "ikhlas itu tidak semudah dari apa yang diucapkan."

Apa itu sedih dan apa itu bahagia jikalau diri sendiri tak mampu untuk mengendalikannya?

Sebelum kita lebih ingin mengetahui keduanya. Mari kita pikirkan tentang kesamaannya. Sedih itu emosi dan bahagia itu emosi yang bisa berasal dari kesenangan. Jadi, persamaan antara sedih dan senang itu ada pada subjektivitasnya. Baik sedih maupun senang itu sangat subjektif, tergantung pada pandangan dan pengalaman individu. Hal yang membuat seseorang bahagia mungkin tidak memiliki efek yang sama pada orang lain, begitu pula dengan hal yang membuatnya sedih. Maka dari itu kita mungkin sempat mendengar atau membaca sebuah pendapat, "setiap orang memiliki kesenangannya masing-masing", dan pula "setiap orang memiliki kesedihannya masing-masing."

Di dalam hukum Law of Correspondence (hukum korespondensi) adalah konsep metafisik yang menyatakan bahwa ada keterkaitan atau hubungan antara berbagai tingkatan realitas, baik yang fisik maupun yang non-fisik. Prinsip ini sering dijelaskan dengan ungkapan "seperti di atas, begitu pula di bawah" atau "as above, so below." Konsep ini menunjukkan bahwa apa yang terjadi di satu tingkat eksistensi atau dimensi sering kali memiliki cerminan atau analogi di tingkat lainnya. Ini bisa diterapkan pada hubungan antara pikiran, tubuh, dan jiwa, serta antara mikrokosmos (individu) dan makrokosmos (alam semesta). Jadi jika seseorang dipenuhi dengan emosi positif seperti kebahagiaan, syukur, dan cinta, ini akan menarik pengalaman yang lebih positif di dunia luar. Kehidupan mereka akan terasa lebih harmonis dan penuh peluang. Sebaliknya, emosi negatif seperti ketakutan, kecemasan, atau kemarahan bisa tercermin dalam masalah atau tantangan di dunia fisik.

Menurut prinsip korespondensi, pikiran dan emosi seseorang mempengaruhi apa yang mereka manifestasikan dalam kehidupan mereka. Pikiran dan perasaan positif akan menghasilkan pengalaman hidup yang lebih baik, sementara pikiran negatif dapat menciptakan hambatan. Ini mendukung ide bahwa untuk mengubah hidup seseorang secara signifikan, mereka harus mengubah pola pikir dan keadaan emosional mereka terlebih dahulu.

Jadi, di manakah perbedaannya? Di manakah letak kekeliruan kita terhadap emosi?

Perbedaannya terdapat dari konsepnya atau maknanya. Dalam konsep filosofis ada yang disebut "dualitas" yakni menggambarkan keberadaan dua aspek yang saling berlawanan namun terkait dan tak terpisahkan dalam kehidupan atau realitas. Dualitas mengacu pada adanya dua sisi atau prinsip yang berlawanan tetapi saling melengkapi, seperti terang dan gelap, baik dan buruk, positif dan negatif, atau kehidupan dan kematian.

Untuk itu terkadang kita keliru dalam menafsirkan ataupun mengasumsikan. Letak kekeliruan itu terdapat pada kesadaran kita kembali. Pada apa yang kita fokus-kan, pada apa yang kita manifestasikan, dan pada apa yang kita sugestikan terhadap diri kita kenyataan kita saat ini (kesadaran penuh, "minfullness"). Maka dari itulah kita perlu memiliki kesadaran untuk mengendalikan setiap emosi yang berada didalam diri.

Jika kecewa adalah bagian dari obat kebahagiaan, apakah kita sanggup untuk menelannya hingga tak tersisa?

Terkadang hal-hal yang bersifat negatif dalam hidup, seperti derita, kecewa, ataupun putus asa. Sering kali kita tidak betul-betul memahaminya. Hingga pada akhirnya kita memaksa diri ini untuk senantiasa menjauhi apa yang tak mengenakan. Padahal yang sebenarnya, "nilai" dari apa yang kita anggap baik, itu berasal dari apa yang kita anggap buruk. Pun sebaliknya.

Pada akhirnya kita tahu, bahwa pembelajaran tersulit dalam hidup ini adalah mengikhlaskan.

Meca Azhar Imtiyas

Biodata Penulis:

Meca Azhar Imtiyas, lahir pada tanggal 28 Juli 2006 di Demak, saat ini aktif sebagai mahasiswa.
© Sepenuhnya. All rights reserved.