Pernikahan merupakan salah satu momen paling bahagia dalam kehidupan sepasang kekasih. Acara ini tidak hanya menjadi simbol cinta, tetapi juga tanda komitmen untuk selalu bersama dalam suka maupun duka. Pada pernikahan, pengantin umumnya akan mengundang saudara dan teman-teman dekat untuk berbagi kebahagiaan. Dengan segala persiapan dan tradisi yang menyertainya, pernikahan menjadi sebuah perayaan yang tak akan terlupakan bagi sepasang kekasih tersebut.
Hingga saat ini, saat menghadiri acara resepsi pernikahan, sering terjadi pemberian hadiah atau sumbangan kepada pengantin yang baru saja melangsungkan pernikahan. Hal ini merupakan bentuk ungkapan kebahagiaan dari para tamu undangan yang turut merasakan momen berbahagia tersebut.
Dalam pesta pernikahan, pemberian hadiah dan sumbangan merupakan hal yang lumrah dilakukan oleh kerabat, teman maupun tetangga yang diundang. Namun, terkadang hal itu menjadi tekanan tersendiri bagi tamu maupun pengantin.
Gengsi yang Mendominasi
Kata “gengsi” sangat familiar di telinga warga Indonesia, mengingat bahwa rata-rata mereka memiliki sifat gengsi yang cukup tinggi. Hal ini sering terlihat dalam acara pernikahan, banyak tamu undangan merasa tertekan untuk memberikan sumbangan dalam jumlah besar.
Perasaan gengsi ini membuat para tamu undangan merasa canggung ketika memberikan kontribusi atau sumbangan dalam jumlah yang dianggap kecil. Akibatnya, mereka sering kali merasa harus mengikuti standar yang tidak ditentukan, yang dapat menambah beban psikologis dalam momen yang seharusnya penuh kebahagiaan.
Pengantin yang Khawatir terhadap Umpan Balik
Pengantin sering kali merasakan kekhawatiran yang mendalam ketika menerima hadiah atau sumbangan dalam jumlah yang besar. Meskipun hal ini dianggap lumrah, namun dapat menambah beban pikiran di tengah kebahagiaan yang dirasakan, terutama dari segi finansial. Tidak semua orang mampu untuk melakukan timbal balik yang setara.
Biasanya, keluarga pengantin akan mencatat sumbangan atau hadiah yang diberikan oleh para tamu. Mereka berpikir bahwa mereka harus memberikan hal yang setara dengan sumbangan atau hadiah dari para tamu tersebut.
Kekhawatiran terhadap Reputasi
Warga Indonesia memiliki sifat yang sangat peka dan sering kali memikirkan perkataan atau penilaian negatif dari lingkungan sekitar. Sifat peka ini membuat para tamu undangan merasa malu jika tidak memberikan sumbangan dalam jumlah besar. Mereka khawatir akan menjadi perbincangan orang lain ketika diketahui memberikan sumbangan dalam jumlah yang dianggap kecil.
Padahal, para pengantin sebenarnya tidak menentukan berapa jumlah sumbangan yang harus diberikan. Bagi mereka, kehadiran kerabat, teman, tetangga, dan kenalan sudah cukup membuat mereka merasa bahagia. Kebahagiaan tersebut tidak tergantung pada jumlah sumbangan, tetapi lebih pada rasa kebersamaan dan dukungan dari orang-orang terdekat.
Kebiasaan
Di sekitar kita, jarang sekali ditemukan tamu undangan yang datang dengan tangan kosong. Biasanya, para tamu akan mempersiapkan hadiah sebagai tanda kebahagiaan mereka. Hadiah ini bisa berupa uang, yang sering kali dianggap sebagai bentuk dukungan finansial yang praktis, terutama bagi pasangan yang baru menikah dan mungkin sedang mempersiapkan rumah tangga mereka.
Selain itu, ada pula yang memilih memberikan barang-barang seperti peralatan rumah tangga, perlengkapan dapur, atau bahkan barang-barang dekorasi rumah. Hadiah dalam bentuk barang ini sering kali dipilih karena memiliki nilai sentimental dan bisa menjadi kenangan yang indah bagi pasangan pengantin.
Sumbangan dianggap sebagai bentuk dukungan dan ungkapan kebahagiaan atas pernikahan pasangan. Namun, di sisi lain terdapat perasaan gengsi dan kewajiban yang membuat tamu merasa tertekan untuk memberikan sumbangan dalam jumlah besar, yang dapat berujung pada perasaan utang piutang. Hal ini menciptakan dilema bagi banyak orang, mereka ingin berkontribusi tetapi juga khawatir tentang kemampuan finansial mereka.
Dengan demikian, penting untuk memahami bahwa sumbangan seharusnya tidak menjadi beban, melainkan sebuah ungkapan kebersamaan, kebahagiaan dan dukungan yang tulus, tanpa harus terjebak dalam norma-norma sosial yang menuntut.
Biodata Penulis:
Zulfa Rahmadani, lahir pada tanggal 14 Oktober 2006, saat ini aktif sebagai mahasiswa di Poltekkes Kemenkes Surakarta.