Persahabatan adalah salah satu elemen paling penting dalam kehidupan manusia. Dari masa kanak-kanak hingga dewasa, hubungan sosial dengan teman-teman memberikan dukungan emosional, penghiburan, dan perasaan memiliki. Namun, tidak semua aspek pertemanan selalu membawa kebahagiaan. Ada fenomena yang sering kali luput dari perhatian, yaitu kesetiaan berlebihan atau yang dapat disebut sebagai "shadow loyalty." Istilah ini menggambarkan bentuk loyalitas yang tampaknya positif tetapi sebenarnya memiliki sisi gelap kesetiaan yang mengharuskan seseorang mengorbankan jati dirinya demi mempertahankan hubungan dengan orang lain. Fenomena ini terjadi tidak hanya di dunia kerja atau kehidupan sosial dewasa, tetapi juga sudah dimulai sejak masa sekolah.
Sebagai seorang yang selalu berusaha menjadi teman yang baik, saya tidak pernah menyadari bahwa loyalitas yang saya tunjukkan selama bertahun-tahun justru mengikis identitas diri saya. Pengalaman pribadi saya selama sekolah memperlihatkan bagaimana kesetiaan berlebihan bisa berkembang tanpa disadari, hingga akhirnya membawa dampak negatif terhadap kepercayaan diri dan kebahagiaan pribadi. Dalam esai ini, saya akan menguraikan pengalaman tersebut, membahas dinamika di balik shadow loyalty, serta pelajaran yang bisa diambil dari situasi ini.
Sejak duduk di bangku sekolah menengah, saya memiliki sekelompok teman yang sangat dekat. Kami menghabiskan hampir seluruh waktu bersama, baik di kelas maupun di luar sekolah. Hubungan yang kami bangun terasa sangat alami dan penuh kebersamaan. Saya merasakan kehangatan dari pertemanan yang tampaknya tidak akan pernah pudar. Kami berbagi cerita, tertawa bersama, dan saling mendukung dalam berbagai hal. Sebagai seseorang yang pada dasarnya menghindari konflik, saya merasa berada di lingkungan yang aman. Pada titik ini, loyalitas yang saya tunjukkan masih berada dalam batas yang sehat.
Namun, seiring waktu, saya mulai merasakan adanya tekanan tak kasat mata dalam hubungan ini. Ada ekspektasi untuk selalu ada, selalu setuju, dan selalu terlibat dalam setiap kegiatan kelompok. Awalnya, saya tidak mempermasalahkan hal ini karena pertemanan adalah hal yang penting bagi saya. Saya merasa, sebagai teman yang baik, saya harus selalu menunjukkan komitmen penuh. Namun, tanpa disadari, ekspektasi ini lambat laun menjadi beban yang berat.
Salah satu momen yang paling membekas dalam ingatan saya adalah ketika kelompok teman saya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai pribadi saya. Ketika teman-teman saya ingin melakukan kegiatan yang menurut saya tidak tepat, saya merasa terjebak dalam dilema. Di satu sisi, saya tahu bahwa keputusan ini bertentangan dengan prinsip saya, tetapi di sisi lain, saya tidak ingin merusak harmoni dalam kelompok. Akhirnya, saya memilih untuk tetap terlibat, meskipun hati saya menolak.
Tindakan ini bukan hanya terjadi satu kali. Dalam banyak kesempatan, saya menyesuaikan diri dengan keinginan kelompok demi menjaga keharmonisan. Saya mengatakan "iya" meskipun dalam hati saya ingin mengatakan "tidak." Saya ikut serta dalam kegiatan yang sebenarnya tidak saya sukai, semata-mata untuk menunjukkan loyalitas kepada teman-teman saya. Pada saat itu, saya tidak menyadari bahwa kesetiaan yang saya tunjukkan mulai menggerogoti identitas saya. Saya mulai kehilangan kemampuan untuk mengekspresikan pendapat pribadi dan bahkan mulai meragukan nilai-nilai yang sebelumnya saya pegang teguh.
Ketika seseorang terlalu lama menyesuaikan diri dengan ekspektasi orang lain, tanpa sadar ia akan kehilangan rasa percaya diri untuk mengekspresikan dirinya yang sebenarnya. Inilah yang terjadi pada saya. Saya mulai merasa bahwa pendapat saya tidak penting, bahwa apa yang saya inginkan bukanlah sesuatu yang layak untuk dipertimbangkan. Akibatnya, saya lebih memilih diam daripada menyuarakan ketidaksepakatan.
Hilangnya rasa percaya diri ini tidak hanya memengaruhi hubungan saya dengan teman-teman, tetapi juga membawa dampak negatif terhadap aspek kehidupan lain, termasuk dalam hal akademik. Saya merasa bahwa saya tidak lagi memiliki kendali atas keputusan-keputusan penting dalam hidup saya. Alih-alih menentukan arah hidup saya sendiri, saya terus-menerus mengikuti apa yang diinginkan oleh orang-orang di sekitar saya.
Situasi ini juga memengaruhi kesehatan emosional saya. Saya sering merasa hampa, seolah-olah ada sesuatu yang hilang dari dalam diri saya. Padahal, apa yang hilang itu adalah identitas saya sendiri, saya sudah terlalu lama menempatkan kebutuhan dan keinginan orang lain di atas kebutuhan saya sendiri. Pada titik ini, loyalitas yang saya tunjukkan bukan lagi sebuah kebaikan, melainkan sebuah jebakan yang mengurung saya dalam lingkaran ekspektasi yang tidak realistis.
Kesadaran akan shadow loyalty ini tidak datang secara tiba-tiba. Ini adalah proses yang lambat dan penuh perjuangan. Ada momen-momen tertentu yang akhirnya membuat saya berpikir ulang tentang arti kesetiaan dan apa yang sebenarnya saya cari dalam pertemanan. Salah satu momen tersebut terjadi ketika saya menyadari bahwa saya tidak lagi tahu apa yang benar-benar saya inginkan. Setiap kali ada keputusan yang harus diambil, saya selalu memikirkan pendapat teman-teman saya terlebih dahulu. Saya lupa bagaimana caranya mendengarkan diri sendiri.
Proses menyadari bahwa saya telah terlalu jauh dalam menyesuaikan diri dengan kelompok adalah langkah pertama dalam melepaskan diri dari shadow loyalty. Saya mulai bertanya kepada diri sendiri: Apakah saya bahagia? Apakah pertemanan ini benar-benar mendukung pertumbuhan pribadi saya? Ataukah saya hanya berusaha mempertahankan sesuatu yang tidak lagi sejalan dengan nilai-nilai saya? Pertanyaan-pertanyaan ini membantu saya memahami bahwa loyalitas yang berlebihan justru bisa berbahaya jika tidak disertai dengan batasan yang sehat.
Setelah menyadari adanya shadow loyalty, saya mulai mengambil langkah untuk melepaskan diri dari jebakan ini. Salah satu hal yang saya lakukan adalah belajar berkata "tidak" dengan tegas, terutama ketika situasi tersebut bertentangan dengan prinsip saya. Pada awalnya, ini bukanlah hal yang mudah. Saya merasa bersalah dan khawatir akan kehilangan teman-teman saya. Namun, seiring waktu, saya menyadari bahwa berkata "tidak" bukan berarti saya adalah teman yang buruk. Sebaliknya, ini adalah cara saya menjaga integritas diri.
Saya juga mulai membangun kembali rasa percaya diri dengan lebih mendengarkan kebutuhan dan keinginan pribadi saya. Saya mulai mengevaluasi hubungan-hubungan yang ada dalam hidup saya. Apakah hubungan ini mendukung pertumbuhan saya, ataukah justru membuat saya merasa terjebak? Dengan pertanyaan-pertanyaan ini, saya belajar untuk lebih selektif dalam membangun hubungan pertemanan yang sehat dan saling mendukung.
Selain itu, saya menyadari bahwa persahabatan yang sejati tidak menuntut kesetiaan buta. Teman yang baik akan menghargai pendapat dan perbedaan kita, bukan memaksakan kesamaan. Ini adalah pelajaran penting yang saya ambil dari pengalaman tersebut. Saya mulai menilai persahabatan dari seberapa besar mereka memberi ruang bagi saya untuk menjadi diri saya yang autentik, bukan dari seberapa sering saya setuju atau menyesuaikan diri.
Pengalaman saya dalam menghadapi shadow loyalty selama masa sekolah memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara loyalitas dan jati diri. Loyalitas adalah kualitas yang baik, tetapi ketika kesetiaan ini terlalu berlebihan dan melampaui batas pribadi, kita berisiko kehilangan identitas diri. Pertemanan yang sehat adalah pertemanan yang memungkinkan setiap individu untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan nilai-nilai mereka sendiri, tanpa harus mengorbankan jati diri demi keharmonisan kelompok.
Shadow loyalty mengajarkan bahwa loyalitas tidak harus berarti selalu mengikuti arus. Sebaliknya, loyalitas sejati adalah ketika kita dapat tetap menjadi diri sendiri, bahkan ketika berada di tengah pertemanan yang dekat. Teman-teman yang baik tidak akan menuntut kita untuk berubah demi mereka, melainkan akan menerima kita apa adanya. Pada akhirnya, pertemanan yang sehat adalah yang memberikan ruang bagi kita untuk menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri tanpa rasa takut untuk menyuarakan pendapat atau menunjukkan perbedaan.
Biodata Penulis:
Rava Rachmat Sangnerpa, lahir pada tanggal 29 Mei 2005, saat ini aktif sebagai mahasiswa jurusan D4 Keperawatan, di Poltekkes Kemenkes Surakarta.