Jadi diri sendiri itu gimana sih? Susah atau gampang? Pertanyaan itu yang pernah terlintas di pikiran beberapa orang ketika sudah mulai memasuki fase remaja. Bergaul dengan banyak orang tentunya akan menimbulkan tekanan masing-masing karena kita harus menyesuaikan diri dengan lingkungan kita berada. Kalau kata orang tu circle pertemanan bisa mendukung untuk belajar. Tapi nyatanya nggak semua kayak gitu ahaha, contohnya circle dalam circle, ups... bagaimana pun kita bergaul tentunya akan sangat banyak orang dengan karakteristik yang berbeda walaupun kita sudah mengenal secara dekat.
Nggak sedikit para remaja yang berpikir apakah mereka harus mengikuti cara hidup dimana mereka bergaul. Apakah karena mereka salah dalam memilih circle pertemanan? Sebenarnya belum tentu juga, karena banyak orang yang manis di awal tapi pas udah dekat malah rasanya kayak beda aja gitu. Wajarlah manusia kalau belum terlalu kenal pasti sikap jeleknya ditutupin, namanya juga menjaga images. Makanya kalau milih teman emang harus hati-hati dan selektif banget, nggak sekadar biar nggak ada toxic relationship tapi ya jangka panjangnya ngaruh ke mental kita juga.
Dijauhin Orang Se-nggak-enak Itu Ya?
Waktu aku SMA, terutama pas kelas 10, aku sempat ngalamin hal kayak gini. Dijauhin sama teman kelas terutama yang laki-laki. Sebenarnya bukan yang ngejauh dan nggak mau berinteraksi, tapi diam-diam mereka ada grup kelas yang isinya laki-laki tapi aku nggak masuk ke grup itu. Ada satu temanku juga laki-laki yang nggak masuk ke grup itu, jadi rasanya kayak kami berdua dijauhin sama mereka. Ya siapa yang nggak kepo juga, masa kami aja yang nggak masuk ke grup itu. Kelas 10 benar-benar jadi masa aku harus beradaptasi dengan lingkungan ini sih, ya kadang kepikiran tapi harus dituntut kuat juga di kelas biar bisa fokus sama pelajaran.
Seiring berjalannya waktu, kami berdua diam-diam nyari tau apa sih alasannya mereka nggak mau ngundang kami ke grup itu. Ternyata mereka nggak mau ngundang kami ke grup itu karena kami sudah ada circle pertemanan tersendiri dengan perempuan. Ya benar sih, cuma apa salahnya bergaul dengan perempuan? Selama kami bergaul dengan tahu batasan ya it’s oke, kan? Mereka juga mikir kalau kami masuk ke grup itu, nanti kami bakalan jadi mata-mata. Ya ampun, mikirnya sampai segitunya ya ahaha. Tapi FYI aja, di kelasku itu emang perempuan sama laki-lakinya kayak ada sekat gitu, jadi mereka nggak bisa yang satu melebur berbaur gitu, cuma aku sama temanku laki-laki ini aja yang bisa bergaul dengan siapa aja. Tapi ya minusnya itu, kadang nggak dianggap.
Cara Ngatasinnya Gimana?
Karena untungnya kami berdua dulunya satu SMP jadi sudah kenal dekat juga, aku ngerasa tetap ada teman di kelas walaupun situasinya kayak gitu. Kami sempat overthinking gimana kalau ke depannya di kelas kayak ngerasa makin dijauhin sama mereka, padahal mungkin mereka nggak ada niatan sejahat itu ya, tapi orang mana coba yang nggak kepikiran. Jadi ya kami mikir-mikir gimana kalau di SMA ini aktif ikut kegiatan atau organisasi aja, selain nggak cuma di kelas doang juga bisa dapat banyak teman di luar kelas karena berinteraksi di kegiatan atau organisasi. Seiring berjalannya waktu, kami memutuskan untuk aktif aja deh di sekolah. Aku ikut eskul PMR, OSIS, sama jadi Dewan Ambalan juga. Kalau temanku ikut ekskul PMR, ekskul pencak silat, sama jadi Dewan Ambalan.
Benar-benar dari situ kami bisa berinteraksi dengan banyak orang, nggak cuma teman-teman di kelas aja. Dan karena hal itulah, akhirnya kami juga nggak terlalu mikirin yang biasanya jadi bahan overthinking di awal kelas 10 ahaha. Ikut kegiatan atau organisasi benar-benar ngebantu banget sih. Selain karena tujuan utama kami untuk menghilangkan ovt, ternyata dengan banyaknya relasi di sekolah juga ngebantu dari segi pendidikan dan ngejar nilai jadi lebih bagus.
Kalau di aku pribadi jadi banyak pengalaman juga dan dapat pembelajaran dari sudut pandang teman-teman di luar kelas. Jadi lebih fleksibel kalau mau tanya-tanya misal ada materi yang kurang paham, dan tentunya bisa jadi kenangan juga kalau besok udah lulus SMA. Dari mulai aktif di sekolah ini, pas kelas 11 aku udah nggak terlalu kepikiran sih tentang teman-teman kelasku itu, ya aku tetap bergaul sama mereka, cuma enggak yang ngemis pengen masuk grup itu karena jujur aku orangnya nggak suka ngemis. Temanan yaudah temanan aja, kalau diajak ya ayo, kalau nggak diajak ya ngga apa-apa. Dari sini aku belajar bahwa jangan takut kalau ngerasa dijauhi teman, apalagi teman kelas. Coba deh cari solusi yang bisa ngebantu fokus kita untuk tetap bisa fokus di kelas.
Akhirnya sampai kelas 12, kami berdua bisa bergaul dengan santai dengan teman kelas dan udah nggak mikirin masalah grup itu lagi. Lagian juga udah mau lulus masa iya masih kepikiran hal kayak gitu lagi, teman-teman kelas juga masih wellcome kalau kami bergaul sama mereka. Akhirnya di kelas 12 kami udah lumayan solid juga, sering main bareng dan menciptakan momen-momen sebelum meninggalkan bangku SMA. Jadi sedih ya ahaha...
Menurutku tetap jadi diri sendiri aja ya teman-teman, nggak apa-apa mungkin kalian jadi ngerasa dijauhin. Karena menurutku kesehatan mental kita tetap nomer satu, lakukan apa aja yang menurut teman-teman nyaman dan enjoy untuk dilakukan, teman itu nantinya tetap ada dan datang, jadi kita juga nggak merasa sendiri di dunia ini. Cari-cari lingkup pertemanan memang oke tapi balik lagi ke diri kita sendiri, kalau emang nggak sanggup ya jangan takut untuk cut-off pertemanan karena dampaknya bisa ke jangka panjang. Aku udah ngalamin fase-fase yang berat ketika SMA dan sekarang saatnya survive di dunia perkuliahan ahaha...
Biodata Penulis:
Benedhictus Kevin Doni Brillian Everest lahir pada tanggal 3 Juni 2006 di Surakarta. Saat ini, laki-laki yang biasa dipanggil Kevin ini, aktif sebagai Mahasiswa Informatika di Universitas Sebelas Maret.