Syahid di Tengah Samsara
Mereka seperti lahir dari rahim samsar
hingga kedap dengan luka yang tak putus
tak lagi mengeluh saat luka tak henti alirkan darah
hati dan tubuh serupa mati rasa
meski jantung masih berdetak pun napas masih berembus
Mereka seolah hidup di atas bara
hingga tak lagi takut jadi abu saat api menyambar
hanya tatap nanar menelan nestapa
air mata pun telah kering di gurun-gurun penderitaan
Dan kau, tuan-tuan terhormat
lagakmu bak penguasa semesta
kau hunjam mereka dengan sangkur-sangkur ketamakan
kau bantai dengan pedang-pedang keserakahan
kau panah dengan busur-busur keangkuhan
nurani seperti mati suri
tak sedikit pun sisakan rasa iba
Di bawah lorong-lorong tirani
mereka sembunyi dari pelor-pelor yang memburu
lari dari hujan mesiu yang tak henti menderu
dan dipaksa berhenti ketika kawanan balistik menghantam
Mungkin mereka telah menghibahkan segal yang dimiliki
untuk sebuan syahid di jalan-Nya
sebab selalu ada senyum di setiap kehilangan yang menghampiri
Terkadang terbesi tanya di benak, barata di Palestina takdir? atau ujian bagi durjana pembawa petaka?
Magelang, 6 Oktober 2024
Analisis Puisi:
Puisi "Syahid di Tengah Samsara" karya Endang Ary Hs menawarkan refleksi mendalam tentang penderitaan manusia yang terjebak dalam siklus samsara—konsep penderitaan berulang dalam filosofi timur. Melalui bait-baitnya, Endang Ary Hs mengangkat realitas yang dialami oleh mereka yang berada dalam lingkaran penderitaan tanpa akhir, sekaligus mengkritik para penguasa yang memperparah situasi ini.
Gambaran Penderitaan yang Mendalam
Puisi ini dibuka dengan penggambaran manusia yang seolah-olah lahir dari rahim samsara, terjebak dalam luka yang tak kunjung sembuh. Mereka, "kedap dengan luka yang tak putus," menunjukkan betapa penderitaan telah menjadi bagian dari hidup mereka, begitu akrab hingga mereka kehilangan kemampuan untuk mengeluh. Hati dan tubuh mereka "serupa mati rasa," mencerminkan sebuah kebiasaan terhadap penderitaan yang begitu mendalam hingga rasa sakit pun tak lagi terasa sebagai penderitaan.
Sikap Pasrah dan Kehilangan Rasa Takut
Dalam puisi ini, ada sisi yang menggambarkan pasrah terhadap penderitaan: “Mereka seolah hidup di atas bara, hingga tak lagi takut jadi abu saat api menyambar.” Metafora bara dan api ini melambangkan ujian hidup yang terus-menerus menghampiri mereka. Mereka memilih untuk menghadapi takdir tersebut dengan tatapan nanar, bahkan air mata mereka "telah kering di gurun-gurun penderitaan," yang menggambarkan betapa beratnya beban yang ditanggung.
Kritik terhadap Penguasa yang Kejam
Endang Ary Hs mengarahkan kritik tajam kepada “tuan-tuan terhormat” yang berlagak seperti penguasa semesta. Mereka ini dilukiskan sebagai pihak yang menyebarkan ketidakadilan dan penderitaan dengan "sangkur-sangkur ketamakan," "pedang-pedang keserakahan," dan "busur-busur keangkuhan." Penggunaan kata-kata seperti "sangkur," "pedang," dan "busur" menegaskan kekerasan yang mereka lakukan, sedangkan "nurani seperti mati suri" menunjukkan ketidakpedulian mereka terhadap penderitaan orang lain.
Perjuangan di Bawah Tirani
Bagian lain dari puisi ini menggambarkan situasi korban yang bersembunyi dari kekerasan yang datang bertubi-tubi. Mereka terpaksa menghadapi "pelor-pelor yang memburu" dan "hujan mesiu yang tak henti menderu." Dalam kondisi seperti ini, perjuangan mereka terlihat tak ada ujungnya, dan mereka hanya bisa bertahan sampai takdir memutuskan untuk menghentikan penderitaan mereka.
Makna Syahid dan Harapan yang Abadi
Meskipun penuh dengan kesan kelam, puisi ini memberikan harapan pada bagian akhirnya. Endang Ary Hs menggambarkan senyum yang tetap ada dalam setiap kehilangan, menandakan adanya harapan di balik kesulitan. Mereka yang “menghibahkan segalanya” dianggap menuju jalan syahid, sebuah pengorbanan dalam mencapai kemuliaan di jalan Tuhan. Syahid bukan sekadar kematian, tetapi kemuliaan dalam penderitaan yang diterima dengan lapang dada.
Refleksi atas Kondisi di Palestina
Puisi ini juga menyiratkan referensi tentang Palestina, tempat di mana konflik berkepanjangan terjadi dan banyak nyawa melayang. Melalui kata-kata “barata di Palestina takdir?” Endang Ary Hs mempertanyakan apakah penderitaan yang dialami bangsa tersebut adalah bagian dari takdir atau hasil dari kezaliman manusia. Ini merupakan pertanyaan terbuka yang merangsang pembaca untuk merenungkan ketidakadilan yang terjadi.
Puisi "Syahid di Tengah Samsara" adalah potret dari kondisi manusia yang terperangkap dalam lingkaran penderitaan, namun tetap memiliki harapan dan pengorbanan yang dilandasi keyakinan spiritual. Endang Ary Hs tidak hanya menggambarkan penderitaan, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan sikap para penguasa yang acuh tak acuh terhadap penderitaan tersebut. Dengan metafora yang kaya dan penggambaran yang tajam, puisi ini menjadi seruan untuk lebih peduli terhadap mereka yang hidup dalam derita, sekaligus refleksi tentang arti pengorbanan dan kemuliaan yang tersembunyi di dalamnya.
Puisi: Syahid di Tengah Samsara
Karya: Endang Ary Hs
Biodata Endang Ary Hs:
Endang Ary Hs, lahir pada 14 Januari 1973 di Bandung, Jawa Barat. Mulai sejak di bangku Sekolah Dasar, karya-karyanya dimuat di beberapa komunitas sastra online, Yang Terpendam, Kamu dan Kenangan (Negeri Puisi, 2021), Monolog Rasa (Komunitas Puisi Indonesia, 2021), Saat Semua Tinggal Kenangan, Senja Menjemput Malam, Di Ambang Patah, Elegi di Balik Diorama (Residen Ssstra, Jejak Masa Lalu (Komunitas Kembang Rampai Bali, 2024), Harmoni Jiwa dan Semesta, Elegi Penari (Competer Indonesia, 2024), Cukup, Diam, Waktu, Sepi (Sanggam.id, 2024). Terangkum dalam beberapa antologi bersama: Kita di Antara Titik (J-Maestro, 2021), Kata Rasa Sirna (Parade Kata, 2023), Sabda Haranika (Pijar Pendar 2023), Nada dan Narasi (Setia Media, 2024), Suara Terbungkam Kata (EBiZ Publisher, 2024) dan buku solo Pupus (Sunrise Maple Media, 2024). Saat ini aktif berpuisi di Asqa Imagination School (AIS), bagi yang suka berselancar di dunia maya bisa singgah di Instagram @_pelangiaksara.