Pesta Para Malam
dari tanah jam 24
aku naik tangga - ke langit
memahatkan jasad
di diam bulan
sungai nanah ngalir
tak awan
tak pelangi
hanyut kubur-kubur sunyi
ruhku pedih
di lembah langit
hantu nyeret mayat
angin ungu mendengus
dan mimpi pun terbang
tak kupu-kupu
tak sayap mawar - Ibu
darah bayi
nikmat segar!
Solo, 1980
Sumber: Horison (Juli, 1981)
Analisis Puisi:
Puisi "Pesta Para Malam" karya Kriapur menawarkan eksplorasi yang mendalam tentang tema kegelapan, kehilangan, dan pengalaman spiritual yang kuat. Melalui penggunaan imaji yang mencolok dan simbolisme yang kompleks, puisi ini menggambarkan pergeseran dari realitas duniawi menuju kedalaman emosi dan pengalaman yang lebih suram.
Naik ke Langit: Pencarian Makna
Puisi dimulai dengan pernyataan "dari tanah jam 24, aku naik tangga - ke langit." Kalimat ini menciptakan gambaran tentang perjalanan dari dunia fisik menuju sesuatu yang lebih tinggi dan spiritual. Waktu yang dinyatakan sebagai "jam 24" mencerminkan malam, waktu ketika banyak pertanyaan dan refleksi muncul. Tindakan "naik tangga" dapat diartikan sebagai usaha untuk meninggalkan dunia nyata dan mencari makna atau pemahaman yang lebih dalam.
Memahat Jasad di Diam Bulan
Pernyataan "memahatkan jasad di diam bulan" mengandung makna yang dalam dan misterius. Di sini, bulan menjadi simbol keheningan dan kedamaian, di mana penulis berusaha meninggalkan jejak atau kenangan dari jasad yang ditinggalkan. Ini dapat dilihat sebagai penggambaran tentang bagaimana kita berinteraksi dengan ingatan dan kehilangan, di mana jasad yang dimaksud mungkin merujuk pada seseorang yang telah tiada atau bagian dari diri penulis sendiri.
Aliran Nanah dan Kubur Sunyi
Selanjutnya, Kriapur menuliskan, "sungai nanah ngalir, tak awan, tak pelangi, hanyut kubur-kubur sunyi." Kalimat ini menggambarkan aliran sesuatu yang kotor dan menyakitkan, dengan "nanah" yang menggambarkan rasa sakit dan penderitaan. Ketidakadaan "awan" dan "pelangi" menunjukkan bahwa tidak ada harapan atau keindahan yang menyertai perasaan ini. "Hanyut kubur-kubur sunyi" menekankan kesunyian yang mendalam, di mana kenangan akan orang yang telah tiada mungkin tidak pernah bisa dihapuskan.
Pedihnya Kehidupan
Berikutnya, "ruhku pedih," penulis menyatakan rasa sakit yang dialaminya. Ungkapan ini mencerminkan kesedihan yang dalam dan beban emosional yang dibawa oleh penulis, menggambarkan bagaimana kehilangan dapat menghantui kehidupan seseorang. Ini adalah pengakuan yang kuat terhadap dampak dari pengalaman hidup yang menyakitkan.
Hantu, Angin Ungu, dan Mimisan Mimpi
Kriapur melanjutkan dengan "di lembah langit, hantu nyeret mayat." Kalimat ini menciptakan nuansa misteri dan ketidakpastian, di mana "hantu" menggambarkan kenangan yang tidak bisa dilupakan. "Angin ungu mendengus" menambahkan elemen keindahan yang gelap, menciptakan suasana yang melankolis. Dalam konteks ini, "mimpi pun terbang, tak kupu-kupu, tak sayap mawar - Ibu" menunjukkan bahwa harapan dan keindahan tidak lagi ada, menggantikan harapan dengan sesuatu yang lebih suram. Penyebutan "Ibu" di sini mungkin merujuk pada sosok yang paling dekat dan berharga dalam hidup penulis, yang menambah kedalaman emosional dari puisi ini.
Nikmat Segar dari Darah Bayi
Akhir puisi diakhiri dengan kalimat "darah bayi, nikmat segar!" yang mengejutkan dan mengusik. Penyebutan "darah bayi" bisa diartikan sebagai simbol dari kehidupan baru, harapan, dan potensi. Namun, di konteks puisi ini, "nikmat segar" mungkin menunjukkan bahwa meskipun ada kehadiran kehidupan baru, ia tetap terjalin dengan rasa sakit dan kehilangan yang mendalam. Ini menciptakan kontras antara keindahan dan kegelapan, mengingatkan pembaca bahwa kehidupan sering kali merupakan perpaduan dari pengalaman yang baik dan buruk.
Puisi "Pesta Para Malam" karya Kriapur adalah sebuah karya yang menggambarkan perjalanan emosional yang dalam tentang kehilangan, kegelapan, dan pencarian makna. Melalui penggunaan imaji yang kuat dan simbolisme yang kompleks, Kriapur mengajak pembaca untuk merenungkan tentang pengalaman hidup yang menyakitkan dan bagaimana kita berinteraksi dengan kenangan dan kehilangan. Puisi ini menunjukkan bahwa dalam kegelapan dan kesedihan, masih ada ruang untuk mencari makna dan memahami keberadaan kita, meskipun proses tersebut sering kali sulit dan penuh tantangan.
Karya: Kriapur
Biodata Kriapur:
- Kriapur (akronim dari Kristianto Agus Purnomo) lahir pada tahun 1959 di Solo.
- Kriapur meninggal dunia pada tanggal 17 Februari 1987 dalam sebuah kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Batang, Pekalongan, Jawa tengah.