Pedhut
pedhut ing setasiun leiden
munggah ing pucuk-pucuke cemarane ati
si nonik mesem uluk salam kangen:
- aja wedi,
yen ditutup lawange ati
gusti bakal ngengakake jendhelane pethi
pedhut ing setasiun leiden
mrambat ing cangklakan lan lakangku
pedhut getihe wong urip
nggaler ing temboke kreta mlaku
terus, terus, grumut
sulaking teja sumunar
cumlorot ing godhong mublak mekar
Jayabaya, 1984
Sumber: Antologi Puisi Jawa Modern Jawa Timur 1981-2008 (2011)
Analisis Puisi:
Puisi "Pedhut" karya Suripan Sadi Hutomo menawarkan pandangan yang mendalam mengenai perjalanan batin dan makna kerinduan yang terbungkus dalam simbolisme kabut. Ditulis dalam bahasa Jawa, puisi ini menghadirkan pengalaman yang terikat oleh ruang dan waktu, yaitu sebuah setasiun di Leiden, Belanda, tetapi pada saat yang sama penuh dengan refleksi batin yang universal.
Pengantar: Simbolisme Kabut (Pedhut)
Kata "pedhut" dalam bahasa Jawa berarti "kabut." Kabut sering kali dilihat sebagai simbol ambiguitas, ketidakjelasan, atau perasaan yang tidak terucapkan. Dalam konteks puisi ini, kabut mengaburkan, tetapi juga membimbing perasaan seseorang saat berada di setasiun Leiden, yang menggambarkan pertemuan atau perpisahan, serta perjalanan fisik maupun emosional.
pedhut ing setasiun leidenmunggah ing pucuk-pucuke cemarane atisi nonik mesem uluk salam kangen:- aja wedi,yen ditutup lawange atigusti bakal ngengakake jendhelane pethi
Kabut yang menyelimuti setasiun Leiden merambat hingga ke "pucuk-pucuke cemarane ati" (puncak keresahan hati). Gambaran ini mengisyaratkan bahwa kabut tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga menyelimuti batin seseorang yang merindukan atau menghadapi kegelisahan hati. Si "nonik" yang tersenyum dan menyampaikan salam kangen merupakan karakter yang menghubungkan antara dunia batin dan fisik, menciptakan rasa nyaman dengan kata-kata "aja wedi" (jangan takut), memberikan harapan bahwa walau pintu hati mungkin tertutup, Tuhan akan membuka jendela pethi (peti/harapan).
Representasi Kehidupan dalam Kabut
pedhut ing setasiun leidenmrambat ing cangklakan lan lakangkupedhut getihe wong uripnggaler ing temboke kreta mlakuterus, terus, grumut
Di sini, pedhut (kabut) mengambil bentuk yang lebih mendalam, menyelimuti kehidupan secara keseluruhan ("getihe wong urip" - darah kehidupan manusia). Kabut ini bergerak perlahan di sepanjang kereta yang berjalan, seolah mewakili perjalanan hidup yang terus bergerak maju meskipun ada ambiguitas atau ketidakpastian. Kata "grumut" menekankan gerakan lambat namun pasti, menggambarkan betapa kabut mengiringi setiap langkah perjalanan hidup.
Cahaya Harapan dan Kebangkitan
sulaking teja sumunarcumlorot ing godhong mublak mekar
Menawarkan cahaya harapan setelah perjalanan di tengah kabut. "Sulaking teja sumunar" (cahaya bersinar terang) menjadi simbol kebangkitan dan kesadaran yang muncul setelah perjalanan panjang di bawah kabut. "Godhong mublak mekar" menggambarkan dedaunan yang mekar setelah diterangi cahaya, menciptakan gambaran kebangkitan baru dan kelahiran kembali setelah melalui masa-masa sulit.
Eksistensi, Harapan, dan Refleksi Batin
Puisi ini dengan indah menggambarkan kehidupan sebagai perjalanan di tengah kabut yang menutupi jalan. Kabut yang ada di setasiun Leiden menjadi metafora bagi perasaan, kebingungan, dan pencarian makna yang dialami seseorang dalam hidupnya. Namun, melalui ketidakpastian tersebut, ada harapan dan jaminan bahwa meskipun satu pintu tertutup, jendela lain akan terbuka.
Puisi "Pedhut" karya Suripan Sadi Hutomo mencerminkan renungan mendalam tentang eksistensi manusia, kerinduan, dan harapan yang tersirat di balik ketidakpastian. Puisi ini menunjukkan bahwa meskipun kabut kehidupan seringkali mengaburkan pandangan, selalu ada cahaya yang siap menerangi perjalanan kita menuju pemahaman yang lebih dalam.
Karya: Suripan Sadi Hutomo
Biodata Suripan Sadi Hutomo:
- Suripan Sadi Hutomo lahir pada tanggal 5 Februari 1940 di Ngawen, Blora.
- Suripan Sadi Hutomo meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 2001 di Surabaya.