Puisi: Nyatanya Aku Tak Tahu Cara Melupakanmu (Karya Firman Fadilah)

Puisi "Nyatanya Aku Tak Tahu Cara Melupakanmu" karya Firman Fadilah menggambarkan perasaan kehilangan dan kerinduan yang tak dapat dihilangkan, ...
Nyatanya
Aku Tak Tahu
Cara Melupakanmu

Nyatanya aku tak tahu
di sela hujan yang jatuh perlahan
atau di celah sunyi malam yang merayap,
namamu tetap saja mengalir
menggenang dalam ingatan

Sudah kucoba segala cara
melipat kenangan menjadi abu
menenggelamkan bayangmu dalam laut waktu
atau menghapus jejak jemarimu dari benda-benda
Namun setiap kali mata terpejam
kau kembali, menjelma mimpi 

Aku tak tahu caranya
mengurai benang yang pernah terjalin rapi
atau menepis detak yang berbisik
sebab nyatanya hatiku masih merindu
meski jarak telah menjadi dinding bisu

Bagaimana mungkin kulupakan?
saat tawamu masih menggema di ruang kosong
dan suaramu masih tertinggal di antara hembusan angin
aku berjalan, berpura-pura lupa
tapi nyatanya, aku tak tahu cara melupakanmu

Lampung, Oktober 2024

Analisis Puisi:

Puisi "Nyatanya Aku Tak Tahu Cara Melupakanmu" karya Firman Fadilah adalah sebuah eksplorasi tentang kenangan, cinta, dan upaya yang tak kunjung berhasil dalam melupakan seseorang. Melalui baris-baris yang penuh emosi, Firman Fadilah menggambarkan perasaan kehilangan dan kerinduan yang tak dapat dihilangkan, meskipun waktu telah berlalu dan jarak memisahkan.

Melawan Kenangan yang Menghantui

Puisi ini dibuka dengan pengakuan yang jujur: "Nyatanya aku tak tahu / di sela hujan yang jatuh perlahan / atau di celah sunyi malam yang merayap." Pada bagian ini, penulis menggambarkan suasana yang sendu, di mana hujan dan malam menjadi simbol dari perasaan hampa dan kesepian. Meskipun demikian, nama seseorang yang pernah dicintai tetap mengalir dalam ingatan, menandakan bahwa upaya melupakan hanya berujung pada kegagalan.

Upaya yang Sia-Sia dalam Melupakan

Penulis melukiskan berbagai cara yang telah dicoba untuk melupakan—"melipat kenangan menjadi abu" dan "menenggelamkan bayangmu dalam laut waktu"—namun semuanya berakhir sia-sia. Metafora ini menggambarkan upaya keras untuk menghapus jejak masa lalu, namun bayangan sang mantan tetap hadir dalam ingatan dan mimpi. Setiap usaha untuk memutuskan kenangan justru memperkuat keberadaan bayangan tersebut dalam benak.

Kerinduan yang Tak Terucap

Bagian lain dari puisi ini mengungkapkan betapa dalamnya kerinduan yang dirasakan, meski terhalang oleh jarak: "sebab nyatanya hatiku masih merindu / meski jarak telah menjadi dinding bisu." Di sini, Firman Fadilah menggambarkan dinding jarak sebagai penghalang yang tidak dapat ditembus, tetapi perasaan cinta tetap bertahan, tidak peduli seberapa keras upaya untuk berpura-pura lupa.

Ketidakmungkinan untuk Melupakan

Pertanyaan retoris "Bagaimana mungkin kulupakan?" menjadi inti dari keseluruhan puisi. Meskipun penulis berusaha melupakan, suara dan tawa dari masa lalu tetap bergema dalam ingatannya, menunjukkan betapa sulitnya menghapus jejak emosional seseorang yang pernah begitu berarti. "Aku berjalan, berpura-pura lupa / tapi nyatanya, aku tak tahu cara melupakanmu" menyimpulkan ketidakberdayaan dan ketulusan dalam menghadapi kenyataan bahwa melupakan bukanlah hal yang mudah.

Puisi "Nyatanya Aku Tak Tahu Cara Melupakanmu" karya Firman Fadilah menghadirkan potret kerinduan yang mendalam, di mana kenangan yang membekas terus menghantui meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk melupakan. Dengan bahasa yang sederhana namun penuh makna, Firman Fadilah berhasil menggambarkan perjuangan batin yang dihadapi seseorang ketika harus menerima kenyataan bahwa perasaan cinta tidak dapat dihapus begitu saja. Melalui puisi ini, pembaca diajak untuk merenungkan betapa kuatnya pengaruh kenangan dalam hidup seseorang, dan bagaimana perasaan cinta dapat bertahan meskipun segala cara untuk melupakannya telah dicoba.

Firman Fadilah
Puisi: Nyatanya Aku Tak Tahu Cara Melupakanmu
Karya: Firman Fadilah

Biodata Firman Fadilah:
  • Firman Fadilah tinggal di Tanggamus, Lampung. Ia suka menulis dan membaca. Karya tulisnya tayang di berbagai media cetak dan daring.
© Sepenuhnya. All rights reserved.