Puisi: Luka di Mana-Mana (Karya Kriapur)

Puisi "Luka di Mana-Mana" karya Kriapur menyajikan gambaran yang mendalam tentang luka emosional, kesedihan, dan pengalaman hidup yang penuh ...
Luka di Mana-Mana

luka di mana-mana
di sosok langit
di cadar waktu
di rumput-rumput kabut
rumah yang menunggu
dan lenyap pada jam larut
membekaskan beban
di pohon-pohon hidup

siapakah yang menamakanmu bunga
meletakkan api ranjang
di atas api ranjang
di atas daun dan puncak
gelisah bara
dan sepatu yang memberat
tanah telah meniup
seperti rama-rama berenang
di angin malam

kuturut padamu
maut bersama mimpi
dan gerimis mengasah ketakutan
di tengah gelap dan kilatan
sunyi
embun juga seperti firman
menyeberang matahari
dan hari-hari berlumur
putus asa

kuturut padamu
suara hujan di luar malam
bayang-bayangmu yang tajam
menancap di ulu tidurku
lalu menggeram

Solo, 1983

Sumber: Horison (Januari, 1988)

Analisis Puisi:

Puisi "Luka di Mana-Mana" karya Kriapur menyajikan gambaran yang mendalam tentang luka emosional, kesedihan, dan pengalaman hidup yang penuh ketidakpastian. Dengan penggunaan imaji yang kuat dan simbolisme yang kaya, puisi ini mengajak pembaca untuk meresapi pengalaman hidup yang penuh dengan tantangan dan kehilangan.

Gambaran Luka dan Kehidupan

Puisi ini dibuka dengan pernyataan yang menggugah: "luka di mana-mana." Frasa ini menciptakan kesan bahwa luka bukan hanya fisik, tetapi juga emosional dan spiritual. Dengan menggambarkan luka yang terdapat "di sosok langit, di cadar waktu," Kriapur menekankan betapa meluasnya dampak dari kesedihan dan penderitaan. Langit dan waktu sering kali dipandang sebagai simbol harapan dan kemungkinan, tetapi di sini, keduanya juga mengandung luka yang mendalam, menciptakan ketegangan antara keindahan dan kesakitan.

Ruang yang Menunggu

Pernyataan "di rumput-rumput kabut, rumah yang menunggu dan lenyap pada jam larut" mengisyaratkan ruang yang penuh dengan nostalgia dan kerinduan. Rumput dan kabut melambangkan keindahan yang samar, sedangkan rumah yang menunggu menciptakan citra tentang harapan yang tak terjawab. Ketika rumah tersebut "lenyap pada jam larut," ada kesan bahwa waktu membawa pergi harapan dan kenangan yang mungkin tidak akan kembali.

Pertanyaan Retoris dan Simbolisme Bunga

Kriapur melanjutkan dengan pertanyaan, "siapakah yang menamakanmu bunga?" yang menunjukkan kebingungan dan keterasingan penulis terhadap keindahan yang ada di sekitarnya. Bunga, yang sering kali dianggap simbol keindahan dan cinta, di sini diasosiasikan dengan "api ranjang." Kontras ini menciptakan ketegangan antara keindahan dan kesakitan, seolah-olah penulis mempertanyakan makna sejati dari keindahan tersebut ketika ia disertai oleh penderitaan.

Ketidakpastian dan Kegelisahan

Dengan menyebutkan "gelisah bara," puisi ini melanjutkan tema ketidakpastian. Bara yang membara menyimbolkan kecemasan dan rasa sakit yang mengintai, sedangkan "sepatu yang memberat" menandakan beban emosional yang harus dipikul. Penulis menggambarkan tanah yang "telah meniup," menciptakan gambaran tentang waktu yang terus bergerak, sementara individu tetap terjebak dalam pengalaman mereka.

Maut dan Mimpi

Ketika penulis menyatakan, "kuturut padamu maut bersama mimpi," ada nuansa penerimaan terhadap ketidakpastian dan kesedihan. Maut dan mimpi sering kali beriringan dalam kehidupan, mencerminkan siklus kehilangan dan harapan. "Gerimis mengasah ketakutan di tengah gelap dan kilatan sunyi" menunjukkan bagaimana ketakutan dapat menghalangi cahaya harapan, menciptakan suasana yang menyesakkan.

Embun sebagai Firman

Penulis menyebutkan bahwa "embun juga seperti firman," mengisyaratkan bahwa ada pesan dalam setiap tetes embun. Dalam konteks ini, embun dapat dianggap sebagai simbol kehidupan dan harapan, yang meskipun halus dan tak terlihat, tetap memberikan nuansa segar di tengah kesedihan. Ketika penulis menggambarkan "hari-hari berlumur putus asa," ada pengakuan akan kenyataan bahwa meskipun ada harapan, ada juga saat-saat sulit yang harus dihadapi.

Suara Hujan dan Bayangan

Di bagian akhir puisi, penulis menegaskan "kuturut padamu suara hujan di luar malam," mengisyaratkan bagaimana suara hujan menjadi teman dalam kesunyian. Hujan sering kali melambangkan kesedihan, tetapi di sini, suara hujan juga menciptakan perasaan kedamaian. Namun, bayang-bayang yang "tajam menancap di ulu tidurku" menunjukkan bagaimana kesedihan dan trauma dapat mengganggu ketenangan, menciptakan rasa ketidakpastian yang terus menghantui.

Puisi "Luka di Mana-Mana" karya Kriapur adalah karya yang mendalam dan reflektif, mengeksplorasi tema kesedihan, kehilangan, dan ketidakpastian. Melalui gambaran yang kuat dan simbolisme yang kaya, penulis mengajak pembaca untuk merenungkan pengalaman hidup yang kompleks dan sering kali menyakitkan. Kriapur berhasil menciptakan suasana yang menggugah emosi, membimbing pembaca untuk memahami betapa luka dan harapan dapat hidup berdampingan dalam perjalanan kehidupan. Puisi ini tidak hanya mencerminkan kerinduan akan keindahan dan kehidupan, tetapi juga penerimaan terhadap realitas yang penuh dengan luka dan ketidakpastian.

Puisi: Luka di Mana-Mana
Puisi: Luka di Mana-Mana
Karya: Kriapur

Biodata Kriapur:
  • Kriapur (akronim dari Kristianto Agus Purnomo) lahir pada tahun 1959 di Solo.
  • Kriapur meninggal dunia pada tanggal 17 Februari 1987 dalam sebuah kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Batang, Pekalongan, Jawa tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.