Kepada Pattimura
kala tali gantungan erat menjerat
gagang lehermu, senyum cantik kemerdekaan
menyingsing dari bibirmu
o, hembusan napasmu, tak ada arti
letusan ngeri gunung berapi
angkatan demi angkatan boleh bersilih
tapi parangmu
dan tiang gantunganmu
tak terlupakan
dahagamu dihargai para ahli waris
yang mengenal nilai-nilai kesopanan
kesopanan yang sepintas pantas menetaskan
perang
kaulihat sendiri, Pattimura!
sekitar tahun empat lima dan enam lima
anak-anakmu menyusulmu
tapi musuhmu jatuh tersungkur
kini
tinggal hatimu yang gemerlapan
dalam bahasa lampu neon di kota-kota
dan tunggu! nanti kan sampai juga ke desa-desa
biarlah nanti
pada tiap dinding rumah para pemanjat pohon
siwalan
di ujung timur pulau Madura
dipasang gambarmu yang memegang parang
saat ini mereka belum mengenalmu
tapi senyummu
sudah kulihat bermekaran pada bibir-bibir mereka
senyuman tanah air yang begitu indah
1967
Sumber: Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996)
Analisis Puisi:
Puisi "Kepada Pattimura" karya D. Zawawi Imron merupakan penghormatan yang mendalam kepada pahlawan nasional Indonesia, Thomas Matulessy, yang lebih dikenal sebagai Pattimura. Dalam puisi ini, Zawawi menggambarkan ketegangan antara kematian dan warisan perjuangan, sambil menciptakan citra yang kuat tentang keberanian, kesetiaan, dan semangat juang yang tak pernah pudar. Melalui bahasa yang puitis dan simbolisme yang kaya, puisi ini menyoroti makna perjuangan Pattimura dan pengaruhnya terhadap generasi mendatang.
Pembukaan dengan Kematian dan Kemerdekaan
Di pembuka puisi, Zawawi langsung menghadirkan gambaran yang dramatis:
"kala tali gantungan erat menjerat / gagang lehermu, senyum cantik kemerdekaan / menyingsing dari bibirmu"
Frasa "tali gantungan" menciptakan kesan tragis dari kematian Pattimura, yang terhukum mati karena perjuangannya melawan penjajahan. Meskipun demikian, "senyum cantik kemerdekaan" menunjukkan bahwa meskipun ia kehilangan nyawanya, semangat perjuangannya tetap hidup. Ini menciptakan kesan bahwa kematian Pattimura tidak sia-sia; sebaliknya, ia menjadi simbol bagi generasi selanjutnya yang memperjuangkan kemerdekaan.
Memori dan Warisan
Di bait berikutnya, penyair menyebutkan:
"dahagamu dihargai para ahli waris / yang mengenal nilai-nilai kesopanan"
Di sini, Zawawi menunjukkan bahwa perjuangan Pattimura diakui oleh generasi yang mengikuti, yang menghargai nilai-nilai yang diajarkan. "Dahagamu" bisa diartikan sebagai kerinduan akan kemerdekaan dan keadilan yang diperjuangkan oleh Pattimura, yang kini dihargai oleh generasi penerusnya.
Selanjutnya, penyair menegaskan:
"kaulihat sendiri, Pattimura! / sekitar tahun empat lima dan enam lima / anak-anakmu menyusulmu / tapi musuhmu jatuh tersungkur"
Bait ini mengacu pada berbagai momen penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tahun-tahun tersebut merujuk pada masa-masa penting dalam perjuangan melawan penjajah. Penyair menyiratkan bahwa meskipun Pattimura telah tiada, semangatnya terus menginspirasi anak-anak bangsa untuk melawan penindasan.
Keberlanjutan Warisan
Selanjutnya, penyair menuliskan:
"kini tinggal hatimu yang gemerlapan / dalam bahasa lampu neon di kota-kota"
Pernyataan ini menggambarkan bahwa meskipun Pattimura sudah tiada, semangatnya tetap bersinar di tengah perkembangan zaman. "Bahasa lampu neon" melambangkan modernitas dan perubahan zaman, namun nilai-nilai perjuangan Pattimura tetap relevan. Ini menunjukkan bahwa warisan perjuangan itu terus hidup di antara generasi yang lebih muda.
Simbolisme dan Harapan
Di akhir puisi, Zawawi menyampaikan harapan:
"biarlah nanti / pada tiap dinding rumah para pemanjat pohon / siwalan / di ujung timur pulau Madura / dipasang gambarmu yang memegang parang"
Dengan menyebut "pemanjat pohon siwalan," penyair menunjukkan bahwa Pattimura akan tetap dikenang oleh masyarakat, terutama oleh anak-anak yang masih dalam fase pertumbuhan dan pembelajaran. "Gambarmu yang memegang parang" melambangkan keberanian dan perjuangan, yang akan terus menjadi inspirasi bagi generasi mendatang.
Akhir puisi:
"tapi senyummu / sudah kulihat bermekaran pada bibir-bibir mereka / senyuman tanah air yang begitu indah"
Menggambarkan senyuman Pattimura sebagai simbol harapan dan kebanggaan, Zawawi menunjukkan bahwa semangat cinta tanah air akan terus hidup di antara rakyat Indonesia. Meskipun tantangan masih ada, senyuman tersebut merepresentasikan kekuatan dan ketahanan yang ada di dalam diri bangsa.
Puisi "Kepada Pattimura" adalah penghormatan yang penuh makna terhadap perjuangan seorang pahlawan nasional yang telah mengorbankan segalanya demi kemerdekaan. D. Zawawi Imron berhasil menyampaikan pesan bahwa walaupun Pattimura telah tiada, semangatnya terus hidup dan menginspirasi generasi penerus. Melalui gambaran yang kuat, Zawawi menunjukkan bahwa sejarah dan nilai-nilai perjuangan tetap relevan dalam konteks kehidupan modern, serta menekankan pentingnya mengenang pahlawan sebagai sumber inspirasi dan harapan bagi masa depan. Puisi ini tidak hanya merayakan kemerdekaan, tetapi juga mengingatkan kita akan tanggung jawab untuk meneruskan perjuangan demi keadilan dan kebebasan.
Puisi: Kepada Pattimura
Karya: D. Zawawi Imron
Biodata D. Zawawi Imron:
- D. Zawawi Imron lahir pada tanggal 1 Januari 1945 di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur, Indonesia.