Analisis Puisi:
Puisi "Kepada Hujan" karya Kriapur mengungkapkan nuansa kerinduan, kesedihan, dan pencarian makna yang mendalam melalui gambaran alam yang kuat. Dengan penggunaan imaji yang kaya, puisi ini membawa pembaca melalui perjalanan emosional yang mencerminkan hubungan antara penulis dengan alam, terutama dengan hujan yang menjadi simbol kehidupan dan harapan.
Kura-Kura Sukma Musim
Puisi ini dimulai dengan ungkapan "Kureka sukma musim itu," yang menunjukkan kesadaran penulis terhadap perubahan musim. Kata "sukma" memberikan kesan spiritual, seolah-olah penulis merasakan esensi dari musim yang sedang berlangsung. Melalui frasa "Lewat pantai segala pantai, Hutan segala hutan," Kriapur menggambarkan ruang lingkup yang luas dan mendalam, menciptakan gambaran tentang perjalanan yang melintasi berbagai aspek kehidupan dan alam.
Mengabut Gelisah dan Jejak Hujan
Pernyataan "Mengabut gelisah dan jejak hujan" mengindikasikan bagaimana hujan dapat membawa ketenangan, sekaligus menimbulkan kegelisahan. Hujan di sini berfungsi sebagai simbol dari perasaan yang campur aduk, di mana kehadirannya menidurkan rencana dan mengguncang jiwa. Ada perasaan kerinduan yang dalam terhadap kehadiran hujan, yang membawa harapan dan kehidupan, namun juga rasa cemas tentang apa yang mungkin ditinggalkan atau hilang.
Gemuruh Kegilaan
Kriapur melanjutkan dengan pertanyaan yang mendalam: "Kemanakah gemuruh kegilaanmu?" Pertanyaan ini mencerminkan kerinduan akan sesuatu yang kuat dan berenergi, mungkin merujuk pada kedamaian yang dibawa oleh hujan. Di sini, penulis merasa seolah-olah kehilangan sesuatu yang berharga, dan ada kerinduan untuk menangkap kembali momen-momen indah yang dibawa oleh hujan.
Ketidakmampuan Menangkap Binar Pelabuhan
Pernyataan "Belum kutangkap binar pelabuhan, Gerak ombak dan goncangan" menggambarkan ketidakmampuan penulis untuk menangkap makna atau keindahan dalam perjalanan hidupnya. Pelabuhan seringkali menjadi simbol dari harapan, perjalanan, dan pertemuan. Namun, di sini, ada rasa kehilangan yang mendalam, di mana penulis merasa terputus dari dunia luar, seolah ombak dan goncangan kehidupan bergerak tanpa dapat dijangkau.
Refleksi Kesedihan
Puisi ini kemudian berpindah ke refleksi kesedihan: "Apakah yang terbaring di matamu? Seperti kulihat ruhku tenggelam, Jauh sampai ke dasar." Pertanyaan ini menunjukkan keinginan penulis untuk memahami apa yang terjadi di balik wajah hujan, mungkin mewakili kerinduan untuk mengungkap kedalaman emosi yang disimpan di dalamnya. Ketika penulis merasa "ruhnya tenggelam," ini menggambarkan keadaan terpuruk dan kehilangan harapan, seolah-olah dikelilingi oleh kesedihan yang tak berujung.
Terkapar Pucat
Di bagian akhir puisi, penulis menyatakan, "Aku tinggal sosok kemarau, Terkapar pucat, Di luar jendela lain." Frasa ini menciptakan citra tentang kemarau yang mengindikasikan kekosongan, kesedihan, dan kemandekan. Dengan "di luar jendela lain," ada rasa keterasingan dan perpisahan dari dunia luar, di mana penulis merasa terputus dari kehidupan dan keindahan yang ada.
Puisi "Kepada Hujan" karya Kriapur adalah sebuah karya yang menggugah perasaan, mengeksplorasi tema kerinduan, kesedihan, dan pencarian makna dalam konteks alam. Melalui gambaran hujan sebagai simbol kehidupan, penulis mengajak pembaca untuk merenungkan hubungan kita dengan alam dan bagaimana hal itu mencerminkan perasaan kita terhadap hidup. Puisi ini menunjukkan bahwa meskipun hujan bisa membawa ketenangan, ada juga kegelisahan dan kerinduan yang menyertainya. Kriapur berhasil menciptakan ruang reflektif yang menggugah pembaca untuk memahami lebih dalam tentang perjalanan emosional yang dihadapi dalam hidup ini.
Karya: Kriapur
Biodata Kriapur:
- Kriapur (akronim dari Kristianto Agus Purnomo) lahir pada tahun 1959 di Solo.
- Kriapur meninggal dunia pada tanggal 17 Februari 1987 dalam sebuah kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Batang, Pekalongan, Jawa tengah.