Karangantu
kepadamu ingin kutunjukkan kerasnya hidup
matahari berkali-kali menggelincir dari dekapan
pagi sering terlalu singkat menghampiri
lihatlah deret perahu tertambat, drum-drum kosong
ceceran minyak di dermaga tua, bau bacin
melekat di rumah kumuh. Pasar seperti rimba belukar
penduduk sudah sama-sama bangkrut
mari susuri bentangan jalan ini, aspal berlobang
angkot-angkot tanpa penumpang
lalu-lalang orang, sepi turun dari keluasan langit
yang dulu terang benderang
ingin kutunjukkan kepadamu sisa masa silam
terbenam di laut yang mulai surut. Kanal-kanal bau busuk
tubuh panu dan berdaki, rambut gimpal tak tercukur
urat leher tercekik, perut tipis
kekerasan menyembul dari iga dan tulang pipi
siapakah kehilangan tanah air, hingga di kota
jauh dari jejak kraton, orang-orang turun ke jalan
membentangkan impian, menggadaikan para penduduk
kini kita di sini, seperti tiga anjing kampung
lapar dan galak mengunyah sisa detak
kepadamu, setelah ribuan perih menagih
kusodorkan gambar nyata keluarga
namun jangan kau tulis puisi – kata-katamu
tak akan mengubah gelap laut menjadi biru
2002
Analisis Puisi:
Puisi "Karangantu" karya Moh. Wan Anwar adalah gambaran menyakitkan tentang kerasnya kehidupan di daerah pesisir yang penuh dengan keterbatasan dan kemiskinan. Judul Karangantu merujuk pada sebuah daerah pelabuhan di Banten, yang terkenal dengan sejarah maritimnya namun kini diwarnai oleh degradasi ekonomi dan lingkungan. Anwar menggunakan bahasa yang tajam dan penuh makna untuk menciptakan citra kehidupan yang kasar, penuh perjuangan, dan hampir tanpa harapan di wilayah tersebut.
Kontras antara Masa Lalu dan Masa Kini
Baris-baris awal puisi ini menggambarkan perubahan drastis dari masa lalu yang berkemakmuran menuju kondisi yang penuh keterbatasan di masa kini. Anwar menuliskan bahwa “matahari berkali-kali menggelincir dari dekapan” dan “pagi sering terlalu singkat menghampiri,” mengindikasikan perasaan kehidupan yang cepat berlalu tanpa meninggalkan banyak makna atau harapan bagi penduduk setempat. Ada kesan ketergesa-gesaan yang dirasakan di pagi hari, seolah-olah waktu bagi mereka terlalu sempit untuk mengejar kehidupan yang layak.
Simbolisme Keputusasaan di Kawasan Pelabuhan
Anwar menggunakan simbol yang mencolok untuk menggambarkan kesuraman dan kemiskinan di Karangantu. Kata-kata seperti deret perahu tertambat, drum-drum kosong, ceceran minyak di dermaga tua, bau bacin melekat di rumah kumuh menciptakan citra lingkungan yang kumuh dan penuh polusi. Pelabuhan yang dulunya sibuk kini tampak ditinggalkan, dengan perahu-perahu yang tertambat tanpa aktivitas. Gambarannya seperti sebuah kota mati di mana ekonomi tak lagi berputar, ditandai dengan pasar yang seperti “rimba belukar” dan penduduk yang “sudah sama-sama bangkrut.”
Kehilangan Harapan dan Identitas
Bagian selanjutnya dalam puisi ini menggambarkan ketidakberdayaan masyarakat. Bait “ingin kutunjukkan kepadamu sisa masa silam, terbenam di laut yang mulai surut” menyiratkan bagaimana masa lalu yang lebih baik kini telah tenggelam, tanpa bisa dihidupkan kembali. Kanal-kanal yang bau, tubuh yang “panu dan berdaki,” serta perut-perut tipis yang menggambarkan kelaparan dan penderitaan masyarakat di sana. Anwar menghadirkan citra fisik dari kemiskinan dengan kata-kata seperti “urat leher tercekik” dan “kekerasan menyembul dari iga dan tulang pipi” yang menandakan bahwa penderitaan di Karangantu begitu nyata dan terlihat pada fisik orang-orang yang tinggal di sana.
Kritik terhadap Keadaan Sosial dan Politik
Puisi ini tidak hanya berbicara tentang kemiskinan, tetapi juga menggambarkan bagaimana masyarakat Karangantu seakan kehilangan tanah airnya. Anwar menulis, “siapakah kehilangan tanah air, hingga di kota jauh dari jejak kraton, orang-orang turun ke jalan”. Kalimat ini menunjukkan bahwa identitas dan rasa kepemilikan masyarakat terhadap tanahnya telah direnggut oleh kondisi yang keras dan ketidakadilan. Masyarakat digambarkan sebagai “tiga anjing kampung lapar dan galak mengunyah sisa detak,” menunjukkan perjuangan hidup yang brutal dan penuh dengan kekurangan. Mereka berada dalam kondisi di mana nilai kehidupan yang layak hampir sepenuhnya hilang.
Penyampaian Pesan tentang Kesia-siaan Puisi
Anwar menutup puisinya dengan kalimat yang penuh ironi: “kepadamu, setelah ribuan perih menagih kusodorkan gambar nyata keluarga namun jangan kau tulis puisi – kata-katamu tak akan mengubah gelap laut menjadi biru.” Di sini, Anwar seakan menyatakan bahwa menulis atau berbicara tentang penderitaan mungkin tidak akan menghasilkan perubahan nyata. Keindahan kata-kata dan puisi tidak cukup kuat untuk mengubah realitas yang keras. Ini adalah kritik terhadap batasan seni dalam memberikan solusi pada masalah sosial yang berat. Bagi Anwar, puisi hanya dapat menjadi media dokumentasi dan perenungan, namun tidak memiliki kekuatan untuk menyelesaikan masalah.
Tema Utama: Kemiskinan, Penderitaan, dan Keputusasaan
Puisi "Karangantu" mengangkat tema-tema besar kemiskinan, penderitaan, dan ketiadaan harapan di masyarakat pesisir. Moh. Wan Anwar menunjukkan kehidupan di Karangantu yang keras, penuh perjuangan, dan tak berujung pada kemakmuran atau kebahagiaan. Puisi ini menggambarkan bagaimana modernisasi dan pengabaian terhadap daerah-daerah tertinggal dapat menghancurkan komunitas dan memupus harapan masyarakat kecil.
Puisi "Karangantu" adalah puisi yang penuh dengan gambar visual yang tajam dan deskripsi yang nyata mengenai penderitaan dan keterasingan. Anwar mengajak pembaca untuk merasakan kekerasan hidup di Karangantu, sebuah tempat yang penuh keterbatasan dan ketidakadilan. Dengan kata-kata yang dalam dan penuh makna, puisi ini mengingatkan kita pada kenyataan bahwa ada banyak masyarakat yang hidup dalam kondisi yang tidak layak dan hampir tanpa harapan. Anwar juga menekankan bahwa terkadang, kata-kata dan seni tidak dapat menjadi solusi bagi penderitaan yang begitu mendalam, tetapi setidaknya puisi ini dapat membuka mata dan hati pembaca terhadap kenyataan yang mungkin sering kita abaikan.
Karya: Moh. Wan Anwar
Biodata Moh. Wan Anwar
- Moh. Wan Anwar lahir pada tanggal 13 Maret 1970 di Cianjur, Jawa Barat.
- Moh. Wan Anwar meninggal dunia pada tanggal 23 November 2009 (pada usia 39 tahun) di Serang, Banten.